Monday, August 18, 2014

Sebuah Mutiara Tenggelam Di Dasar Sungai Kumuh Ibukota



Angin berhembus kencang. Guntur bergemuruh hebat. Suaranya serasa memecah gendang telinga. Kilat memancar di langit, berwarna kuning keemasan, membentuk akar tumbuhan. Hujan turun deras. Pepohonan menari-nari diterjang angin. Daun -daun berguguran. Malam menujuk puncak. Terasa sunyi malam dari suara orang. Hanya nyanyian binatang malam menemani gemuruh alam.

Listrik padam. Semua menjadi gelap gulita. Aku menyelimuti tubuh dengan selimut. Angin berhembus kencang di luar, sesekali menyusup masuk lewat lubang dinding kayu, lalu menghantam tubuhku. Tubuhku menggigil kedinginan. Aku berusaha menuju alam mimpi, tapi gemuruh di langit seolah tak mendukungku. Aku bangkit, lalu menghirup napas panjang. Aku tidak bisa tidur.

Aku putuskan membuat susu manis. Aku berjalan keluar dari kamarku. Aku memegang senter sebagai penerang. Warna kuning keemasan terpancar dari senter. Aku berjalan menuju dapur. Aku tersentak. Di tengah gemuruh hujan lebat, aku mendengar suara seorang bocah di luar. Tapi aku segera membuang jauh. Aku mengganggap hal itu sebagai halusinasi saja.


Suara itu semakin membesar. Aku mendengar suara tangis seorang bocah. Tubuhku merinding. Bulu kudukku berdiri hebat. Di dalam pikiranku terbersit, “ Siapa bocah itu ? datang tengah malam sambil menangis, di tengah hujan lebat juga guntur menggelegar.” Aku mencoba tenangkan diri. Aku berjalan pelan menuju luar rumah. Firasatku mengatakan bocah itu menangis tepat di depan rumah.

Tubuhku lemas tidak berdaya. Aku merasa tidak kuat lagi berjalan. Aku ingin ambruk. Pikiranku buyar.  Sudah seharian, aku banting tulang di seantero Jakarta. Berjam-jam berdiri dalam kemacetan. Juga mata kuliah menfosir pikiran. “ Ah....aku ingin tidur saja,” ucapku dalam batin. Aku membalikkan badan, lalu berjalan pelan menuju kamar. Tapi suara tangis bocah itu semakin terdengar keras. Dalam hati kecil, aku merasa iba padanya. Aku putuskan berjalan ke luar rumah.

Aku menghirup napas panjang, berharap energi baru merasuk ke tubuh. Aku mendengar tangis keras, keras sekali. Suara tangisnya mengalahkan suara hujan yang mengguyur Ibukota malam itu. Aku sampai di depan pintu. Aku membuka pintu secara perlahan. Pintu terbuka. Aku tersentak kaget.
“ Wushhhhh......Wushhhhh.”
Angin malam menampar wajahku. Debu-debu menghantam mataku. Aku langsung mengucek kedua mata, terasa perih. Aku mengambil napas panjang. Suasana gelap gulita. Semua lampu tampak padam. Aku menoleh ke arah kiri dan kanan, tak seorang pun terlihat. Aku sedikit penasaran. Kutadahkan wajahku ke atas. Aku tersenyum lebar. Kilat memancar indah, memanjakan kedua mataku. Sesekali bintang-bintang terlihat di sela-sela gumpalan awan hitam.

Aku menggaruk-garuk kepala. Aku juga terus menguap. Mata mulai terasa berat terbuka. Kegelapan dominan di depan seolah mulai merasuk kental di pikiran, lalu masuk ke alam mimpi. Aku segera membalikkan badan, lalu berjalan pelan menuju ke dalam rumah. Tiba-tiba jaketku tersangkut sesuatu di belakang. Aku segera mengulurkan tanganku.

Jantungku berdetak kencang, serasa hampir copot. Aku tersentak. Bulu kudukku berdiri hebat. Rasa takut mulai menyelimuti diriku. Tubuhku merinding seratus delapan puluh derajat. Aku berdiri kaku.  Aku meraba tangan seorang manusia. Aku mendengar suaranya lirih,
“ Tolong....tolong....tolong.”
Aku membalikkan badan. Kuarahkan lampu senter ke arahnya. Cahaya kuning keemasan terpancar deras dari senter, lalu menghantam sosok bocah di depanku. Aku melihat seorang gadis bocah berpakaian compang-camping berdiri di depanku sambil menangis pelan. Suara tangisnya tidak kudengar ketika aku membuka pintu rumah.

Tiba-tiba air mataku meleleh membasahi pipi. Rasa iba pun muncul dari hati. Gadis bocah itu berpakaian biru tua compang-camping. Bajunya dan rok mininya tampak seperti gaun pengantin dan kumuh. Kain lengan kiri baju sobek. Aku tak tega melihat. Rambutnya bergelombang, lebat, dan tak terurus. Rambutnya tampak kusut juga berdebu. Wajahnya penuh debu. Kulitnya sawo matang. Kedua matanya memerah dihiasi air mata yang terus mengalir. Wajahnya pucat.

Ia kembali menangis hebat. Aku mencoba leraikan. Piliranku semakin buyar dibuat olehnya. Aku merasa sudah tidak kuat lagi menahan gempuran hebat rasa kantuk. Kelelahan menghantui diriku. Aku menutup kedua mataku sejenak, lalu kubuka kembali. Aku tidak tega membiarkannya menangis keras. Aku paling sensitif mendengar tangis seorang kaum hawa.

“ Tolong, jangan menangis, Dik. Kakak akan membantumu,” ucapku pelan.
Ia tak juga menjawab dan terus menangis. Aku semakin bingung.
“ Dik, tolong ceritakan pada kakak masalahmu. Kakak akan membantumu,” ucapku sedikit keras.
Ia menarik jaketku lalu menyeretku paksa. Ia berjalan cepat. Aku tak tega menolak keinginannya. Tapi hawa dingin menyiksaku. Sumsum tulangku tertusuk hantaman angin malam. Aku dan gadis bocah itu berjalan menembus kegelapan malam. Perutku mulai keroncongan. Aku benar-benar lumpuh dan lumpuh. Yang kuherankan, ia tak merasakan hawa dingin hebat di tubuh. Bahkan pakaiannya tipis.Tangan dan lutut ke bawah tanpa sehelai kain pun, serta kedua kakinya tanpa alas kaki. Ia terus berjalan menerobos kegelapan malam yang semakin memuncak.

Ia membawaku ke tempat sepi, jauh dari keramaian. Kulihat pohon-pohon menjulang tinggi, jalan pun terjal bebatuan. Aku tidak mengenal daerah itu sebelumnya. Kuarahkan senter ke depan. Cahaya senter menyinari kegelapan. Aku tersentak. Di depanku, ratusan batu nisan berdiri rapi. Aku menarik napas panjang. Secara tidak sadar, aku mengunjungi area pemakaman.

Gadis bocah itu membawaku masuk wilayah pemakaman itu. Tubuhku merinding hebat. Aku dan dia melewati jalan kecil beraspal di dalam wilayah pemakaman. Di samping kanan dan kiri, banyak batu nisan berdiri kokoh. Gundukan tanah pun masih tampak segar, dihiasi bunga-bunga indah. Aroma bunga merasuk kehidung. Aku merasa ingin menghirup udara lebih lama.

Tapi kedua kaki terasa terbebani oleh tumpukan tembaga. Aku ingin ambruk. Kedua kakiku sudah tak kuat lagi digunakan untuk berjalan. Gadis bocah itu terus berjalan. Dan ia berhenti pada dinding paling pojok wilayah pemakaman itu. Ia menunjuk ke arah sebuah bangunan tumpukan kardus. Aku mengarahkan senter pada bangunan tumpukan kardus itu. Tampak seperti rumah, tapi terlalu kecil untuk dihuni. Bangunan kardus berbentuk persegi panjang dan tak berpintu, juga tak dihiasi listrik. Ia berjalan menuju ke sana. Aku menyusul di belakang.

Gadis bocah itu masuk ke dalam bangunan tumpukan kardus. Aku hanya menunggu di luar. Tiba-tiba ia kembali menangis keras. Aku tersentak dibuatnya. Tanpa berpikir panjang, aku langsung masuk. Gelap gulita di dalam bangunan tumpukan kardus itu. Aku langsung menerangi isi dengan cahaya senter. Kunyalakan senter. Dan kulihat gadis bocah itu berjongkok sambil menundukkan kepala. Aku menyinari sesuatu di bawah.

Tubuhku bergetar hebat. Napasku tersendat-sendat. Aku berdiri kaku. Tiba-tiba mataku berkaca-kaca, lalu meleleh deras membasahi pipi. Aku melihat jenazah seorang wanita terbaring di depan gadis bocah itu. Ia terbujur kaku tak sadarkan diri. Kedua matanya tertutup rapat. Bocah gadis itu berdiri, lalu berjalan menghampiriku. Ia memegang jaketku erat, lalu menarik ke luar bangunan tumpukan kardus itu.

Ia memandangku dengan mata berkaca-kaca. Lalu tangis kembali dilakukan. Aku mencoba leraikan.
“ Tenang....tenang, Dik.  Apa di dalam situ wanita itu sudah meninggal ?”  tanyaku halus.
Gadis bocah itu menganggukkan kepala.
“ Apa dia Ibumu ?”
Gadis bocah itu menganggukkan kepala.
Tiba-tiba ia memelukku erat. Ia menangis keras. Tangisannya menggelegar, menemani suara gemuruh langit yang tak kunjung usai. Aku sungguh merasa iba padanya. Lalu sejenak kulepaskan pelukan. Aku memegang kedua bahunya erat.
“ Tenang, Dik. Coba ceritakan pada kakak. Sebenarnya apa yang terjadi ?” tanyaku halus.
Ia mulai membuka mulutnya.
“ Ibuku meninggal, Kak. Dan tolong urus jenazahnya,” ucapnya pelan.
Aku merespon,
“ Bagaimana dengan ayah dan sanak saudaramu ?”
“ Aku tidak punya siapa-siapa selain ibuku.”
“ Lalu di mana ayahmu ?”
“ Ayahku sudah meninggal lima tahun lalu.”
“ Lalu sanak saudaramu ?”
“ Aku orang jauh, tapi aku di Jakarta sudah lama. Dan aku tak punya beaya untuk kembali ke kampung halaman. Semua sanak saudaraku di sana. Tapi mereka juga miskin. Tolong urus jenazah ibu,Kak.”
Aku berpikir sejenak. Kutatap langit. Entah mimpi apa aku semalam. Suatu kejadian tidak disangka. Dan suatu ide belum bermunculan. Aku jadi bingung. Bagaimana mengurus jenazah ibu gadis bocah itu sedangkan harga tanah di Jakarta tidak murah. Aku juga bukan orang asli Jakarta. Aku hanya seorang pelajar dari Jawa dengan uang saku pas-pasan. Bayar kontrakan dan makan saja susah, apalagi mengurus orang lain. Belum lagi beaya kuliah. Aku jadi bingung.
Sebuah Ide muncul di kepala. Aku bisa melaporkan kejadian itu pada ketua RT dekat kontrakanku. Aku merasa beliau bisa membantu. Aku sedikit bernapas lega. Lalu aku segera mengajak bocah gadis itu meninggalkan area pemakaman, menuju rumah Pak RT.

No comments:

Post a Comment