Ah, perasaanku sendu. Pikiran tiba-tiba mengarah ke suatu alam lain.
Aura pantai tak sedikit pun dirasa. Mataku agak memburam. Aku tak
merasakan belaian angin yang tampak berhembus kencang. Sementara ombak
bergemuruh. Di jauh di tepian pantai, ombak besar berkobar siap
menggulung apa pun di dekatnya. Di sekelilingku sebuah perahu tampak
rusak. Yang kuheran, perahu tampak seperti milik pamanku. Perahu itu
rusak parah dan terbelah dua. Aku semakin terheran. Sebenarnya ada apa
ini ?
Kudengar di kejauhan sebuah teriakan terdengar
sangat keras. Tapi teriakan itu berada di tengah laut. Aku menduga para
nelayan marah karena seorang asing menangkap hiu. Ikan hiu sering
terperangap di jaring nelayan, lalu dibawa pulang. Kemudian induk hiu
marah dan sesekali mendekati pantai untuk mengakibatkan kekacauan. Aku
berjalan pelan. Seolah berjalan di alam lain, tapi aku jelas di sini.
Oh, apa yang terjadi. Mengapa aku tak bisa merasakan belaian angin itu.
Mengapa aku tak bisa merasakan getaran keindahan alam yang menawan di
mata ini. Seperti para malaikat bersiap membawaku terbang tinggi ke
langit.
Kulihat beberapa nelayan duduk lesu di atas
bongkahan kayu. Angin pantai tampak menampar tubuh mereka. Kepala mereka
tertunduk lesu. Tidak ada saling komunikasi di antara mereka. Tapi
kudengar mereka menangis lirih. Aku berjalan mendekati mereka. Air mata
mereka meleleh membasahi pipi.
" Lek, mengapa lek menangis ?' ucapku pelan.
Tapi
mereka tidak membalas. Aku berada di depan mereka. Tapi mereka tak
merasakan kehadiranku. Aku menepuk bahunya. Ia masih tertunduk. Aku pun
berteriak keras. Tapi mereka semakin menangis keras. Apa yang terjadi ?
Oh apa yang terjadi ?
Aku berlari menuju rumahku.
Kampungku seolah kampung mati. Hanya sesekali kulihat orang duduk di
depan rumah. Lagi - lagi mereka tertunduk lesu. Aku menyapa mereka.
Tangis mereka semakin kencang.
" Lek, ada apa ini ? Kenapa lek tidak bisa mendengar saya."
Aku
berlari menuju rumah. Tampak kerumunan orang berdiri lesu. Kepala
mereka tertunduk. Sesekali mereka menangis. Aku paling tidak tahan
melihat orang menangis. Kupegang bahu masing masing dari mereka. Tapi
mereka juga tak merasakan kehadiranku. Aku pun berjalan menuju rumah.
Paman duduk lesu sambil meneguk segelas teh. Ia berlayar bersamaku juga
teman temannya tadi. Tapi aku sekalipun tidak ingat apa yang terjadi
sehingga aku berada di pinggir pantai. Aku mencoba membuka lembaran
memori memori tadi. Tapi hasilnya nihil.
" Lek, Bu, Pak, sampeyan nangis ?"
Mereka
tidak juga menjawab. Tiba tiba wajah mereka berdiri tegak. Dan seketika
gemuruh tangis meledek. Pasang mata mereka tertuju ke arah luar, ke
arah pintu yang terbuka. Tangis mereka meledak. Aku semakin panik. Apa
yang terjadi ? Apa yang terjadi ?
" Kenapa jadi seperti ini hiks ... hiks ... hiks ... !!! " teriak pamanku sambil menangis keras.
Aku
berdiri, lalu membalikkan badan. Tampak sebuah keranda diangkat empat
orang dengan kepa la menunduk. Keranda itu dibuka, seketika mereka
berlari memeluknya sambil menangis keras.
" Nasibmu Nang ... Nasibmu Nang ... Nasibmu Nang .. hiks ..hiks... hiks .."
Aku berjalan mendekati keranda itu. Dan tubuhku merinding. Tubuh yang berada di dalam keranda itu milikku.
Story By Nalis
Gambar dari :
No comments:
Post a Comment