Hari ini menjadi hari bahagia sahabatku. Namanya Saiful. Ia
merayakan acara pernikahannya. Ia duduk di atas pelaminan bersama istrinya
tercinta. Namanya Zahra. Sebuah acara akbar di adakan. Para hadirin antuias
menyambut acara itu. Seorang master of ceremony naik ke atas panggung.
Ia memgang erat microphone, lalu didekatkan pada mulut. Ratusan pasang
mata tertuju padanya.
“ Acara selanjutnya yaitu sambutan dari pengantin baru pria. Kepada
sang pengantin baru, saudara kita tercinta, Saifullah bin Ahmad, di persilakan
untuk menaiki panggung.”
Master of ceremony itu
turun dari panggung. Saiful berjalan menuju panggung acara. Ia naik ke atas
panggung. Ia menatap para undangan yang hadir malam ini. Mereka terdiam
melihatnya terdiam. Ia mulai mendekatkan microphone pada mulutnya. Ia
mengucapkan salam. Jawaban salam pun terdengar keras dari para hadirin.
“ Saudara-saudaraku satu bangsa, satu suku, yang saya cintai.
Pertama-tama, saya mengucapkan banyak terima kasih pada anda sekalian yang
bersedia memenuhi undangan. Saya sengaja berbicara di hadapan anda untuk
menyampaikan sesuatu yang menurut saya penting untuk di sampaikan.
Saudara-saudaraku yang saya hormati, kita tahu bahwa hidup ini sangat berarti
dan bernilai bagi kita. Lalu apa jadinya bila hidup ini di anggap tidak
bernilai. Bahkan apa jadinya bila hidup ini hanya di anggap beban yang sangat
berat untuk di tanggung. Tiada lagi penyemangat. Tiada lagi harapan. Tiada lagi
keinginan untuk maju kedepan,
“ Dan itulah yang saya rasakan pada waktu itu. Saya di lahirkan
oleh keluarga miskin, sangat kekurangan. Di saat kecil, beban hidup serasa
tidak terbersit di pikiran. Bahkan saya tidak tahu bahwa orang tua saya sering
banting tulang demi sesuap nasi buat saya. Waktu terus berjalan. Saya tumbuh
dari masa kanak-kanak menuju anak-anak. Saya melihat teman-teman saya memakai
seragam sekolah dengan muka ceria. Mereka pergi ke sekolah bergandengan tangan
dengan wali mereka. Melihat mereka bersuka ria dalam euforia itu, saya jadi iri
hati. Lalu saya langsung pulang dan menumpahkan segala perasaan pada mereka
berdua,
“ Tapi apa kata mereka berdua. Mereka berdua menolak mentah-mentah
ucapan saya. Saya hanya di perbolehkan belajar agama di masjid dekat sini.
Karena tidak di kenakan beaya saat itu. Dan juga alasan mereka berdua tidak
mensekolahkan saya, jarak terlalu jauh dari rumah. Saya mengetahu alasan mereka
berdua. Lalu saya bertekad untuk meyakinkan mereka berdua bahwa saya bisa
menempuh jarak jauh pulang pergi. Mereka berdua akhirnya melunak dan
mengizinkan saya. Sungguh gembira hati saya waktu itu. Saya berpikir tentang
sekolah waktu itu, sekolah hanya berguna memperbanyak teman. Belum terpikirkan
di benak saya menjadi sarana vital dalam
menuntut ilmu,
“ Enam tahun saya bersuka ria bersama guru-guru dan teman-teman di
dalam satu bangunan bernama sekolah. Setelah itu, beban hidup mulai
membelenggu. Karena kondisi ekonomi keluarga tragis, saya berjuang
mempertahankan hidup dengan mengembala kambing. Saya merasa sedih dalam hati
karena saya tidak bisa melanjutkan pendidikan saya. Saya berpikir bahwa apa
gunanya otak yang di berikan oleh Tuhan bila tidak bisa di gunakan. Kadang saya
ingin menangis dalam hati. Tapi tentu hanya membuat hati saya menjadi lebih
sakit. Bahkan saya pernah berpikir bahwa Tuhan tidak adil pada diri saya.
Ketika saya melihat teman dan tetangga bersuka ria menikmati limpahan harta
yang di miliki,
“ Empat tahun saya mengembala kambing dari satu daerah ke daerah
lain tanpa memperhatikan jarak dan waktu. Hingga ketika saya singgah di suatu
perkebunan, saya bertemu dengan seorang pemuda ramah. Pemuda itu mempunyai
sifat budi pekerti baik. Pemuda bertutur kata halus, tidak pernah marah, dan
selalu memancarkan senyum pada saat bertemu orang. Pemuda itu memberi harapan
baru bagi saya. Ia bersedia menjadikan saya sebagai murid. Ia seorang pemuda
pintar dalam ilmu Agama Islam. Pada saat itu, hati saya seolah terbang tinggi.
Kegembiraan secara berlebihan datang pada diri saya. Dan yang paling membuat
saya terkagum, Ia sama sekali tidak membedakan antara diri saya dan dirinya.
Diri saya berpakaian lusuh, compang-camping, dan wajah penuh debu. Sedangkan Ia
berpakaian selalu rapi, berwajah bersih penuh senyum. Bila anda melihatnya,
anda akan merasakan ketentraman batin luar biasa. Senyumannya saja seakan udah
cukup membuat luluh hati pendengki sekali pun,
“ Saya di ajari banyak ilmu agama olehnya. Hingga Ia menyuruh saya
bekerja pada salah satu usahanya. Ia menjadi perantara dalam kemajuan ekonomi
hingga seperti ini. Sampai sekarang, saya masih berhutang budi banyak padanya.
Entah dengan apa saya harus membalas budinya. Apa dengan ilmu. Tapi ilmunya
jauh lebih tinggi dari saya. Apa denga harta. Tapi hartanya jauh lebih banyak
dari saya. Saya bangga punya sahabat sepertinya. Saya bersyukur pada Tuhan.
Semangat saya kembali dalam mengarungi hidup. Saya mengetahui bahwa hidup ini
bermakna. Dan siapa orang yang memberi tahu saya seperti itu. Saya bercerita
seperti ini supaya anda tahu. Ternyata di dunia ini ada seorang pemuda peduli
dengan orang lain. Seorang pemuda pemberi semangat hidup pada saya. Semangat
hidup berapi-api yang dulu pernah padam. Tapi saya merasa ingin membalas
budinya dengan mengenalkan kepada anda sekalian tentang dirinya,
“ Sekarang balikkan badan anda semua. Lihatlah seorang pemuda
membawa kemeja putih rapi sedang duduk pada barisan terakhir bagian paling
pojok kanan. Dia seorang pemuda kaya raya yang telah saya ceritakan panjang
lebar pada anda sekalian. Dia seorang pengusaha sukses di negeri ini. Namanya
Firman Shiddiq.”
Semua pasang mata tertuju padaku. Gemuruh tepuk tangan pun di
lakukan, meramiakan suasana malam ini. Mereka nampak terkagum-kagum padaku. Aku
tidak bisa membendung air mata untuk keluar. Cerita sahabatku itu memberi rasa
haru yang dalam di jiwa. Air mataku meleleh deras. Aku tidak menyangka mendapat
sambutan sehangat ini. Itukah balas budi sahabatku. Yang pasti, malam ini
terasa berkesan di hati.
No comments:
Post a Comment