Roni
mengajak sang pujangga berjalan menuju perkuburan bapak dan ibunya. Pujangga
itu hanya menunduk. Ia merasa kehilangan semuanya. Setelah kehilangan kekasih
hatinya, dirinya dikagetkan oleh berita kematian bapak dan ibunya. Sang
pujangga itu merasa langit seolah runtuh, lalu menimpa dirinya. Ia merasa
menjadi orang paling tidak beruntung di dunia. Ia juga merasa nasibnya tragis,
seperti sudah jatuh ketimpa tangga, lalu masuk selokan.
“
Tegar, seharusnya kamu mengutamakan kedua orang tuamu daripada cintamu pada
gadis itu. Kamu terlalu berlebihan mencintai gadis itu,” ucap Roni dengan
perlahan.
Ia
menambahkan,
“
Gar, sungguh masih beruntung nasib jenazah bapak dan ibumu. Mereka berdua
dikebumikan tanpa dikenakan beaya sedikit pun dari pihak keluarga, yaitu kamu.
Sudah ada donatur yang bersedia membantu warga miskin atau kurang mampu.
Donatur dari pemerintah setempat.”
Mereka
berdua memasuki area pemakaman. Awan-awan gelap menghiasi langit pagi itu.
Sesekali guntur bergemuruh hebat. Kilat menghiasi langit dengan warna kuning
keemasan, membentuk seperti akar tumbuhan. Tampak sepi area pemakaman itu.
Angin berhembus kencang, menerpa dedaunan pepohonan. Dedaunan pun berguguran,
tidak kuat menahan gempuran angin yang dahsyat. Rambut pujangga itu
beterbangan, seolah ingin lepas dari kepala. Angin membawa debu-debu
beterbangan, lalu menghantam wajah mereka berdua.
Roni
menunjuk dua gundukan tanah yang masih baru. Dua batu nisan tampak
bersampingan. Sang pujangga itu langsung berlari kencang. Tangis tidak dapat
dibendung. Ia meraih dua gundukan itu, terasa masih baru. Ia menangis keras. Ia
memanggil nama bapak dan ibunya.
“
Bu...Pak.....Bu....Pak.....Bu....Pak.....”
Ia
menjerit-jerit seperti orang tak waras. Ia mencakar-cakar gundukan tanah itu,
seolah ingin menggali tanah itu kembali. Roni langsung mencegahnya. Tapi sang
pujangga itu meronta-ronta, menangis tiada henti. Awan-awan semakin menghitam.
Sesaat berselang, air hujan pun datang dan langsung menghantam tubuh mereka
berdua. Roni menghimbau pujangga itu untuk kembali ke rumahnya. Sang pujangga
itu tak merespon. Ia masih meronta-ronta. Pakaiannya pun basah kuyup dan kotor
terkena tanah basah.
Sang
pujangga itu berdiri. Ia menjerit keras. Ia mencakar-cakar wajahnya. Roni pun
tersentak melihatnya. Tubuhnya bergetar hebat. Rasa takut sedikit menyelimuti
tubuh. Bulu kuduknya berdiri. Ia merasa pujangga itu sudah kehilangan akal
sehat. Ia pun berjalan menjauhi dari pujangga. Dan sang pujangga itu berdiri.
Sekujur tubuh dan pakaiannya tampak terlapisi tanah basah. Ia berjalan menjauh
dari pemakaman itu. Hatinya benar-benar hancur. Ia merasa dunia telah
memusuhinya. Ia merasa kehilangan semuanyaa, termasuk akal sehatnya. Tekanan
batin begitu hebat menghantam dirinya. Dan dirinya benar-benar merana.
Ia
berjalan tertatih-tatih di pinggir jalan. Sementara ia tidak menghiraukan air
hujan yang mengguyur deras. Mobil-mobil bertebaran di jalan raya. Suara bising
tidak membekas sedikit pun di telinga pujangga. Ia terus berjalan sambil
membungkuk. Pikirannya hanya terfokus pada kegelapan yang datang menghantam
dirinya. Ia merasakan air hujan seperti sengatan listrik yang menyiksa
tubuhnya. Ia merasakan angin seolah guntur yang menampar tubuhnya.
Air
matanya mengering. Tapi rasa sedih belum sirna, malah semakin menjadi-jadi.
Rasa sedihnya seolah menghancurkan seluruh bagian organ tubuh secara perlahan.
Rasa sedihnya melumpuhkan seluruh organ tubuh. Ia berjalan perlahan tanpa arah
dan tujuan yang jelas. Hawa dingin seolah tidak membekas di tubuhnya. Ia
melentangkan kedua tangan sambil menatap langit yang menggelap. Banyak orang
mengamatinya. Rasa iba pun muncul pada diri mereka.
Ia
berteriak keras di tengah guyuran hujan yang hebat,
Kaulah
penguasa, kaulah segalanya
Jika
kau samudera tanpa batas, maka aku secuil debu pasir
Jangan
kau timpa aku dengan kisah sedih yang membara
Hatiku
sungguh bagai pasir yang dihantam ombak besar
Aku
tak kuat lagi menahan gempurannya
Karena
itu aku minta secuil asa untuk bersabar
Suara
pujangga itu begitu menggelegar. Suaranya seolah mengalahkan air hujan. Banyak
orang mendengar kata-katanya . Mereka berteduh sambil menatap pujangga itu
penuh rasa iba. Mereka tampak tersentuh oleh kata-kata manisnya.
Salah
seorang dari mereka berkata,
“
Dia sedang menyinggung tentang Tuhannya.”
Salah
seorang lain berkomentar,
“
Tidak, dia sedang berbicara dengan dirinya sendiri. Ia menganggap dirinya
segalanya, yang membuat dirinya merana dan merana. Ia menganggap dirinya telah
memusuhi dirinya sendiri. Ia menyerah
pada dirinya sendiri. Kedua orang tuanya meninggal karena dirinya, lalu cinta
sejatinya hilang seketika. Sehingga membuat batinnya menyiksa raganya, bahkan
pikirannya. Lihat saja penampilannya, kasihan sekali. Dirinya benar-benar
ditakdirkan untuk bersedih berkepanjangan. Kasihan sekali, kasihan sekali.”
Salah
seorang lain berkomentar,
“
Aku mendengar kekasihnya itu anak gadis Pak Hermawan, seorang konglomerat yang
terkenal itu.”
“
Benar sekali, kekasihnya mencintai sangat dalam. Tapi papa dan mamanya tidak
menyetujui cinta mereka. Dan akhirnya, cinta mereka menyiksa mereka, bahkan
melumpuhkan pikiran mereka. Aku tak bisa membayangkan bahwa cinta mereka begitu
kuat dan dalam.”
“
Tapi aku mendengar bahwa kekasihnya telah bertunangan dengan pria lain pilihan
papa dan mamanya.”
“
Benar sekali, bukan hanya itu, kekasihnya juga akan mengikat tali pernikahan
dengan pada hari yang ditentukan. Aduh, kasihan sekali pujangga itu. Hatinya
benar-benar merana. Aku merasa satu-satunya jalan untuk menghilangkan beban
pikiran yang membelenggu dirinya adalah dengan menyatukan dirinya dengan
kekasihnya. Dan itu menjadi jalan terbaik.”
Hujan
mulai menipis. Awan-awan mulai terang kembali. Sinar mentari pun memancar cerah
ke segala penjuru. Pujangga itu merasakan kehangatan seiring panas menjelma.
Perutnya mulai bergetar hebat. Rasa lapar pun hadir. Tapi ia mencoba menahan
sekuat tenaga. Ia berjalan tanpa tujuan yang jelas.
Ia
berteriak keras,
Aku
menyapa sang mentari
Dengan
penuh sengatan di hati
Luka
ini tiada bertepi
Dimanakah
kau ini janji
Kau
anggap aku ini seperti duri
Tapi
aku tetap setia disakiti
Tolonglah
aku
Tolonglah
aku
Aku
tak tahu harus kemana lagi
Janji,
kemanakah engkau pergi
Ia
terdiam sejenak. Ia menadahkan wajah ke atas, melihat sang mentari yang
bersinar cerah. Ia mengambil napas dalam-dalam. Lalu ia berkata penuh linangan
air mata,
Wahai
mentari kau hadir setelah gelap
Dan
gelap terhiasi sinar kelap-kelip
Kau
bagai janji manis yang pernah terukir
Meskipun
penghianatan yang hadir
Sinar
cerah berkilauan di mata
Berubah
menjadi duka tiada tara
Tiba-tiba
seseorang menepuk bahu pujangga itu dari belakang. Sang pujangga pun
membalikkan badan. Ia mengerutkan kening. Seorang lelaki kebapakan berjenggot
lebat menatap tajam dirinya. Pujangga itu mengira bapaknya hidup kembali, lalu
menyapanya sambil tersenyum tipis.
“
Bapak ?” ucap pujangga itu terheran.
Seorang
lelaki itu menjawab,
“
Bukan, aku bukan bapakmu. Bapakmu sudah meninggal. Aku hanya ingin
memberitahukan sesuatu padamu.”
“
Lalu apa itu ?”
“
Aku ingin memberitahukan padamu bahwa mantan kekasihmu telah melupakan dirimu.
Dia telah menerima tunangan dari pemuda pilihan papa dan mamanya. Dan juga, aku
ke sini sebagai utusan dari papa dan mama mantan kekasihmu itu untuk
menyampaikan hal ini. Dalam beberapa hari ke depan, ia akan melangsungkan
pernikahan. Dan satu lagi, papa dan mama mantan kekasihmu tidak akan
menjebloskan dirimu ke dalam penjara. Karena kamu dianggap sudah bukan orang
waras lagi. Jadi, kamu tidak terkena jalur pidana hukum. Seharusnya kamu harus
berbangga..he...he....” jawabnya penuh meremehkan lawan bicara.
Sang
pujangga itu tampak berada dalam luapan emosi. Ia berteriak keras sambil
memegang erat kepala dengan kedua tangan. Rasa sedihnya semakin memuncak.
Pikirannya tertekan hebat. Ia berlari kencang meninggalkan orang itu. Ia
berteriak keras seperti orang tidak waras. Dan ia merasa tekanan hebat di
pikiran. Tangis pun dilakukan. Banyak orang mengamatinya penuh rasa iba. Mereka
seakan merasakan kepedihan yang dialami oleh pujangga itu. Tidak jarang, air
mata meleleh deras membasahi pipi.
Sang
pujangga duduk sambil menyandarkan punggung di dinding rumah. Ia meratapi
kesedihan dirinya yang begitu dalam. Kondisinya tampak memilukan. Sekujur
tubuhnya tampak kotor, penuh debu-debu. Rambutnya pun acak-acakan, penuh debu.
Kedua matanya tampak bengkak. Air matanya terkuras habis. Tapi kesedihan tak
kunjung menjauh darinya, bahkan semakin mendekat, semakin menyelinap lama di
hatinya, lalu meruntuhkan pikiran sehatnya.
Rasa
pedih cintanya mengubah hidupnya drastis. Ia menderita karena cinta yang begitu
dalam pada gadis itu. Ia teringat masa-masa indah yang terukir manis. Dan
masa-masa itu tak mungkin kembali, seolah arang yang tidak bisa diubah kembali
menajdi kayu. Ia mencoba kembali membangun puing-puing yang sudah runtuh. Ia
teringat masa anak-anak yang penuh dengan pujian. Banyak prestasi diraih. Tapi
ingatan itu hilang seketika. Dalam pikirannya hanya terisi kisah percintaan
dirinya dengan gadis itu. Ia memegang erat perutnya. Rasa lapar hebat menyengat
perutnya. Rasa perih pun hadir. Asam-asam lambungnya naik ke kerongkongan
akibat lambung tidak terisi cukup lama, juga faktor stres sebagai pemicu.
Beberapa
orang merasa iba. Dan mereka langsung memberi makanan. Mereka menaruh nasi
goreng dan air mineral dalam kemasan di depannya. Sang pujangga itu langsung
meraih makanan itu, lalu memakannya penuh kenikmatan. Lalu ia meneguk air putih
penuh kenikmatan.
Story By Nalis
Jika dilanjutkan, Anda akan menangis.
Cerita bagian dari cerita yang sangat panjang.
No comments:
Post a Comment