Setiap suku punya adat tersendiri. Dan sejatinya adat tidak
dicampur dengan religi, tapi hanya berbarengan. Sejatinya juga adat dan religi
tidak bisa bercampur, ibarat air dan minyak. Air dan minyak tidak bisa
bercampur, tapi saling berbarengan, mengiringi. Contohnya, Anda menggoreng ikan
dengan minyak, lalu Anda campuri santan dengan air secukupnya, lalu dimasukkan
ke dalam wajan. Apakah rasa minyak akan hilang karena bercampur dengan santan
berair ? Tidak, rasa minyak akan terus ada. Itulah mengapa dinamakan berminyak.
Tapi air dan minyak bisa berbarengan tapi tidak bisa bercampur.
Dan kalau dipaksa dicampur, tidak bisa akan rusak salah
urgensi suku maupun religi. Itu artinya, hukum alamnya tidak bisa dicampur.
Tapi jika disalahgunakan, ya rusak. Ibarat, air dan minyak digunakan untuk
membuat nasi putih. Maka jika gunakan air dan minyak, akan tidak enak rasanya.
Karena membuat nasi tidak perlu minyak. Jika Anda bilang nasi goreng. Itu beda
lagi. Yang saya bahas buat nasi putih saja. Pernahkah Anda makan nasi putih
berminyak. Kalau saya, langsung menyingkir.
Begitu pula, religi sejatinya religi saja, tidak bisa
dicampur apa pun sekali pun adat. Esensi religi haruslah asli atau original.
Misalkan sholat, saya jelaskan sholat termasuk esensi religi. Nah, esensi
sholat tidak boleh diiringi dengan apa pun di luar esensi sholat, semisal
setelah rukuk ditambah gerakan sekian dan sekian, atau bahkan sholat
menggunakan Bahasa masing masing. Itu jelas keluar dari esensi sholat. Karena
sejatinya religi tidak bisa bercampur dengan selain esensinya. Hanya saja bisa
berbarengan dengan dengan adat di suatu tempat, dengan syarat adat tidak keluar
dari esensi religi, yang mutlak harus ada.
Nah, bagaimana aplikasi religi berbarengan dengan adat ?
Seperti contoh di atas, sholat haruslah esensi aslinya. Tapi
setiap suku cenderung bermode dalam pakaian adat. Saya pribadi orang Jawa kalau
sholat memakai sarung kain, kemeja rapi muslim/ pakaian batik/ kemeja biasa,
dan peci. Apa bedanya dengan adat lain ?
Tentu beda, esensi adat suku lain dengan suku Jawa. Tidak
pasti peci mereka seperti yang orang Jawa pakai. Peci orang Jawa berwarna hitam
agak seperti bentuk kapal, yang sering dipakai pemimpin dalam foto resminya.
Beda lagi dengan budaya Arab. Mereka tidak menggunakan peci seperti itu. Mereka
menggunakan jubbah yang memanjang. Itulah budaya maupun adat suatu tempat,
cenderung tidak sama.
Lalu pakaian, kalau baju putih polos belum kering, saya
cenderung pakai batik untuk sholat. Hal ini tentu berbeda dengan suku lain yang
belum menggunakan batik. Seperti suku Arab, mereka tidak pernah memakai batik
dalam sholat. Karena batik bukan pakaian mereka. Lihat, dari segi pakaian, adat
setiap suku berbeda beda.
Begitu pula ketika merayakan pernikahan, orang Jawa punya
adat tersendiri, dan tentu tidak merusak esensi religi dalam pernikahan. Selama
satu hari, para perempuan diwajibkan untuk datang ke sana membawa satu sekian
beras. Lalu di sana disajikan makanan dan minuman. Dalam budaya Jawa disebut “
Medayoh “ kalau aqiqah disebut “ puputan “. Hal itu tidak dicampur dengan
esensi religi, tapi berdampingan dengan religi saja.
Jadi kalau ada yang bilang, itu keluar dari norma agama,
pelajari dulu apa yang dia sampaikan. Karena semua ada ilmunya. Lalu jika ada
yang Tanya,” katanya semua pakaian boleh, berarti koteka ( pakaian adat Papua )
boleh donk ? pakai batik untuk haji boleh donk ?”
Esensi dari sholat mengharuskan menutup aurat. Esensi dari
haji dan umroh mengharuskan pakaian putih. Nah, jika Anda memaksa pakaian
selain disyaratkan haji, berarti Anda merusak sendiri. Esensi dan religi tidak
bisa disalahkan, karena tidak bisa bercampur, hanya bisa berbarengan.
***
Negara Indonesia pun memiliki budaya sendiri. Pada dasarnya
orang Indonesia yang terdiri dari banyak suku suka mengumpul, tumpang tindih,
dan bergotong royong. Orang Indonesia juga suka kesederhanaan, sikap bijak
terhadap materi, maupun membantu sesama. Tapi seiring era baru, budaya itu
sedikit demi sedikit menyisih. Orang di negeri ini sibuk dengan barang
elektronik mereka. Rumah satu dengan tetangganya rame rame dipagari setinggi
mungkin. Tetangga menjerit seolah angina lewat. Banyak anak terlantar, orang
sakit keras, tapi tiada hati tergerak untuk menolang. Alasan simple,” emang
urusan gue.’
Dulu anak muda ketemu lawan jenis malunya setengah mati. Wanita
ketahuan tidak berjilbab malunya setengah mati. Menjadi penghafal Al quran
sebuah prestise agung. Dan sekarang, dengan berbagai gaya, laki laki dan
perempuan campur, bergandengan tangan, berdua di tempat ramai, seolah hal biasa.
Sekarang sebagian besar orang lebih bangga anaknya menjadi penyanyi terkenal di
banding hafidz Al quran. Bahkan gaya omongan pun berubah, dari sopan sekali
tutur bicaranya menjadi ‘ Lo, gue, alay, lebay, dan lainnya.”
Apa penyebabnya ?
Budaya barat sudah menjalar deras, meracuni, membunuh budaya
budaya original setiap suku. Barat selalu melakukan cara supaya budaya mereka
ditiru, sebagian lagi dirasuk ke dalam jiwa mereka. Sehingga benar benar rusak
seluruh fondasi dasar budaya asli yang baik itu. Melalui media elektronik
maupun massa, mereka gencar mempromosikan budaya mereka. Sehingga hari demi
hari kita tidak tahu apakah generasi bangsa ini masih terselamatkan dari nilai
nilai budaya yang ada sejak zaman nenek moyang kita dulu.
Nalis Bin H.Sudirkan, 19 Agustus 2014
No comments:
Post a Comment