Malam
menjelma. Langit membentangkan hubah hitam berhiaskan bintik-bintak putih. Aku
berjalan pelan menuju rumahku. Rumah-rumah penduduk tampak sepi. Lampu
dipadamkan, kegelapan pun menjelma. Hanya suara binatang malam meramaikan malam
ini. Angin malam berhembus kencang, menusuk tulang.
Malam
ini terasa hampa. Pikiranku benar-benar tergoncang hebat. Aku merasakan
kesedihan mendalam. Tidak terdengar tangis di luar. Tapi aku menangis keras
dalam hati. Hatiku menciut. Dunia yang luas dan lebar ini seolah sempit,
sesempit hatiku. Aku berjalan sambil tertunduk lesu. Tubuhku lemas seketika.
“ diriku oh diriku, mengapa nasibmu sangat malang. Apa salahmu,” ucapku
penuh keluh kesah.
Kusarakan
kesesakan batin sangat mendalam. Apa yang terjadi ketika sebuah pasangan suami
istri menikah cukup lama, lalu tidak dikaruniai anak ? Tentu sangat
menyakitkan. Sepasang suami istri sangat mengharapkan buah hati. Tanpa
kehadiran buah hati, hidup terasa hampa. Kebahagiaan seolah terkikis. Bahkan
harta berlimpah pun serasa asam tanpa kehadiran buah hati. Dan itulah yang
kurasa sekarang. Aku sangat tersiksa tanpa kehadiran buah hati. Padahal sudah
sepuluh tahun aku merajut tali kasih dengan bidadariku. Tapi aku terus berdoa
agar impianku bisa terpenuhi. Yang paling menyesakkan hati, tidak sedikit orang
menyuruhku untuk membagi cintaku. Aku dipandang sebagai anak orang ternama.
Untuk itu mereka seakan memaksa diriku untuk memiliki keturunan. Pikiranku
tergoncang hebat.
Aku
masih teringat di malam pertama saat aku menikah. Aku bercumbu bersama istriku
sangat mesra. Aku berandai-andai tentang masa depan. Istriku ingin punya anak
pertama perempuan. Sedangkan aku ingin anak pertama laki-laki. Bahkan aku
sempat memberikan nama untuk anakku nanti. Pada waktu itu, kecerian seolah
menjadi teman akrab diriku dan istriku.
Namun
sekarang, keceriaan berubah drastis menjadi kesedihan. Tahun demi tahun, kami
menanti kehadiran sang buah hati. Tapi sepuluh tahun selama pernikahan, kami belum
juga dikaruniai seorang anak. Rasa sedih bercampur khawatir pun menjadi satu.
Aku sudah berkali-kali memeriksakan istriku ke dokter. Tapi tidak ada masalah
di dalam diri istriku, begitu pula diriku. Kami sangat bersedih.
Kulihat
sebuah rumah sederhana berada di depan pelupuk mata. Rumah itu tidak terlalu
besar, berpapan kayu, beralaskan tanah. Bagian muka rumah hanya dihiasi pintu
kayu dan kaca jendela. Lampun rumah masih menyala terang. Pepohonan jambu
tampak berdiri tegak di sekeliling rumah. Nyanyian binatang malam semakin
terdengar keras, seolah memecah keheningan malam. Kesedihan sedikit terobati
mendengar suara merdu binatang malam.
Aku
mengetuk pintu secara perlahan. Terdengar langkah suara kaki di dalam rumah.
Dan suara langkah itu semakin membesar. Daun pintu bergerak. Pintu pun terbuka
lebar. Tampak seorang wanita berambut hitam lurus tersenyum manis padaku.
Wajahnya putih bersih. Hidungnya mancung. Kedua matanya bening. Parasnya sangat
mempesona. Aku tersenyum bahagia. Ia seolah bidadari turun dari langit, lalu
ditakdirkan hidup bersamaku. Hatiku berbunga-bunga. Aura kebahagiaan tiba-tiba
hadir kembali.
“
Mas, apa tadi mas bertemu dengan ibu ?” tanya Rini penuh kelembutan kata.
“ Ya
benar.”
“
Lalu mas membicarakan hal apa dengan ibu ?”
Aku
tak ingin membebani diriku lebih dalam. Aku langsung masuk ke dalam rumah. Aku
menggandeng halus kedua tangannya. Aku duduk di atas kursi kayu. Rini
menghidangkan pisang goreng dan segelas teh hangat. Ia pun duduk di atas kursi,
berhadapan denganku. Sebuah meja kayu menjadi pembatas diriku dan dirinya.
Rini
tersenyum lebar. Kedua pipinya melesung tajam. Kedua mataku sangat termanjakan.
Aku tak tega menyakiti hatinya lebih dalam. Aku meneguk segelas teh hangat.
Rini berdiri lalu berjalan menghampiriku. Ia memijit kedua bahuku penuh
kelembutan. Aroma wangi tubuhnya menyebar. Ia memakai parfum beraroma melati.
Hidungku pun termanjakan.
“
Mas tadi membicakan apa dengan ibu ? Tolong jawab, Mas,” pinta Rini penuh
harap.
“
Sudahlah, Rin. Mas capek,” jawabku pelan.
“
Apa membicakan tentang Rini ya Mas ?”
“
Rin, mas capek. Pikiran mas belum sepenuhnya fresh. Kamu satu-satunya
permaisuri hatiku yang tak tergantikan.”
Kulirik
dirinya. Ia tertunduk lesu. Aku pun mengerutkan kening. Aku pun berdiri, lalu
membalikkan badan. Kutatap bola matanya yang indah. Ia masih tertunduk lesu.
“
Rin, mengapa kamu tertunduk ? Wajahmu tampak pucat,” tanyaku penuh penasaran.
“
Mas, banyak terdengar kabar bahwa mas ingin menikah lagi. hanya disebabkan kita
belum memiliki buah hati, Mas. Rini sangat sedih mendengar desas-desus itu,
Mas. Sebagai seorang istri, Rini juga punya keinginan dimadu. Rini sangat
mencintaimu, Mas,” jawabnya sambil tertunduk lesu.
Aku
memegang erat kedua bahunya. Ia menitiskan air mata. Dadaku pun terasa sesak. Wajahnya
memerah. Aku pun melelehkan air mata. Aku paling tidak tega melihat perempuan
menangis.
“
Rin, tolong dengarkan aku. Aku sangat mencintaimu. Kamu menjadi belahan jiwaku,
tambatan hatiku. Tidak ada wanita di dunia ini selain ibuku dan kamu. Kamu cintaku.
Kamu benar-benar membekas di lubuk hatiku, tidak tergantikan. Tidak ada seorang
wanita pun merasuk ke dalam jiwaku selain dirimu, Kasih. Camkan kata-kataku
ini, Kasih. Aku sangat mencintaimu,” kataku penuh penghayatan.
Air
matanya masih meleleh. Suara tangis terdengar dari dalam dirinya. Ia langsung
memelukku erat. Aroma wangi terasa sangat kental dari dalam tubuhku. Aku
menerimanya penuh kenikmatan. Sepasang kekasih sedang dirundung kesedihan
mendalam.
“
Mas, kita belum memiliki keturunan. Rini tentu sangat mengecewakan mas. Mas
menjadi anak satu-satunya seorang kyai besar di desa ini. Apalagi mas juga
melanjutkan jejak almarhum bapak mas. Banyak orang menginginkan mas punya
keturunan. Sedangkan Rini belum bisa menurutinya. Rini sangat malu dan sedih sekali.”
“
Rin, kamu sama sekali tidak bersalah. Dan kamu tidak perlu malu. Di dunia ini,
bukan hanya kita saja mengalami hal ini. Bahkan lebih lama dari kita pun banyak
terjadi. Tapi mereka menjadi pasangan setia. Cinta mereka tidak terputus
meskipun cobaan menerpa.”
“
Apakah mas terpengaruh oleh kata-kata mereka ?”
Aku
melepaskan pelukannya.
“
Rin, aku sama sekali belum ada niat untuk menikah lagi. Aku belum ingin membagi
cintaku, Rin. Di samping itu, aku juga bukan orang kaya raya. Aku belum sanggup
untuk berbuat adil. Tapi memang tidak dipungkiri, aku sangat ingin punya
keturunan.”
Rini
semakin menangis keras. Aku tak tega mendengarnya. Ia menjongkok, lalu memeluk
erat kedua kakiku. Aku pun tersentak. Aku langsung meraih tubuhnya, lalu
kutegakkan badannya. Ia tertunduk lesu.
Aku
bertanya penuh terheran,
“
Rin, mengapa kamu melakukan hal itu ?”
“
Mas, tidak ada perempuan di dunia ini yang begitu saja diduakan dalam hal cinta.
Tapi sekarang kondisinya sangat berbeda. Banyak sekali desas-desus bermunculan.
Rini sudah tak kuat lagi mendengarnya. Seandainya Rini tidak menikah dengan
mas, mungkin hasilnya akan lain. Tapi mas punya silsilah keluarga terpandang.
Oleh karena itu, Rini sangat merasa bersalah tidak bisa membahagiakan mas.
Meskipun begitu, Rini sangat mencintai mas.”
“
Rin, belum terbersit di pikiranku bahwa aku ingin memadu cintaku. Tolong jangan
berpikir macam-macam, Rin.”
Rini
menegakkan pandangan pandangan. Kedua bola matanya terpancar bening. Wajahnya
kembali bersinar indah, memberi aura kebahagia bagi siapa saja yang memandang.
“
Mas, Rini sangat ingin mas punya keturunan. Mungkin ini sangat sulit untuk
diungkapkan. Tapi karena mas menjadi seorang kyai besar, mas pun harus punya
keturunan.”
Aku
mulai memahami maksud ucapannya.
“
Rin, aku belum ingin menduakan cintaku. Aku ingin memperbaiki ekonomi kita
dulu. Untuk itu, aku akan merantau ke Jakarta mencari penghasilan yang layak.
Kita butuh hidup dengan kebahagiaan jangka panjang, Rin. Dan hal itu sekaligus
alternatif supaya berkurang desas-desas orang-orang. Tapi aku akan pulang satu
bulan satu kali.”
Rini
tersenyum lebar. Kedua pipinya melesung dalam. Aku pun tersenyum lebar. Ia tiba-tiba
langsung mencium pipiku penuh mesra.
“
Kaulah hidupku. Kaulah tambatan jiwaku. Kaulah pangeranku. Kaulah permataku.
Jangan pernah lupakan aku, Sayang,” ucapnya penuh manja.
Nalis, 26 Agustus 2014
No comments:
Post a Comment