“
Tentara musuh semakin mendekat. Lihatlah, mereka sudah tampak di pelupuk mata
kita. Mereka tampak kelelahan,” kata Komandan Siswono pelan.
Mereka
bersembunyi di balik semak-semak. Mereka bersiap menembak. Pohon-pohon jati
memenuhi isi hutan. Batang pohonnya tampak kurus, tak layak dibuat tempat
sembunyi. Batu-batu gunung bisa jadi alternatif tepat untuk bersembunyi. Mereka
juga mengandalkan semak-semak. Tubuh mereka menegang. Mereka terfokus pada
penyerangan. Mereka sempat terbersit pikiran tentang nasib kelompok lain.
Terutama kelompok paling depan berhadapan dengan musuh.
“
Segera ambil posisi tepat !” himbau Komandan Siswono.
Para
pasukan segera berpencar mencari posisi. Mereka bersembunyi di balik
semak-semak. Para tentara musuh semakin mendekat. Mereka belum menyangka musuh
sudah berada sangat dekat. Rahman memicingkan mata. Ia bersiap melepas peluru
dari senapan. Ia mengarahkan target pada seorang tentara bertubuh subur. Sesaat
kemudian peluru melesat. Desis peluru terdengar. Para tentara terkaget
seketika. Peluru menghantam jantung tentara subur itu. Ia jatuh tersungkur ke
tanah. Tubuh bersimbah darah.
Tak
sempat menolong kawannya, para tentara musuh berpencar mencari tempat sembunyi.
Sangat sulit mencari tempat sembunyi. Hanya semak-semak lebat jadi alternatif
tepat. Batang-batang pohon tak bisa diandalkan, terlihat kurus.
Tak
lama berselang,peluru demi peluru beterbangan secepat kilat, silih berganti.
Satu per satu tentara musuh jatuh tertembak. Melihat kondisi Itu, Kolonel Van
Heide bergetar hebat.Ia jatuhkan tubuh ke tanah lalu mengintip para musuh di
balik semak-semak.
“
Sekarang, dua tentara maju lalu lemparkan granat ke arah mereka !” hinbau
Kolonel Van Heide dengan nada keras.
Dua
tentara berdiri, lalu berlari kencang. Mereka berdua melemparkan granat ke arah
musuh. Tak sempat menembak, pasukan gerilya berlari ke belakang. Dentuman bom
terdengar keras, memecah keheningan.Teriakan rasa sakit terdengar keras.Asap
mengepul di udara. Tumbuhan –tumbuhan terbakar dan mati sia-sia. Kolonel Van
Heide tersenyum lebar.
Tak
puas dengan semua itu, Kolonel Van Heide menyusup di sela-sela dedaunan. Ia
lemparkan granat ke arah musuh. Dentuman bom terdengar. Potongan-potongan
tumbuhan beterbangan di udara, menemani kepulan asap hitam. Pasukan-pasukan
gerilya berguguran satu per satu. Tapi perlawanan terus dilancarkan. Mereka
yang masih bertahan terus menembakkan peluru. Banyak tentara musuh terhantam
peluru, lalu jatuh tersungkur ke tanah menahan rasa sakit.
Kolonel
Van Heide menyelinap di balik dedaunan lebar. Ia semakin mendekati musuh. Ia
memastikan Van Len berada di sana. Granat terakhirnya telah diledakkan. Ia tak
menggenggam granat lagi. Tapi senapan masih digenggam erat tangannya. Ia
menembakkan peluru dari balik dedaunan lebar. Peluru menghantam jantung seorang
pasukan gerilya. Ia tersenyum tipis. Ia kembali menyusup halus sehingga suara
sepatunya tak terdengar oleh telinga.
Rahman
berlari menjauh. Musuh semakin merajalela. Peluru di dalam senapan habis. Ia
kebingungan. Ia melihat seorang tentara berbadan kekar mengejarnya. Rahman
terus berlari. Tentara itu tak melancarkan tembakan, tapi terus berlari
mengejarnya. Sebuah kayu panjang menyandung kaki Rahman. Dan Rahman jatuh
tersungkur di atas tanah. Senapan terlepas dari tangan. Sementara tentara musuh
semakin mendekat.
Ia
menatap Rahman dengan pandangan sinis. Seorang tentara itu bertubuh kekar. Ia
berjalan pelan, lalu memegang kerah baju Rahman. Ia menariknya ke atas.
“
Tak puas langsung menembak mati, akan kubuat kau tersiksa terlebih dahulu. Kau
telah meresahkan kami semua. Kau satu dari dua pasukan yang paling dekat dengan
tuan muda,” bentak tentara itu.
Ia
memukul keras perut Rahman. Dan rasa nyeri hebat di perut. Lalu ia menghantam
mukanya dengan kepalan keras. Rahman dilemparkan ke tanah dengan dibanting. Ia
menendang tubuh Rahman dengan kekuatan penuh. Darah keluar dari mulut Rahman.
Ia merintih kesakitan. Sedangkan tentara itu menekan gigi kuat. Pandangannya
melotot tajam, seolah menyimpan bara api membara. Ia memegang senapan kemudian
bersiap menembak Rahman. Dan Rahman mengedipkan mata. Ia pasrah dengan nasibnya
saat itu.
Tiba-tiba
desis peluru terdengar keras. Tentara itu berteriak keras. Kedua matanya
melotot tajam. Tak lama berselang, ia jatuh tersungkur ke tanah. Darah tampak
membasahi seragamnya. Rahman membuka mata. Ia terkejut melihat tentara itu
tewas seketika. Ia menolehkan pandangan. Ia tak melihat seorang pun.
Langkah
kaki terdengar. Rahman menoleh pandangan ke arah suara. Ia tersenyum lebar
melihat sosok berjalan tegap ke arahnya.
“
Benarkah itu kau, Len ?” katanya lirih.
“
Tentu saja, Rahman. Kau tidak berjuang sendiri,” jawab Van Len.
Van
Len menarik tangan Rahman. Dengan sekuat tenaga, Rahman bangkit. Ia tersenyum
lebar menatap Van Len. Ia sedikit keheranan.
“
Len, kau sungguh ingin ikut berjuang bersama kami ?”.
Dengan
senyuman indah, Van Len menjawab,
“
Tentu saja. Aku tak bisa tinggal diam sedangkan sahabat-sahabatku berjuang mati-matian.”
“
Tapi kondisimu tidak memungkinkan, Len.”
“
Semangat akan membangkitkan kondisiku seperti sebelumnya.”
Rahman tersenyum.
“
Ayo kita lanjutkan, Rahman. Kita bantu Pardi dan kawan-kawan.”
Desis
peluru terdengar detik demi detik. Satu per satu tentara tergeletak tewas
tertembak. Kolonel Van Heide tak percaya dengan semua itu. Ia tidak menghindar
dan terus melancarkan serangan. Tembakan demi tembakan dilancarkan. Sesekali
tepat sasaran, sesekali meleset. Dari balik semak-semak, Pardi melihat Kolonel
Van Heide. Hanya tampak wajah dan lehernya, selebihnya tertutup semak-semak. Ia
berniat menembaknya langsung. Terbersit di kepala tentang Van Len. Ia tahu
Kolonel Van Heide menjadi paman Van Len. Ia mengurungkan niat sejenak. Ia
menatap tentara lain. Ia melancarkan tembakan. Dan tembakannya tepat di perut
seorang tentara musuh. Pardi mengepalkan tangan ke atas sambil berteriak,”
Merdeka...Merdeka!”
Kolonel
Van Heide mendengar teriakan Pardi. Ia menolehkan pandangan. Ia melihat Pardi
sedang duduk berjongkok di balik semak-semak. Ia tersenyum kecut melihatnya,
lalu berjalan pelan ke arahnya. Ia tetap menyelinap di balik semak-semak. Saat
itu juga Van Len menyelinap di balik semak-semak. Ia bersiap melancarkan
serangan ke arah musuh. Para pasukan gerilya masih tidak sadar. Seorang kolonel
menyelendup masuk wilayah pertahanan mereka.
Kolonel
Van Heide semakin mendekati Pardi. Dan Pardi kembali menembak ke depan, tapi
senapannya tiba-tiba macet, tak memuntahkan peluru. Ia membuka senapan. Dan
tepat dugaannya, peluru habis. Ia menggelengkan kepala. Sementara tak jauh di
sisi kanan, Kolonel Van Heide melihat Pardi dengan tangan kosong tanpa peluru.
Ia tertawa terbahak-bahak. Ia berdiri tegap lalu berjalan menghampirinya.
Pardi
mendengar suara tawa di sisi kanan. Ia menolehkan pandangan. Ia tersentak
kaget, lalu menjatuhkan tubuh ke tanah. Ia mencoba bangkit. Ia menlihat Kolonel
Van Heide berjalan pelan sambil menodongkan senapan ke arahnya. Pandangan
matanya tajam seolah mata elang siap menerkam mangsa. Pardi berjalan ke
belakang dengan langkah lambat. Ia menyesal tidak menembaknya. Tapi semuanya
terlambat.
“
Ha..ha...ha,tenang saja. Aku ingin kau katakan di mana Len,” kata kolonel
dengan nada tinggi.
Pardi
menggelengkan kepala.
“ Oh
mau mati, kau masih keras kepala. Aku tahu banyak tentang dirimu. Kau termasuk
orang yang paling banyak mempengaruhi pola pikir Len. Sehingga ia berubah
drastis. Sehingga semua tentara bersusah payah hanya mengorbankan pikiran dan
tenaga. Semuanya di sebabkan oleh dirimu! Sekarang apa yang kau inginkan? Kau
ingin hidup? Jangan bergerak jika kau lari. Aku akan menembakmu.”
Pardi
terus berjalan ke belakang. Sesekali ia menodongkan senapan ke arah kolonel.
Kolonel tertawa terbahak-bahak. Sekitar sepuluh meter di antara mereka berdua,
seseorang menyelip di balik semak-semak. Orang itu tak mengetahui keberadaan
mereka berdua. Peluru senapannya juga habis. Ia meletakkan sejenak senapan,
lalu berjalan mencari berita di tengah desis peluru yang tak kunjung usai.
Kolonel
Van Heide berjalan pelan. Sedangkan Pardi berjalan ke belakang pelan. Kaki
kanannya menyandung sebuah batu. Ia tersentak dan terjatuh seketika. Ia merasa
hidupnya sudah berada di ujung tanduk. Ia teringat ketika ia mengalami hal
sama. Dan Van Len menjadi perantara yang menyelematkan dirinya. Tapi ia tak
berharap jauh hal itu akan terulang saat itu. Ia menghirup napas panjang.
“
Aku tidak perlu dekat untuk menembak. Aku masih banyak urusan yang jauh lebih
penting dari ini. Sebelum kau mati, aku ucapkan selamat tinggal untuk
selamanya. Semoga kau tenang di sana ha....ha....ha,” kata kolonel dengan nada
merendahkan.
Langit
saat itu menggelap. Awan-awan hitam menggumpal, sesekali berjalan mengitari
bumi. Angin pun berhembus kencang. Daun-daun pepohonan menari-nari diterjang
angin. Dan berguguran tak kuat diterjang angin. Semak-semak pun menari-nari
seolah ikut meramaikan suasana. Kilat terlihat di langit, memancarkan sinar
kuning berbentuk akar tumbuhan. Gerimis mulai turun.
Kolonel
Van Heide bersiap menembak. Ia berjarak sepuluh meter dari Pardi. Sementara
Pardi masih terbujur kaku. Tubuhnya disandarkan pada batang pohon jati. Ia
memejamkan mata. Tak jauh darinya, seseorang melihatnya dengan mata melotot. Ia
terkaget melihat Pardi yang terbujur tak berdaya. Sedangkan sepuluh meter di
depannya, tentara musuh sedang bersiap menembak.
“
Bersiaplah untuk mati! Rasakan timah panas ini!” teriak kolonel berapi-api.
Pardi
memejamkan mata. Sementara seseorang tak jauh di sampingnya berteriak,”
Tidak...!” Ia berlari kencang menghampiri Pardi. Ia melompat jauh lalu mendekap
tubuh erat tubuh Pardi. Ia meletakkan tubuh di depan, melindungi Pardi. Peluru
terlanjur keluar. Dan meluncur jauh lurus ke depan. Kolonel Van Heide tersentak
kaget. Matanya melotot. Ia berteriak,’’ Tidaaaak..!”
Peluru
menghantam deras punggungnya. Rasa sakit muncul seketika. Darah mengucur deras
membasahi tubuh. Pardi membuka mata. Ia tersentak kaget. Ia melihat sosok
sahabat terbaiknya tersenyum bersimbah darah.
“
Len !...Len !” teriak Pardi dengan tangis.
Van
Len tersenyum kecil. Tubuhnya kaku. Ia mengerutkan kening, lalu terjatuh
seketika. Air mata Pardi meleleh deras. Ia memeluk tubuh sahabat terbaiknya
penuh tangis.
“
Jangan mati, Len. Ku mohon bertahanlah !” teriak Pardi.
Sementara
Kolonel Van Heide berdiri kaku. Ia merasa langit seolah runtuh, lalu
menimpanya. Tubuhnya bergetar hebat. Lalu air mata keluar membasahi pipi.
“
Kau sungguh bodoh, Len” katanya pelan.
Ia
menegakkan kepala, lalu memandang tajam Pardi. Ia mengarahkan senapan ke arah
kepala Pardi.
“
Kau terlalu membuatku kesal. Sekarang matilah kau bersamanya,” teriak kolonel
berapi-api.
Tak
berselang lama, desis peluru terdengar keras. Kolonel Van Heide berteriak
keras. Kedua matanya melotot, lalu jatuh tersungkur ke tanah. Senapan terlepas
dari genggaman. Punggungnya basah oleh darah. Pardi sedikit terheran. Ia
melihat di kejauhan. Ia sedikit tersenyum. Rahman menembak punggung kolonel
dari belakang.
Melihat
hal itu, Pardi berlari jauh lalu mengambil senapan kolonel. Ia berbalik arah,
lalu berlari menghampiri Van Len. Di kejauhan,Rahman berteriak,
“
Pardi, bawa Len keluar hutan. Dan cari bantuan pengobatan secepatnya. Cepat
!..Cepat !”
Pardi
langsung membopong Van Len. Ia berjalan cepat keluar hutan. Darah terus
mengalir deras. Tangan Pardi basah oleh darah. Tubuh Van Len terasa berat. Ia
tak sanggup lagi membopongnya. Tapi ia paksakan diri. Ia berlari kencang. Mulut
Van Len keluar darah. Ia merintih kesakitan.
“
Len, bertahanlah...kau akan selamat. Kumohon bertahanlah. Jangan mati, Len”
Desis
peluru mulai mengecil. Wilayah itu sudah aman. Tapi Pardi terus dan terus
berlari. Tubuhnya bersimbah darah dan keringat. Seragamnya bersimbah darah. Ia
merasakan aroma darah Van Len menusuk hidung.
“
Turunkan aku, Pardi,” kata Van Len lirih.
Secara
tak sengaja, kedua kaki Pardi menyandung bongkahan kayu panjang. Ia jatuh
seketika juga Van Len. Ia langsung bangkit dan menghampiri Van Len. Air matanya
deras membasahi pipi. Sementara gerimis terus turun membasahi hutan.
Van
Len mencoba tersenyum. Mulutnya bersimbah darah.
“
Pardi, aku bangga punya sahabat sepertimu. Aku bangga bisa berjuang melawan
penjajahan.Tapi aku tak bisa berlama-lama.Aku sangat kecewa..uhuk...uhuk,” kata Van Len lirih.
Tangis
terus dilakukan Pardi. Ia merespon,
“
Tolong jangan katakan apa pun, Len. Aku akan membawamu ke tempat itu.”
Van
Len tersenyum kecil.
“
Sudahlah, Pardi. Tubuh....ku ini sudah tak kuat lagi...uhuk...uhuk.”
Pardi
menundukkan kepala. Kekuatannya telah habis. Ia tak kuat lagi membopong Van
Len. Ia menyalahkan diri sendiri. Sementara Van Len sedang memasukkan tangan
kanan ke dalam saku baju. Ia mengeluarkan kalung emas dari dalam saku. Pardi
melihatnya lunak.
Van
Len tersenyum tipis, lalu mengulurkan kalung itu pada Pardi. Gerakan tangannya
melambat. Pardi meraih kalung itu, lalu Van Len menggenggam tangan Pardi
bersama kalung itu.
“
Pardi, berikan kalung ini pada Warni. Katakan padanya bahwa aku mencintainya.
Aku belum pernah mengungkapkan rasa cintaku padanya. Kau harus katakan bahwa
aku mencintainya. Dan rasa cintaku ini harus dipindah ke dalam hatimu. Kau
harus mencintainya, Pardi. Kau harus menjadi pendamping hidupnya. Aku yakin dia
juga mencintaimu ...uhuk....uhuk...uhuk.”
Pardi
terdiam dalam tangis. Air matanya menetes deras, lalu menghujani tubuh Van Len,
bercampur dengan darah.
“
Uhuk...uhuk. Pardi, kau harus pegang janji kita selamanya. Janji dua sahabat,
antara kau dan aku. Teruslah berjuang melawan penjajah. Berilah kebahagiaan
pada anak cucu negeri ini agar mereka tidak seperti para pendahulu yang hidup
dalam penjajahan. Teruslah berjuang,sahabatku.....Sahabat perjuangaaaan....”
Kedua
mata Van Len tertutup rapat. Ia melepas genggaman, lalu menjatuhkan tangan ke
tanah. Detak jantungnya berhenti. Ia terbujur kaku. Air hujan turun lirih
membasahi tubuh indahnya. Pardi berteriak keras,
“
Len !....Len!....Len!...Len!.. hiks...hiks..hiks.”
Van
Len tak juga menjawab. Ia terbujur kaku. Pardi memeluknya erat. Tubuhnya
bersimbah darah. Ia menangis keras, sangat keras. Suara tangisnya menemani
gemuruh langit yang semakin membesar. Terasa petang siang itu, seolah malam.
Hanya sinaran kilat menghias. Mentari tertutup oleh awan. Pardi dirundung
kesedihan dalam, seperti awan-awan gelap menjatuhkan air hujan.
By Nalis
Potongan dari Cerita Sangat Panjang
No comments:
Post a Comment