Musim dingin tiba di Sidney. Aku
diantar oleh Helmi menuju sebuah perusahaan tekstil. Aku diajak menelusuri
ruangan besar. Banyak sekali karyawan sibuk berkerja. Mereka menenun, menjahit,
bahkan menyapu teras. Suara mesin bergemuruh. Mereka seolah tak melihat
kehadiranku. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Helmi menepuk
punggungku. Aku tersentak. Aku pun membalikkan badan.
“
Ada apa, Hel ?” tanyaku lirih.
“
Itu lho bos kita.”
Aku
mengarahkan pandangan ke depan. Seorang wanita berambut hitam lurus sedang
berdiri beberapa meter di depanku. Wanita tampak anggun sekali. Aroma wangi
tubuhnya menyebar ke segala penjuru, beraroma melati. Kulitnya putih bersih. Ia
memakai kaca mata hitam. Tapi pakaiannya cukup terbuka. Ia hanya memakai baju
kemeja putih kotak-kotak lengan pendek. Dan dihiasi rok hitam memanjang sampai
lutut. Sepasang sepatu merah tampak berhak tinggi. Ia membawa tas cangklong
hitam putih. Dari segi wajah, ia memang tampak berumur tiga puluh tahunan.
Aku
langsung menunduk. Aku tak ingin larut dalam gemerlap dunia. Helmi mencubit
lenganku. Aku tahu maksudnya. Aku langsung menegakkan pandangan. Wanita itu
menjabat erat tangan Helmi. Lalu ia mengulurkan tangan kanannya padaku. Aku
langsung menyentuh dadaku dengan tangan kanan. Ia tersenyum manis. Lalu ia
mengurungkan niat untuk berjabat tangan. Aroma parfumnya benar-benar menyengat
hidung.
“
Kamu yang bernama Amri ?” tanyanya halus.
“
Benar, Bu. Nama saya Amri.”
“
Lalu apa kamu tahu namaku ?”
“
Nama Anda Bu Aisha Rahmawati.”
“
Tepat sekali. Ternyata kamu masih muda, ya. Aku tahu namamu dari Helmi. Dan
sikapmu tadi meyakinkanku bahwa kamu seorang ahli agama yang tidak diragukan
lagi keshalehannya. Oke, kamu bisa langsung memulai hari ini, setelah sholat
dzuhur. Pabrik ini bersampingan dengan masjid dan masjid itu digunakan khusus
karyawan di sini. Di sini juga banyak muslim kok. Kamu langsung naik mimbar dan berikan siraman rohani pada
mereka. Paling lama satu jam saja. Nanti aku juga akan ikut menyimak. Tapi
kemungkinan juga aku ada halangan. Aku harus pergi ke kantor. Ada urusan
penting di sana.”
“
Baik, Bu. Kalau boleh tahu, kantor Anda di mana ?”
“
Jauh dari sini, di street Isabella. Aku punya banyak cabang. Di sini hanyalah satu
cabang perusahaanku. Aku juga punya banyak kios di negara lain selain Australia. Aku juga tidak
jarang ke sana meskipun sekadar observasi saja. Aku ingin melihat sepak terjang
para karyawan. Pokoknya aku super sibuk.”
Aku
tersenyum lebar. Ia tampak akrab denganku. Aku ingin tahu lebih dalam tentang
dirinya. Tapi aku merasa tidak enak hati bertanya secara terus menerus. Nada
bicaranya lembut tapi tegas. Tubuhnya tegak. Ia tampak berwibawa. Hanya saja ia
tidak berjilbab.
“
Amri sekarang jam delapan pagi. Dan waktu dzuhur masih lama. Maukah kuajak ke masjid sekarang. Kamu kan sudah punya bekal ilmu agama tinggi. Jadi tidak
usah persiapan. Untuk ke Mampang, aku tunda dulu. Masih ada bawaan yang bisa
mengerjakan. Aku berubah pikiran, Amri. Kita naik mobil saja,” ucapnya pelan.
Aku
mencoba menahan tawa sekuat mungkin. Ia benar-benar ingin lebih tahu tentang
diriku. Bahkan ia sampai mengubah keinginannya. Aku hanya bahagia melihatnya
dapat melebur denganku.
“
Apa hanya saya dan Anda berada di dalam mobil, Bu ?” tanyaku penuh kelembutan
kata.
“
Oh, tidak. Aku, kamu, dan sopirku. Tenang saja. Aku akan duduk di kursi depan.
Dan kamu duduk di kursi belakang.”
“
Bu, apa sopirnya laki-laki ?”
“ Ya
benar.”
“
Sebaiknya saya duduk di kursi depan saja, Bu. Maaf bila kurang berkenan di
hati.”
“
Baiklah.”
Aisha
menyuruh Helmi untuk pergi ke kiosnya. Ia punya usaha soto Kudus dengan Helmi di jakarta.
Ia berinvestasi atas usaha itu sedangkan Helmi yang mengurus. Aisha pun
mengajakku ke luar pabrik. Sebuah mobil sedan hitam seolah menanti kedatangan
kami. Ia langsung masuk ke dalam mobil. Aku pun melakukan hal serupa. Aku duduk
di kursi depan bersampingan dengan sopir. Sedangkan Aisha duduk tepat di
belakangku. Mobil berjalan cepat menuju Sidney Islamic center mosque. Di luar, sinar mentari
meredup di tengah gempulan putih salju.
“
Amri, berapa umurmu sekarang ?” tanyanya pelan.
“
Dua puluh sembilan tahun, Bu.”
“
Wah, kayak dua puluh tahun aja.”
“
Saya juga mendengar bahwa ibu sekarang berusia tiga puluh lima tahun, ya.”
“ Ya
benar sekali.”
“
Wah, kayak dua puluh lima tahun aja.”
Ia
tertawa pelan. Aku melirik sopir. Ia hanya tersenyum tipis. Kaca mata hitamnya
seolah lengkap dengan kulit gelapnya. Aku ingin mencoba lebih menyegarkan
suasana.
“
Bu, sungguh beruntung sekali suami ibu, ya. Sudah punya istri hebat seperti
Anda. Udah kaya, cantik, ditambah pintar lagi. Siapa sih yang tak ingin punya
istri yang mempekerjakan banyak karyawan. Suami ibu pasti sangat bangga sekali.
Apalagi anak-anak ibu.”
Tak
ada jawaban di belakang. Semuanya terdiam. Hanya suara mesin mobil meramaikan
suasana. Aku merasa sedikit bersalah. Mungkin perkataanku tadi kurang cocok.
Aku sangat menyesal.
“
Amri, aku memang pernah menikah. Dan sekarang aku punya satu anak. Tapi anak
itu ikut ayahnya. Atau bisa dibilang aku bercerai dengan suamiku. Dan sekarang
ia berada di Singapura bersama anakku.”
Aku
tersentak kaget. Lalu aku langsung merespon,
“
Maafkan saya, Bu. Saya sama sekali tidak tahu. Sekali lagi saya mohon maaf yang
sebesar-besarnya.”
“
Tidak masalah. Aku juga sudah melupakannya. Kamu sendiri pasti sudah
berkeluarga.”
“
Anda kok tahu ?”
“
Aku hanya mengira saja, Amri.”
Aku
tertawa pelan, lalu kubalas,
“
Benar sekali, Bu. Saya sudah berkeluarga, hanya saja saya belum dikaruniai
anak. Padahal orang tua saya sangat ingin sekali menimang cucu. Tapi takdir
berkata lain. Sampai saat ini, saya belum punya anak. Sudah sepuluh tahun saya
membina rumah tangga bersama istri saya. Hidup terasa hampa tanpa kehadiran buah
hati.”
“
Istrimu memiliki penyakit terkait gangguan kehamilan. Maaf bila terdengar
kurang halus.”
“
Tidak, Bu. Istri saya tidak memiliki kelainan apa pun. Saya pun juga begitu.
Dan sekarang saya belum punya anak. Untuk itu, bukan berarti saya tidak punya
anak untuk selamanya. Istri saya belum bisa dikatakan mandul.”
“
Jadi begitu. Apa kamu tidak berniat untuk menikah lagi ?”
Aku
tersentak kaget. Tidak kusangka ia akan menanyakan hal itu. Aku pun menjawab
dengan sebenarnya,
“
Saya sangat mencintai istri saya, Bu. Ia seolah bidadari turun dari langit,
lalu datang menghampiri saya. Senyumannya melegakan hati. Ia mencintai saya
sangat dalam. Dan saya tidak bisa membalas cintanya dengan setengah-setengah. Saya
belum siap menduakan cintanya. Tapi banyak orang menyuruh saya untuk menikah
lagi, termasuk ibu saya. Dan itulah yang paling menyakitkan hati saya, Bu.”
“
Lalu mengapa mereka menyuruhmu seperti itu ? Bukankah itu merupakan hakmu dan
istrimu ?”
“
Begini, Bu. Almarhum bapak saya menjadi kyai besar di desa saya. Dan saya
menjadi anak satu-satunya beliau. Oleh karena itu, banyak orang menyuruh saya
untuk melanjutkan perjuangan bapak dan saya nanti. Dan itu harus keturunan
saya. Sedangkan saya belum punya anak sekarang. Padahal saya sudah menikah
sepuluh tahun. Yang paling gencar tentu ibu saya. Beliau ingin segera menimang
cucu.”
“
Oh, jadi begitu. Ternyata kamu anak orang terpandang di desamu, ya. Katanya
kamu dari kota Kudus. Di sana tentu banyak pesantren hafalan Al Quran. Kudus
juga terkenal dengan kota kretek.”
“
Benar sekali, Bu. Banyak pesantren hafalan Al Quran di sana. Selain itu banyak
juga pabrik rokok di sana...hehehe..”
Mobil
berhenti di depan banyak kios. Annisa langsung turun dari mobil. Penampilannya
seperti orang kantoran. Aku pun turun dari mobil. Sinar mentari menampar
wajahku, terasa silau di mata. Kios berjajar memanjang. Aku diajak masuk ke
dalam pasar. Banyak sekali orang bertebaran di dalam pasar itu. Gemuruh mereka
seolah memecah keheningan.
Sebuah
kios pakaian tampak lebih besar dari kios pakaian lain. Berbagai macam jenis
pakaian dipampang. Banyak orang mengunjungi pasar itu. Aisha mengajakku masuk
ke dalam kios itu. Banyak karyawannya sedang sibuk melayani pengunjung. Aisha
menghadap ke arahku. Senyuman lebar terpancar dari wajah. Aku tertunduk. Aku
tak sanggup menahan pandangan matanya. Aku takut tergelincir.
“
Amri, inilah satu salah satu cabang kios pakaian. Di luar sana, masih banyak
lagi. Tapi aku lebih condong ke sini,” ucap Aisha penuh keyakinan.
“
Wah, ibu benar-benar hebat. Memang ibu seorang wanita luar biasa. Kalau boleh,
saya mau satu pakaiannya donk. Maaf bencanda..hehehe..”
“
Oh, tidak apa-apa, silakan pilih sesukamu, Amri. Kamu tamuku dan layak untuk
dilayani dengan sebaik mungkin.”
“
Saya hanya bercanda, Bu. Terima kasih atas perhatiannya. Tapi saya terbersit
untuk membantu ibu menjajakan barang dagangan.”
“
Maksudmu, Amri ?”
“ Saya
ingin juga belajar dengan Anda. Saya ingin menjadi seorang pengusaha. Selama
ini saya hanya berpenghasilan dari mengajar di madrasah dan dakwah di
masyarakat.”
“
Jadi begitu. Amri, aku ingin mengajakmu makan siang hari ini. Kuharap kamu
tidak menolak.”
“
Kebetulan perut saya lagi keroncongan, Bu.”
Aisha
mengajakku pergi ke luar pasar. Lalu ia mengajakku masuk ke dalam sebuah
restoran. Dan restoran itu hanya diisi satu menu yang tidak asing bagiku, pizza hut. Hanya lima orang sedang mencicipi hidangan itu. Aku duduk di atas kursi
kayu. Aisha melakukan hal sama. Aku dan dia saling berhadapan. Sebuah meja
kayu bundar menjadi pembatas di antara kamu berdua. Ia terus memandang ke
arahku. Kedua mataku seolah silau oleh pandangan tajamnya. Aku menundukkan
pandangan. Aroma wangi tubuhnya menyebar ke segala penjuru. Desis napas
terdengar kencang.
Tubuhku
menegang. Rasa gugup pun muncul. Aku sangat takut kehilangan keseimbangan.
Bahwa aku tidak bisa menjaga diri. Rasa takut itu lebih sekadar takut tidak
makan. Aku takut tergelincir. Seorang wanita di hadapanku sekarang sangat
menawan hati. Kemilau wajahnya terpancar deras. Senyumannya menggelora. Kedua
pipinya melesung dalam. Ia memesan kepada pelayan dengan suara lembutnya. Nada
suara sangat halus. Suaranya terdengar seolah aliran sungai lirih yang
menyejukkan telinga. Dadaku berdebar kencang. Aku menahan napas sejenak untuk
keluar.
“
Amri, bagaimana kamu memandangku ?” tanyanya halus.
“
Maksud Anda ?” tanyaku balik.
“
Apa aku terlalu tua untuk menikah lagi ? Lalu apa aku cantik tidak ? Pokoknya
tolong kamu menilai tentang diriku. Supaya aku tahu bahwa laki-laki menilaiku
ternyata seperti itu. Aku sangat sibuk sehingga tidak terbersit untuk
menanyakan hal itu. Dan sekarang kesempatan untuk menanyakan hal ini,” tanyanya
sedikit manja.
Aku
tersenyum tipis. Ia sangat lunak terhadap diriku. Aku juga merasa lebih dekat
dengannya. Dan sebuah anugerah tentu bagiku. Aku bisa langsung dengan atasanku.
Terbersit di pikiran tentang sesuatu. Senyuman lebar terpancar dari wajah. Aku
mengambil napas dalam-dalam, lalu dikeluarkan secara perlahan. Aku mencoba
lebih mencairkan suasana.
“ Bu,
walaupun dingin sekali, saya tadi merasa panas di sini. Tubuh terasa gerah. Keringat bercucuran tiada
henti. Tapi setelah kedatangan seseorang di sini, suasana terasa sejuk. Panas
tiba-tiba menghilang. Angin seolah hadir, membelai tubuh. Tidak hanya itu,
aroma wangi bunga melati merasuk ke hidung, memanjakan hidung. Aku pun merasa
tentram disini. Terasa menyejukkan jiwa dan raga. Kebahagiaan hadir secara
tiba-tiba.”
Ia
tersenyum lebar. Aku mencoba menambahkan,
“
Waktu itu jantung saya berdetak kencang. Dada saya terasa sesak oleh rasa
gugup. Ia datang tiba-tiba membawa sebuah pengetahuan yang tidak dimiliki
banyak orang. Saya terpana oleh wibawa dirinya yang begitu menawan. Ketika ia
naik podium, ia berbicara lantang seolah singa betina berbicara di hadapan
singa-singa jantan. Saya sangat kagum padanya. Sosoknya bersahaja dan
berwibawa. Saya sempat pingsan karena rasa kagum berlebih. Meskipun belum
melihat secara langsung, aku sudah cukup takjub melihatnya lewat video. Aku dan
Helmi sangat kagum padanya.”
Kulirik
dirinya. Ia tersenyum lebar. Senyumannya sangat indah. Kedua pipinya melesung
dalam. Wajahnya tampak merona. Ia menunduk. Aku pun menunduk. Aku tersenyum
lebar.
“
Saya benar-benar heran. Kok ada orang sehebat itu. Jika banyak orang berlayar
ke tepian menggunakan perahu, ia berlayar menggunakan kapal besar. Jika banyak
orang mendaki emas di puncak gunung yang sangat tinggi, ia terbang tinggi,
meloncat dengan cepat untuk meraih emas itu. Jika banyak orang berlari secepat kuda
untuk mencapai garis finish, ia berlari secepat cheetah. Banyak orang terkagum
dibuat olehnya, termasuk diri saya.”
Aku
berhenti sejenak. Aku menelan ludah. Lalu kulanjutkan,
“
Ketika saya melihat rembulan, wajahnya hadir tiba-tiba. Lalu sinar rembulan memancar
deras ke wajahnya, membuat wajahnya cerah seolah secerah sinar rembulan. Lalu
sinar cerah itu dibawa dalam kehidupan nyata. Banyak orang terpana melihat
sosoknya yang menawan. Saya seolah melihat bidadari turun dari langit, lalu
memberi kebahagiaan bagi orang-orang di sekitarnya. Auranya terasa kental di sisi
orang-orang terdekat, bahkan ketika ia jauh di mata mereka. Karena namanya
tertanam di hati.”
Ia
berdiri. Mukanya memerah. Senyuman lebar terpancar lebar. Ia memandangku penuh
keceriaan. Ia mengambil napas panjang, lalu dikeluarkan secara perlahan. Ia
membalikkan badan, lalu berjalan menjauhiku. Ia tampak berjalan lambat.
Aku
berteriak,
“
Bu, pizzanya belum siap.”
“
Amri, sudah jam sebelas. Ayo kita langsung menuju masjid. Nanti keburu telat.
Untuk makan gampang. Cepatlah nanti telat. Semuanya biar kubayar. Ayo cepat.”
Ia
mengatakannya berlawanan arah denganku. Ia membuka pintu restoran. Aku hanya
menggelengkan kepala. Ia tampak tidak bisa menguasai diri. Wajahnya merona
indah. Aku hanya menggelengkan kepala. Aku berjalan cepat mendahuluinya. Aku
tak ingin terlena oleh gemerlap dunia. Aisha berdiri di belakangku. Sinar
mentari menghantam wajahku. Aku berjalan cepat. Tiba-tiba tangan kanan ditarik
oleh seseorang di belakang. Aku pun tersentak. Aku langsung membalikkan badan.
“
Astaghfirullahhal azhim !”
Aisha
menggandeng tanganku. Aku langsung melepasnya. Ia tampak tertunduk. Dadaku
berdebar kencang. Jantung serasa hampir copot. Darahku naik drastis. Aku tak
menyangka hal itu terjadi. Air mata penyesalan pun hadir. Aku telah melakukan
kesalahan. Aku tertunduk lesu sambil berhadapan dengannya. Sedangkan di atas
sang mentari semakin memancarkan sinar panas, menjilat-jilat, serasa membakar
kulit.
“
Maaf, Bu. Kita bukan muhrim.”
“
Oh, maaf juga. Aku terlena tadi. Soalnya kamu berjalannya cepat sekali. Aku
takut ketinggalan.”
Mobil
sedan berhenti di depanku. Aisha masuk ke dalam mobil. Aku pun melakukan hal
serupa. Hawa sejuk hadir seketika. Kenyamanan hadir di mobil. Dan mobil sedan
hitam pun berjalan cepat. Asap hitam mengepul di udara. Aroma wangi melati
masih kental di dalam mobil. Aroma wangi itu datang dari belakang, dari seorang
wanita berwibawa tinggi penuh kharisma.
“
Amri, menurutmu orang kaya raya itu tidak selaras dengan nabi. Banyak kehidupan
nabi berlandaskan kesederhanan. Bahkan sekarang tidak sedikit orang menganggap
orang kaya itu identik dengan kerakusan, ketamakan, dan sifat buruk lain.
Apakah Islam menganjurkan kita untuk kaya sedangkan para nabi hidup dalam
kesederhanaan. Bisakah kamu jelaskan ?” tanya Aisha secara tiba-tiba.
Aku
tersenyum lebar. Lalu kujawab,
“
Mohon maaf jika menyakiti, Bu. Ucapan ibu tidak sepenuhnya tepat.Seorang nabi
memang tidak selaras hidupnya dengan nabi lain, berbeda, penuh liku, dengan
cobaan berbeda. Tapi ada seorang nabi pernah menjadi raja seluruh alam, bahkan
memiliki kekayaan melimpah. Manusia, jin, maupun hewan tunduk padanya. Ia
menjadi raja dan penuh kekayaan. Allah memberinya anugerah melimpah. Dan
menjadikannya sebaik-baik nikmat hamba. Dialah nabi Sulaiman. Ia seorang raja
adil dan kaya raya. Jika kaya raya identik dengan kerakusan, ketamakan, tentu
tidak tepat. Buktinya nabi Sulaiman. Atau kita lebih dekat dengan sahabat nabi.
Di antara sahabat nabi juga ada yang menjadi milyader super. Di antara dari
mereka, Abdurrahman Bin Auf, Ustman Bin Affan, Abu Bakar As Shiddiq, dan
lainnya. Kita lebih dekat dengan zaman ulama madzhab. Di sana ada seorang imam
madzhab bernama Imam Abu Hanifah. Ia seorang milyader kaya raya.”
Aku
mengambil napas sejenak. Lalu kulanjutkan,
“
Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk kaya raya. Bahkan Islam melarang
keras pemeluknya menjadi pribadi tidak berharta, apalagi fakir. Bahkan Ali Bin
Abi Thalib berkata,” Jika kefakiran berwujud seorang laki-laki, maka akan kubunuh”
hal ini menunjukkan Islam sangat melarang keras pemeluknya menjadi fakir. Untuk
itu, selain kerja keras tentu dengan saluran bantuan sesama, lewat zakat dan
shadaqah. Hal itu bisa meminimalisir jumlah kefakiran. Bagaimana mungkin kita
mengatasi semua kefakiran kalau kita sendiri tidak berharta banyak, Bu. Dengan
menjadi kaya, kita bisa beramal banyak. Dengan menjadi kaya, kita bisa berobat
ke dokter paling bagus sekali pun, menolong orang kesusahan, membangun masjid,
jembatan, jalan raya. Uang itu akan menjadi amal sholeh setelah meninggal
nanti.”
“
Benar sekali, Amri. Berarti uang tidak bisa dibawa setelah mati. Tapi amal
sholeh kan.”
“
Sangat tepat, Bu. Banyak orang bilang bahwa uang tidak dibawa dibawa sampai
mati. Memang benar. Tapi dalam bentuk uang itu sendiri. Ketika uang itu
diinfakkan di jalan Allah, maka uang itu berubah menjadi amalan sholeh. Dan
amalan sholeh dibawa sampai mati. Berarti uang bisa menjadi perantara
kesuksesan kita setelah mati.”
“
Penjelasanmu sangat enak didengar, Amri. Aku berharap lebih dekat denganmu.
Melihatmu aku jadi teringat mantan suamiku. Ia hampir mirip seperti dirimu. Ia
memiliki kulit putih bersih, berhidung mancung, dan berpostur tubuh tinggi
kekar. Memang menarik bagian luar, tapi sangat berbeda bagian dalam. Aku pun
merasa sangat kecewa telah membina rumah tangga bersamanya. Ia mengkhianati
cintaku berkali-kali. Ia berkali-kali berbuat serong dengan wanita lain. Dengan
kekuatan uang, ia seolah bisa melakukan apa saja. Dan ternyata ia bukan seorang
lelaki baik hati. Meskipun aku satu-satunya istri yang dimiliki saat aku, ia
telah berbuat serong dengan banyak wanita. Dan itu yang membuatku sakit hati.
Aku langsung minta cerai. Aku sudah tak tahan lagi hidup bersamanya, sudah
tidak tahan.”
Rasa
iba pun muncul.
“ Amri,
setelah itu hidupku seolah menjadi tekanan tersendiri bagiku. Pikiranku
tergoncang hebat. Aku mengalami tekanan psikis hebat. Limpahan uang seolah tak
berarti apa pun. Hidupku merana. Aku seolah lebih menderita dari orang
pinggiran. Mereka bersuka ria dan bercanda tawa dengan orang tercinta meskipun
hidup di bawah jembatan. Tapi sebaliknya, aku mengalami broken home. Dan itu
sangat menyakitkan hati. Untuk itu, aku merasa harus kembali ke jalan yang
benar. Allah menegurku dengan cobaan ini. Selama ini aku jarang sekali
beribadah. Aku lebih suka berfoya daripada ikut pengajian. Aku lebih suka
nongkrong di kafe daripada sholat. Aku lebih suka sibuk berbisnis daripada
sibuk beribadah. Allah menegurku. Dosaku terasa membebani diriku, Amri. Masih
adakah harapan untuk kembali ?”
Dengan
tegas, aku menjawab,
“ Allah
maha penerima Taubat, Bu.”
Story by Nalis ..
Sekilas cuplikan dari cerita sangat panjang.
No comments:
Post a Comment