Pintu
masuk Hotel Kartika terbuka lebar. Aku dan Profesor Lestari masuk secara
perlahan. Mama dan papa menyuruhku datang ke hotel ini. Mereka berdua ingin
membicarakan sesuatu padaku. Dan aku mengajak profesor cantik itu untuk menemui
mereka berdua. Aku ingin mereka tahu bahwa dirinya calon isteriku, sekaligus
niat untuk menikah secepatnya.
Hawa
dingin terasa kental disini, berbeda dengan di luar. Di luar hotel, panas
menjelma tajam. Kebisingan merajalela. Lalu polusi kentara di setiap titik. Aku
merasa enjoy di dalam hotel ini. Sebuah ruangan kaca tampak dekat di pelupuk
mata. Mama dan papa tampak jelas sedang duduk berdampingan di atas sofa putih.
Mereka berdua sedang meneguk segelas jus jeruk.
Aku
membuka pintu kaca. Hawa dingin semakin terasa kental. Aku memancarkan senyum
pada mereka berdua, begitu pula wanita cantik di sampingku. Papa dan mama
tersenyum kecut. Mereka menegakkan dagu mereka berdua.
“
Silakan duduk Prof. Senang bisa bertemu dengan Anda kembali,” himbau mama
halus.
Aku
pun duduk di atas sofa empuk. Profesor Lestari duduk di sampingku. Ia
menegakkan wajah, sambil tersenyum pada mama dan papa. Aku mencoba lebih
tenang.
“ Ada
apa sebenarnya Yuda dan profesor datang kesini. Kami berdua nanti ada acara.
Sekarang kami hanya punya waktu kurang lebih setengah jam disini. Kalau ada
perlu bantuan, kami bantu, Prof. Sampaikan saja keluh kesah Anda. Kami
menghormati Anda sebagai dosen Yuda,” ucap papa penuh wibawa.
Aku
tersenyum tipis. Kulirik mama. Ia memicingkan mata. Ia masih melihat cincin
emas dipakai oleh Profesor cantik itu. Ia sedikit berada dalam luapan emosi.
“
Mama dan papa, sebenarnya Yuda kesini ingin menyampaikan sesuatu. Dan Yuda dan
Profesor Lestari berharap mama dan papa tidak menolak keputusan kami berdua.
Kami....” ucapku tertatih-tatih.
“
Bilang aja, Yuda. Aku ini papamu. Kalau perlu bantuan, tinggal ngomong. Gitu
aja kok susah,” respon papa.
Aku
menutup kedua mata. Ada angin keberanian menyelimuti diri. kubuka kedua mata.
Aku menarik napas panjang.
“
Yuda ingin menikah...” ucapku pelan.
Papa
dan mama tertawa pelan.
“
Yuda, kamu ingin menikah. Apa papa tidak salah dengar. Umurmu baru secuil
jagung, baru dua puluh tahun,” respon papa sambil menggelengkan kepala.
“
Pa, umur tidak menjadi masalah. Lagipula Yuda sudah besar. Sudah bisa hidup
mandiri. Yuda sudah tidak manja lagi,” ucapku sedikit terbuai dalam emosi.
“
Yuda, kamu ternyata sudah tidak sabar menanti moment itu. Baiklah, mama akan
segera bilang pada keluarga Pak Hartanto,” tegas mama sedikit dalam luapan
emosi.
“
Mama dan papa, Yuda sudah punya calon isteri yang akan mengarungi hidup bersama
Yuda,” ucapku tegas.
Mama
semakin terbuai dalam emosi. Mukanya memerah. Napasnya tersendat-sendat.
“
Lalu siapa calon isterimu itu ?” tanya mama dengan tegas.
“
Dia sangat cantik dan cerdas. Dia juga punya tutur bicara halus, membuat sejuk
hati Yuda. Dan itulah yang membuat Yuda jatuh hati padanya. Yuda ingin hidup
bersamanya dalam bahtera rumah tangga. Sekaligus merenda anak-anak bersamanya.”
“
Lalu siapa dia ?” tanya mama dengan pandangan melotot.
“
Namanya Profesor doktor Mahmudah Dewi Lestari Phd. Dia seorang profesor doktor lulusan
Universitas Harvad di Amerika. Dan sekarang dia duduk di sampingku sekarang.”
Mama
tersenyum kecut. Ia tersentak kaget.
“
Yuda, kamu jangan bercanda !” tambahnya terheran.
“
Ma, Yuda tidak bercanda. Kami berdua saling mencintai. Dan kami berdua ingin
segera menikah. Mohon restu dari mama dan papa. Yuda sangat memohon sekali mama
dan papa merestui hubungan kami,” ucapku penuh penghayatan.
“
Berapa umur Anda, Prof ?” tanya mama pelan.
“
Tiga puluh tujuh tahun,” jawab Profesor Lestari pelan.
“
Sudah jelas perbedaan usia antara kalian berdua cukup jauh. Mama dan papa tidak
setuju kalian berdua menikah. Keluarga kita terpandang di negeri ini. Mana
mungkin anak seorang pengusaha kaya menikah dengan gadis seusia begitu. Malah
mungkin orang menyangka kamu menikahi janda. Mama dan papa tidak setuju, sangat
tidak setuju,” ucap mama penuh emosi.
“
Profesor Lestari, sebaiknya Anda mencari pemuda lain selain Yuda. Saya mengira
Anda kurang cocok dengan Yuda, mengingat perbedaan usia jauh diantara Anda dan
Yuda. Kalau hal ini terjadi, akan ada banyak gosip miring tentang kami. Media
massa dan elektronik akan saling berebut untuk mengambil berita ini. Lalu
dibuat isu-isu tidak benar tentang keluarga kami. Dan kami tidak ingin hal itu
terjadi. Tidak diragukan intelektual Anda, saya sama sekali tidak meragukannya.
Tapi tolong jangan dengan anak saya. Anak saya masih butuh kemajuan sedikit
untuk melangkah kedepan. Tolong pahami perasaaan kami,” ucap papa halus.
Kulirik
Profesor Lestari. Ia menunduk sambil menitiskan air mata. Mukanya memerah.
Wajahnya pucat. Suara tangis terdengar lirih. Aku mencoba menyangkal ucapan
mereka berdua.
“
Mama dan papa pasti ingin Yuda bahagia, bukankah begitu. Dan sekarang Yuda
menemukan cinta sejati pada dirinya, terasa begitu dalam di lubuk hati Yuda.
Tolong jangan kecewakan Yuda,” ucapku penuh harap.
Mataku
berkaca-kaca. Aku menangis kencang dalam hati. Aku mencoba meluapkan isi hati
kedalam kata-kata.
“
Tolong bahagiakan Yuda, Ma Pa. Yuda sudah susah payah menemukan tambatan hati.
Dan sekarang mengapa Anda berdua tega mencampakkan cinta kami berdua. Kami
berdua hanya ingin restu dari Anda berdua. Itu saja, hanya itu saja.”
Mereka
berdua seakan tak menghiraukan ucapanku. Wajah mereka berdua mengarah ke wajah
profesor cantik itu.
“
Prof, tolong tegakkan wajah Anda,” himbau mama dengan halus.
Profesor
Lestari menegakkan wajah. Matanya basah oleh air mata. Ia berusaha tersenyum
tipis. Aku menelan ludah. Aku merasa hatinya tercabik-cabik oleh kata-kata mama
dan papa.
“
Prof, bisa lihat cincin yang Anda pegang. Kelihatannya sama seperti punya saya.
Dan saya memberinya kepada Yuda. Saya ingin bertanya pada Anda. Apa cincin emas
itu pemberian dari Yuda ?” tanya mama penuh senyuman.
Profesor
Lestari mengangguk. Mama tersenyum kecut. Ia seperti ingin menghajar profesor
cantik itu dengan kata-kata.
“
Prof, cincin emas itu sengaja dibeli hanya untuk kekasih Yuda, bukan untuk
gadis lain. Tolong jangan tersinggung dulu. Saya tidak marah Anda memakainya.
Tapi saya minta tolong pada Anda untuk mengembalikan cincin itu pada Yuda.
Karena calon tunangannya sudah menunggu. Saya merasa kasihan padanya karena ia
sudah menunggu lama. Dan sekarang saat tepat bagi Yuda untuk bertunangan dengan
gadis itu. Dia sangat kaya dan cerdas, juga muda. Dia baru berumur sembilan
belas tahun, lebih muda satu tahun dari Yuda. Dan sangat cocok bagi Yuda.”
Mama
terdiam sejenak.
“
Dia sangat cocok untuk Yuda. Dia satu masa dengannya saat ini. Masa remaja yang
penuh dengan liku-liku cinta. Masa-masa mencari identitas diri, yang penuh
dengan kesenangan dalam pergaulan. Mereka berdua sangat cocok. Berbeda dengan
kita, Prof. Kita memasuki masa pendewasaan kehidupan yang sebenarnya. Kita
sudah seharusnya hidup dalam bahtera rumah tangga. Saya dan suami saya
mengalami berbagai macam problematika hidup berumah tangga. Namun saya
menyikapi penuh ketenangan. Saya tidak terkaget dengan semua itu. karena saya
telah memasuki masa itu.”
Profesor
Lestari menunduk. Air mata menetes deras ke lantai. Dadanya sesak oleh tangis.
Raut wajahnya memucat. Mukanya memerah. Suara tangisnya terdengar keras.
Sementara diriku masih tak percaya dengan sikap kedua orang tua. Aku menekan
kuat gigi-gigiku. Suasana hening tercipta. Hawa dingin terasa kental di sini,
menusuk sumsum tulang.
Ia
melepaskan cincin emas dari jari manisnya dengan perlahan. Lalu ia
menaruhnya di atas meja kaca. Ia menarik
napas panjang. Wajahnya masih pucat. Matanya basah oleh air mata.
“
Terima kasih, Nyonya. Kalau boleh tahu, calon tunangan Yuda itu orang mana ?”
tanyanya lirih.
Mama
tersenyum lebar. Ia menegakkan dagunya tinggi.
“
Dia orang Jakarta. Dia seorang anak seorang pengusaha kaya raya. Ayahnya
sahabat suamiku. Dan beliau punya jaringan bisnis di luar negeri, sangat
banyak.”
Profesor
Lestari menutup mata sambil mengangguk. Tiba-tiba ia berdiri dengan tegap. Ia
menatap lunak mama dan papa. Lalu ia memancarkan senyum indah.
“
Terima kasih banyak telah memberitahu banyak tentang Yuda. Juga memberi pelayan
di tempat mewah ini. Saya mohon pamit. Sekali lagi, saya ucapkan banyak terima
kasih,” ucapnya berlinang air mata.
Ia
berjalan cepat menjauhi ruangan. Ia membuka pintu ruangan. Tubuhku bergetar
hebat. Emosiku meluap tinggi. Aku berdiri, lalu berlari mengejarnya. Napasku
tersendat-sendat.
“
Yuda, berhenti !” teriak mama penuh emosi.
Aku
mengerem laju lari. Darahku seakan naik drastis. Aku mengepalkan kedua tangan.
Aku membalikkan badan. Dada terasa sesak oleh luapan emosi. Aku berkata dengan
lantang,
“
Mama tidak tahu perasaan Yuda sebenarnya. Coba jika Anda berdua menjadi Yuda
seperti sekarang ini. Sudah susah payah Yuda menemukan cinta sejati. Mengapa
Anda berdua tega menghancurkan impian Yuda ? Tolong jawab !”
Aku
membalikkan badan. Lalu aku berlari mengejar kekasihku. Terdengar bunyi keras
hentakan sepatu di belakang. Mama dan papa berlari kencang mengejarku. Kulihat
Lestari membuka pintu hotel dengan cepat. Aku berlari cepat mengejarnya.
“
Lestari ! Tunggu aku !” teriakku dengan lantang.
Aku
tidak peduli berapa banyak orang mendengar teriakan. Aku terus berlari dengan
kencang. Dan ia berlari kencang. Ia menghantam polusi udara di depan. Aku
menutup hidung dengan tangan. Keringat membasahi sekujur tubuh. Sinar mentari
terasa membakar kulit. Ia juga tampak kelelahan.
“
Lestari, tunggu aku. Jangan tinggalkan aku.”
Ia
tidak juga berhenti berlari.
“
Lestari, kumohon jangan tinggalkan aku. Jangan percaya ucapan mama dan papa.
Ucapan mereka itu bohong. Cintaku tulus hanya padamu.”
Aku
berhasil meraih lengannya. Tapi ia melepas dengan kasar. Aku tersentak kaget.
Ia menangis keras. Matanya tampak basah oleh air mata. Aku berdiri di depannya.
Kulentangkan kedua tangan.
“
Lestari, aku tidak akan menghindar sebelum kau percaya ucapanku. Ucapan mama
dan papa itu tidak benar. Mereka memang menjodohkan diriku dengan gadis pilihan
mereka. Tapi aku belum mengenalnya sedikit pun. Dan aku menolak, karena cintaku
hanya untukmu. Tolong jangan tinggalkan aku, Lestari. Jangan percaya ucapan
mereka. Kita pertahankan keutuhan cinta itu dari badai rintangan.”
Ia
hanya merespon dengan tangis. Ia berlari kencang keluar hotel. Aku berlari
mengejarnya. Tapi tiba-tiba seseorang memegang erat kedua tanganku dari
belakang. Aku tersentak, lalu menoleh ke belakang. Pak Fahrozi menangkapku
dengan kasar.
“
Apa-apaan ini !” teriakku.
“
Maaf, Tuan muda. Ini perintah dari Tuan Indra dan isterinya.”
Aku
menutup kedua mata. Emosiku meluap drastis. Aku berteriak keras,
“
Jangan halangi aku !”
Aku
membalikkan badan, lalu melancarkan tendangan ke arah perutnya. Ia terpental ke
arah tanah. Aku menghembuskan napas panjang. Keringat bercucuran deras
membasahi tubuh.
“
Maaf, Pak. Sekali lagi, Maaf. Bapak tidak tahu perasaan saya yang sebenarnya.
Saya sedang mengejar cinta saya yang tersakiti. Coba pikirkan jika bapak
menjadi diri saya, tentu bapak akan mengalami rasa sakit sangat dalam di hati.
Tolong jangan halangi saya, Pak. Terima kasih.”
Aku
berlari kencang menuju luar gerbang. Aku berdiri di pinggir jalan. Kulihat
Lestari sedang menyeberang jalan raya. Aku mencoba menyeberang jalan.
Mobil-mobil datang silih berganti. Aku berlari secepat mungkin. Sementara
Lestari telah berada di pinggir jalan.
“
Lestari, tunggu aku. Jangan tinggalkan aku. Lestari, kumohon, kumohon jangan
tinggalkan aku.”
Sebuah
metromini datang menghampirinya. Ia menoleh ke arahku. Air matanya deras
membasahi pipi. Ia naik metromini itu. Aku sampai di pinggir jalan. Metromini
berjalan cepat menembus kepulan asap hitam di depan. Aku berlari kencang sambil
menutup hidung.
“
Lestari ! Berhenti ! Tolong jangan tinggalkan aku !”
Air
mataku deras membasahi pipi. Aku berlari kencang mengejar metromini itu.
Stamina terkuras drastis. Keringat bercucuran deras membasi sekujur tubuh.
Kedua kaki serasa ingin lumpuh. Tiba-tiba sepatuku menghantam sesuatu, terasa
keras. Aku tidak bisa menahan keseimbangan tubuh. Tubuhku melayang ke depan,
lalu terpental ke tanah. Aku tergeletak tidak berdaya. Sementara metromini
terus berjalan. Aku menangis lirih di
tengah terik mentari yang menyengat kulit.
Nalis, 26 Agustus 2014
No comments:
Post a Comment