Cerita
ini mungkin pernah dibaca atau didengar oleh sebagian dari Anda, terutama yang
berstudi Bahasa Arab seperti saya. Cerita ini termasuk cerita yang saya suka dari timur tengah. Tapi saya tidak
tahu apakah cerita ini nyata atau fiksi, yang pasti banyak pelajaran berharga
di dalamnya. Semua kata saya buat sendiri, tapi inti cerita tetap pada aslinya.
Sudah cukup lama saya membaca cerita itu sehingga hanya membekas inti cerita
dan terlupa semua kata-kata penulis aslinya.
Dan terakhir saya ucapkan pada Anda. Selamat membaca.
Alkisah,
seorang bapak dan anak sedang bepergian menuju hutan untuk memberi makan seekor
keledai yang kelaparan. Untuk melalui hutan itu, mereka harus melawati pasar
yang penuh keramaian. Pasar itu berada di pinggri jalan dan membentang luas
sampai hutan.
“
Nak, ayo kita langsung cepat-cepat menuju ke sana. Keledai kita sudah tampak
kelaparan. Ia butuh makan untuk bertanahan hidup,” himbau sang bapak.
Sang
anak mengangguk. Sang anak dan bapak tersadar bahwa keledai itu terlalu kecil
untuk ditumpangi oleh mereka berdua. Sang anak lalu menyuruh bapaknya untuk
naik ke atas keladai itu. Dengan terpaksa, sang bapak menerima tawaran sang
anak. Sang bapak pun menaiki keledai. Dan keledai itu berjalan perlahan. Sang
anak hanya memegang tali kekang keledai itu. Mereka berjalan perlahan sehingga
akhirnya mereka menuju keramaian.
Pasar
tampak ramai di pinggir jalan. Banyak penjual bertebaran. Begitu pula pembeli.
Keramaian menyelimuti daerah itu. sedangkan hutan tampak masih jauh. Hutan lebat
menghijau di daerah sejauh mata memandang.
Banyak
orang mengamti sang bapak dan anak itu. mereka pun berdua pun merasa canggung
diperhatikan seperti itu. rasa malu seedikit menyelimuti tubuh. orang-orang
tampak terheran melihat tingkah laku sang anak dan bapak. Sedangkan keledia
terus berjalan perlahan ke depan.’
Salah
seorang dari mereka berkomentar dengan keras,
“
Itu bapak macam apa sih. Tega-teganya menelantarkan anaknya begitu saja. Masak
dia enak-enakkan di atas keledai sedangkan anaknya disuruh berjalan seperti
itu. Emang bapak gak tahu diri, ya. Kasihan sekali anak kecil itu, disuruh
berjalan sedangkan bapaknya duduk manis di atas keledai.”
Salah
seorang lagi berkomentar,
“ Ya
benar, orang itu bapak tak tahu diri.
kasihan sekali anak itu. masih kecil disuruh jalan-jalan, sedangkan
bapak itu enak-enakkan duduk di atas punggung keledai.”
Sang
bapak pun merasa tersinggung mendengar desas-desus yang berhembus kencang dari
mulut mereka. Sang bapak pun turun.
Ia
berkata pada sang naka
“ Anakku,
apa kamu dengar ucapan mereka yang tidak enak didengar. Sekarang biar kamu naik
keledai ini. bapak tak ingin dibilang
sebagai bapak yang buruk oleh mata mereka.”
Sang
anak pun mengangguk. Ia menaiki keledai. Sang bapak menuntun keledai itu. Sang
anak hanya duduk manis sambil mengamati suasana di sekitar. Suasana semakin ramai.
Banyak pengunjung bertebaran. Dan mereka berdua pun menjadi perhatian banyak
orang. Salah seorang berkomentar,
“
Anak macam apa itu. Tega sekali ia menyuruh bapaknya berjalan. Mungkin dia anak
tidak tahu diri. kok ada ya anak seperti
itu. sudah dikasih makan dan minum. Kok sikapnya kurang ajar begitu sama bapaknya.”
Salah
seorang berkomentar,
“
Benar sekali, dasar anak tak tahu diri. Tega
sekali dia berbuat kurang ajar sama bapaknya. Bapaknya disuruh berjalan sedangkan
dia enak-enakkan duduk diatas keledai itu.’
Mendengar
desas-desus itu, sang anak turun dari keledai. ia sangat terukul oleh ucapan.
Ia menatap sang bapak.
“
Bapak, aku tak ingin dibilang sebagai anak kurang ajar seperti kata mereka.
Bapak juga tidak mau dibilang kurang ajar oleh mereka. Lalu apa yang harus kita
lakukan, pak. Sedangkan hutan masih jauh.”
Bapaknya
tersenyum lebar.
“
Nak, kita berdua berjalan kaki saja, Yuk.”
“
Wah, ide bagus itu, Pak.’
Sang
anak dan bapak berjalan sambil menuntun keledainya perlahan. Mereka pun
memasuki keramaian. Di kanan dan kiri jalan, banyak orang berkerumun memenuhi
isi jalan. Mereka berdua pun menjadi pusat perhatian. Sang anak dan bapak pun
merasa tidak enak hati. Salah seorang dari mereka berkomentar,
“
Itu orang waras gak sih. Masak keledai dibiarkan begitu saja, tidak
ditunggangi. Lalu mereka berdua memilih untuk jalan kaki. Otaknya dimana sih.
Di dengkul kali. Mereka tidak menggunakan otaknya.’
Salah
seorang lain berkomentar,
“
Benar sekali, mereka orang gila kali, ya. Masak keledai tidak ditunggangi
sedangkan mereka masih berjalan kaki. Mungkin mereka sudah kehilangan
kewarasan. Lihat saja mereka. Keringatnya sudah bercucuran. Kelelahan tampak
menyimuti diri. sudah tahu mereka bisa naik keledai mereka. Tapi mereka memilih
jalan kaki. Bukankah itu orang gila. Dasar memang benar, orang gila.”
Mendengar
desas-desus, sang anak dan bapak seolah kehilangan kesimbangan. Pikirannya
tergoncang hebat, sangat hebat.
“
Apa yang harus kita lakukan sekarang,Pak.’
“
Tirukan bapak, Anakku. Mungkin kali ini mereka tidak akan menyinggung tentang
kita. ini yang menurut mereka benar.”
Sang
bapak menjunjung keledai itu. Dan sang anak membantunya. Bapak itu menjunjung
keledai bagian depan. Sedangkan sang anak menjung keledai bagian belakang.
Mereka berjalan dengan tertatih-tatih. Keringat bercucuran deras. Mereka pun
menjadi perhatian banyak orang. Salah seorang dari mereka berkomentar,
“
Benar-benar orang, gila. Masak keledai tidak ditumpangi malah dijunjung.”
Salah
seorang lain berkomentar.
“ Ya
benar, benar orang gila. Itu.’
Mereka
berdua telah kehabisan ide dan terus berjalan ke hutan sambil menunjung
keledai. Selesai.
Apakah
Anda setuju dengan saya. Jika sang bapak atau anak itu berkata,” Suka-suka gue
donk, toh keledai gue sendiri. Toh juga keledainya juga tidak kuat ditunggangi
oleh dua orang. Bicara aja sesuka loe. Emang gue pikirin !”
Jika
hal itu terjadi, CERITANYA AKAN LAIN.
No comments:
Post a Comment