Angin
berhembus kencang. Guntur bergemuruh hebat. Suaranya serasa memecah gendang
telinga. Kilat memancar di langit, berwarna kuning keemasan, membentuk akar
tumbuhan. Hujan turun deras. Pepohonan menari-nari diterjang angin. Daun -daun
berguguran. Malam menujuk puncak. Terasa sunyi malam dari suara orang. Hanya
nyanyian binatang malam menemani gemuruh alam.
Listrik
padam. Semua menjadi gelap gulita. Aku menyelimuti tubuh dengan selimut. Angin
berhembus kencang di luar, sesekali menyusup masuk lewat lubang dinding kayu,
lalu menghantam tubuhku. Tubuhku menggigil kedinginan. Aku berusaha menuju alam
mimpi, tapi gemuruh di langit seolah tak mendukungku. Aku bangkit, lalu
menghirup napas panjang. Aku tidak bisa tidur.
Aku
putuskan membuat susu manis. Aku berjalan keluar dari kamarku. Aku memegang
senter sebagai penerang. Warna kuning keemasan terpancar dari senter. Aku
berjalan menuju dapur. Aku tersentak. Di tengah gemuruh hujan lebat, aku
mendengar suara seorang bocah di luar. Tapi aku segera membuang jauh. Aku
mengganggap hal itu sebagai halusinasi saja.
Suara
itu semakin membesar. Aku mendengar suara tangis seorang bocah. Tubuhku
merinding. Bulu kudukku berdiri hebat. Di dalam pikiranku terbersit, “ Siapa
bocah itu ? datang tengah malam sambil menangis, di tengah hujan lebat juga
guntur menggelegar.” Aku mencoba tenangkan diri. Aku berjalan pelan menuju luar
rumah. Firasatku mengatakan bocah itu menangis tepat di depan rumah.
Tubuhku
lemas tidak berdaya. Aku merasa tidak kuat lagi berjalan. Aku ingin ambruk.
Pikiranku buyar. Sudah seharian, aku
banting tulang di seantero Jakarta. Berjam-jam berdiri dalam kemacetan. Juga
mata kuliah menfosir pikiran. “ Ah....aku ingin tidur saja,” ucapku dalam
batin. Aku membalikkan badan, lalu berjalan pelan menuju kamar. Tapi suara
tangis bocah itu semakin terdengar keras. Dalam hati kecil, aku merasa iba
padanya. Aku putuskan berjalan ke luar rumah.
Aku
menghirup napas panjang, berharap energi baru merasuk ke tubuh. Aku mendengar
tangis keras, keras sekali. Suara tangisnya mengalahkan suara hujan yang
mengguyur Ibukota malam itu. Aku sampai di depan pintu. Aku membuka pintu
secara perlahan. Pintu terbuka. Aku tersentak kaget.
“
Wushhhhh......Wushhhhh.”
Angin
malam menampar wajahku. Debu-debu menghantam mataku. Aku langsung mengucek
kedua mata, terasa perih. Aku mengambil napas panjang. Suasana gelap gulita.
Semua lampu tampak padam. Aku menoleh ke arah kiri dan kanan, tak seorang pun
terlihat. Aku sedikit penasaran. Kutadahkan wajahku ke atas. Aku tersenyum
lebar. Kilat memancar indah, memanjakan kedua mataku. Sesekali bintang-bintang
terlihat di sela-sela gumpalan awan hitam.
Aku
menggaruk-garuk kepala. Aku juga terus menguap. Mata mulai terasa berat
terbuka. Kegelapan dominan di depan seolah mulai merasuk kental di pikiran,
lalu masuk ke alam mimpi. Aku segera membalikkan badan, lalu berjalan pelan
menuju ke dalam rumah. Tiba-tiba jaketku tersangkut sesuatu di belakang. Aku
segera mengulurkan tanganku.
Jantungku
berdetak kencang, serasa hampir copot. Aku tersentak. Bulu kudukku berdiri
hebat. Rasa takut mulai menyelimuti diriku. Tubuhku merinding seratus delapan
puluh derajat. Aku berdiri kaku. Aku
meraba tangan seorang manusia. Aku mendengar suaranya lirih,
“
Tolong....tolong....tolong.”
Aku
membalikkan badan. Kuarahkan lampu senter ke arahnya. Cahaya kuning keemasan
terpancar deras dari senter, lalu menghantam sosok bocah di depanku. Aku
melihat seorang gadis bocah berpakaian compang-camping berdiri di depanku
sambil menangis pelan. Suara tangisnya tidak kudengar ketika aku membuka pintu
rumah.
Tiba-tiba
air mataku meleleh membasahi pipi. Rasa iba pun muncul dari hati. Gadis bocah
itu berpakaian biru tua compang-camping. Bajunya dan rok mininya tampak seperti
gaun pengantin dan kumuh. Kain lengan kiri baju sobek. Aku tak tega melihat.
Rambutnya bergelombang, lebat, dan tak terurus. Rambutnya tampak kusut juga
berdebu. Wajahnya penuh debu. Kulitnya sawo matang. Kedua matanya memerah
dihiasi air mata yang terus mengalir. Wajahnya pucat.
Ia
kembali menangis hebat. Aku mencoba leraikan. Piliranku semakin buyar dibuat
olehnya. Aku merasa sudah tidak kuat lagi menahan gempuran hebat rasa kantuk.
Kelelahan menghantui diriku. Aku menutup kedua mataku sejenak, lalu kubuka
kembali. Aku tidak tega membiarkannya menangis keras. Aku paling sensitif
mendengar tangis seorang kaum hawa.
“
Tolong, jangan menangis, Dik. Kakak akan membantumu,” ucapku pelan.
Ia
tak juga menjawab dan terus menangis. Aku semakin bingung.
“
Dik, tolong ceritakan pada kakak masalahmu. Kakak akan membantumu,” ucapku
sedikit keras.
Ia
menarik jaketku lalu menyeretku paksa. Ia berjalan cepat. Aku tak tega menolak
keinginannya. Tapi hawa dingin menyiksaku. Sumsum tulangku tertusuk hantaman
angin malam. Aku dan gadis bocah itu berjalan menembus kegelapan malam. Perutku
mulai keroncongan. Aku benar-benar lumpuh dan lumpuh. Yang kuherankan, ia tak
merasakan hawa dingin hebat di tubuh. Bahkan pakaiannya tipis.Tangan dan lutut
ke bawah tanpa sehelai kain pun, serta kedua kakinya tanpa alas kaki. Ia terus
berjalan menerobos kegelapan malam yang semakin memuncak.
Ia
membawaku ke tempat sepi, jauh dari keramaian. Kulihat pohon-pohon menjulang
tinggi, jalan pun terjal bebatuan. Aku tidak mengenal daerah itu sebelumnya.
Kuarahkan senter ke depan. Cahaya senter menyinari kegelapan. Aku tersentak. Di
depanku, ratusan batu nisan berdiri rapi. Aku menarik napas panjang. Secara
tidak sadar, aku mengunjungi area pemakaman.
Gadis
bocah itu membawaku masuk wilayah pemakaman itu. Tubuhku merinding hebat. Aku
dan dia melewati jalan kecil beraspal di dalam wilayah pemakaman. Di samping
kanan dan kiri, banyak batu nisan berdiri kokoh. Gundukan tanah pun masih
tampak segar, dihiasi bunga-bunga indah. Aroma bunga merasuk kehidung. Aku
merasa ingin menghirup udara lebih lama.
Tapi
kedua kaki terasa terbebani oleh tumpukan tembaga. Aku ingin ambruk. Kedua
kakiku sudah tak kuat lagi digunakan untuk berjalan. Gadis bocah itu terus
berjalan. Dan ia berhenti pada dinding paling pojok wilayah pemakaman itu. Ia
menunjuk ke arah sebuah bangunan tumpukan kardus. Aku mengarahkan senter pada
bangunan tumpukan kardus itu. Tampak seperti rumah, tapi terlalu kecil untuk
dihuni. Bangunan kardus berbentuk persegi panjang dan tak berpintu, juga tak
dihiasi listrik. Ia berjalan menuju ke sana. Aku menyusul di belakang.
Gadis
bocah itu masuk ke dalam bangunan tumpukan kardus. Aku hanya menunggu di luar.
Tiba-tiba ia kembali menangis keras. Aku tersentak dibuatnya. Tanpa berpikir
panjang, aku langsung masuk. Gelap gulita di dalam bangunan tumpukan kardus
itu. Aku langsung menerangi isi dengan cahaya senter. Kunyalakan senter. Dan
kulihat gadis bocah itu berjongkok sambil menundukkan kepala. Aku menyinari
sesuatu di bawah.
Tubuhku
bergetar hebat. Napasku tersendat-sendat. Aku berdiri kaku. Tiba-tiba mataku
berkaca-kaca, lalu meleleh deras membasahi pipi. Aku melihat jenazah seorang
wanita terbaring di depan gadis bocah itu. Ia terbujur kaku tak sadarkan diri.
Kedua matanya tertutup rapat. Bocah gadis itu berdiri, lalu berjalan
menghampiriku. Ia memegang jaketku erat, lalu menarik ke luar bangunan tumpukan
kardus itu.
Ia
memandangku dengan mata berkaca-kaca. Lalu tangis kembali dilakukan. Aku
mencoba leraikan.
“
Tenang....tenang, Dik. Apa di dalam situ
wanita itu sudah meninggal ?” tanyaku
halus.
Gadis
bocah itu menganggukkan kepala.
“
Apa dia Ibumu ?”
Gadis
bocah itu menganggukkan kepala.
Tiba-tiba
ia memelukku erat. Ia menangis keras. Tangisannya menggelegar, menemani suara
gemuruh langit yang tak kunjung usai. Aku sungguh merasa iba padanya. Lalu
sejenak kulepaskan pelukan. Aku memegang kedua bahunya erat.
“
Tenang, Dik. Coba ceritakan pada kakak. Sebenarnya apa yang terjadi ?” tanyaku
halus.
Ia
mulai membuka mulutnya.
“
Ibuku meninggal, Kak. Dan tolong urus jenazahnya,” ucapnya pelan.
Aku
merespon,
“
Bagaimana dengan ayah dan sanak saudaramu ?”
“
Aku tidak punya siapa-siapa selain ibuku.”
“
Lalu di mana ayahmu ?”
“
Ayahku sudah meninggal lima tahun lalu.”
“
Lalu sanak saudaramu ?”
“
Aku orang jauh, tapi aku di Jakarta sudah lama. Dan aku tak punya beaya untuk
kembali ke kampung halaman. Semua sanak saudaraku di sana. Tapi mereka juga
miskin. Tolong urus jenazah ibu,Kak.”
Aku
berpikir sejenak. Kutatap langit. Entah mimpi apa aku semalam. Suatu kejadian
tidak disangka. Dan suatu ide belum bermunculan. Aku jadi bingung. Bagaimana
mengurus jenazah ibu gadis bocah itu sedangkan harga tanah di Jakarta tidak
murah. Aku juga bukan orang asli Jakarta. Aku hanya seorang pelajar dari Jawa
dengan uang saku pas-pasan. Bayar kontrakan dan makan saja susah, apalagi
mengurus orang lain. Belum lagi beaya kuliah. Aku jadi bingung.
Sebuah
Ide muncul di kepala. Aku bisa melaporkan kejadian itu pada ketua RT dekat
kontrakanku. Aku merasa beliau bisa membantu. Aku sedikit bernapas lega. Lalu
aku segera mengajak bocah gadis itu meninggalkan area pemakaman, menuju rumah
Pak RT.
No comments:
Post a Comment