Sunday, August 17, 2014

Sahabat Perjuangan



“ Tentara musuh semakin mendekat. Lihatlah, mereka sudah tampak di pelupuk mata kita. Mereka tampak kelelahan,” kata Komandan Siswono pelan.

Mereka bersembunyi di balik semak-semak. Mereka bersiap menembak. Pohon-pohon jati memenuhi isi hutan. Batang pohonnya tampak kurus, tak layak dibuat tempat sembunyi. Batu-batu gunung bisa jadi alternatif tepat untuk bersembunyi. Mereka juga mengandalkan semak-semak. Tubuh mereka menegang. Mereka terfokus pada penyerangan. Mereka sempat terbersit pikiran tentang nasib kelompok lain. Terutama kelompok paling depan berhadapan dengan musuh.

“ Segera ambil posisi tepat !” himbau Komandan Siswono.

Para pasukan segera berpencar mencari posisi. Mereka bersembunyi di balik semak-semak. Para tentara musuh semakin mendekat. Mereka belum menyangka musuh sudah berada sangat dekat. Rahman memicingkan mata. Ia bersiap melepas peluru dari senapan. Ia mengarahkan target pada seorang tentara bertubuh subur. Sesaat kemudian peluru melesat. Desis peluru terdengar. Para tentara terkaget seketika. Peluru menghantam jantung tentara subur itu. Ia jatuh tersungkur ke tanah. Tubuh bersimbah darah.


Tak sempat menolong kawannya, para tentara musuh berpencar mencari tempat sembunyi. Sangat sulit mencari tempat sembunyi. Hanya semak-semak lebat jadi alternatif tepat. Batang-batang pohon tak bisa diandalkan, terlihat kurus.

Tak lama berselang,peluru demi peluru beterbangan secepat kilat, silih berganti. Satu per satu tentara musuh jatuh tertembak. Melihat kondisi Itu, Kolonel Van Heide bergetar hebat.Ia jatuhkan tubuh ke tanah lalu mengintip para musuh di balik semak-semak.

“ Sekarang, dua tentara maju lalu lemparkan granat ke arah mereka !” hinbau Kolonel Van Heide dengan nada keras.

Dua tentara berdiri, lalu berlari kencang. Mereka berdua melemparkan granat ke arah musuh. Tak sempat menembak, pasukan gerilya berlari ke belakang. Dentuman bom terdengar keras, memecah keheningan.Teriakan rasa sakit terdengar keras.Asap mengepul di udara. Tumbuhan –tumbuhan terbakar dan mati sia-sia. Kolonel Van Heide tersenyum lebar.

Tak puas dengan semua itu, Kolonel Van Heide menyusup di sela-sela dedaunan. Ia lemparkan granat ke arah musuh. Dentuman bom terdengar. Potongan-potongan tumbuhan beterbangan di udara, menemani kepulan asap hitam. Pasukan-pasukan gerilya berguguran satu per satu. Tapi perlawanan terus dilancarkan. Mereka yang masih bertahan terus menembakkan peluru. Banyak tentara musuh terhantam peluru, lalu jatuh tersungkur ke tanah menahan rasa sakit.

Kolonel Van Heide menyelinap di balik dedaunan lebar. Ia semakin mendekati musuh. Ia memastikan Van Len berada di sana. Granat terakhirnya telah diledakkan. Ia tak menggenggam granat lagi. Tapi senapan masih digenggam erat tangannya. Ia menembakkan peluru dari balik dedaunan lebar. Peluru menghantam jantung seorang pasukan gerilya. Ia tersenyum tipis. Ia kembali menyusup halus sehingga suara sepatunya tak terdengar oleh telinga.

Rahman berlari menjauh. Musuh semakin merajalela. Peluru di dalam senapan habis. Ia kebingungan. Ia melihat seorang tentara berbadan kekar mengejarnya. Rahman terus berlari. Tentara itu tak melancarkan tembakan, tapi terus berlari mengejarnya. Sebuah kayu panjang menyandung kaki Rahman. Dan Rahman jatuh tersungkur di atas tanah. Senapan terlepas dari tangan. Sementara tentara musuh semakin mendekat.

Ia menatap Rahman dengan pandangan sinis. Seorang tentara itu bertubuh kekar. Ia berjalan pelan, lalu memegang kerah baju Rahman. Ia menariknya ke atas.

“ Tak puas langsung menembak mati, akan kubuat kau tersiksa terlebih dahulu. Kau telah meresahkan kami semua. Kau satu dari dua pasukan yang paling dekat dengan tuan muda,” bentak tentara itu.

Ia memukul keras perut Rahman. Dan rasa nyeri hebat di perut. Lalu ia menghantam mukanya dengan kepalan keras. Rahman dilemparkan ke tanah dengan dibanting. Ia menendang tubuh Rahman dengan kekuatan penuh. Darah keluar dari mulut Rahman. Ia merintih kesakitan. Sedangkan tentara itu menekan gigi kuat. Pandangannya melotot tajam, seolah menyimpan bara api membara. Ia memegang senapan kemudian bersiap menembak Rahman. Dan Rahman mengedipkan mata. Ia pasrah dengan nasibnya saat itu.

Tiba-tiba desis peluru terdengar keras. Tentara itu berteriak keras. Kedua matanya melotot tajam. Tak lama berselang, ia jatuh tersungkur ke tanah. Darah tampak membasahi seragamnya. Rahman membuka mata. Ia terkejut melihat tentara itu tewas seketika. Ia menolehkan pandangan. Ia tak melihat seorang pun.

Langkah kaki terdengar. Rahman menoleh pandangan ke arah suara. Ia tersenyum lebar melihat sosok berjalan tegap ke arahnya.

“ Benarkah itu kau, Len ?” katanya lirih.
“ Tentu saja, Rahman. Kau tidak berjuang sendiri,” jawab Van Len.
Van Len menarik tangan Rahman. Dengan sekuat tenaga, Rahman bangkit. Ia tersenyum lebar menatap Van Len. Ia sedikit keheranan.
“ Len, kau sungguh ingin ikut berjuang bersama kami ?”.
Dengan senyuman indah, Van Len menjawab,
“ Tentu saja. Aku tak bisa tinggal diam sedangkan sahabat-sahabatku berjuang mati-matian.”
“ Tapi kondisimu tidak memungkinkan, Len.”
“ Semangat akan membangkitkan kondisiku seperti sebelumnya.”
Rahman tersenyum.           
“ Ayo kita lanjutkan, Rahman. Kita bantu Pardi dan kawan-kawan.”

Desis peluru terdengar detik demi detik. Satu per satu tentara tergeletak tewas tertembak. Kolonel Van Heide tak percaya dengan semua itu. Ia tidak menghindar dan terus melancarkan serangan. Tembakan demi tembakan dilancarkan. Sesekali tepat sasaran, sesekali meleset. Dari balik semak-semak, Pardi melihat Kolonel Van Heide. Hanya tampak wajah dan lehernya, selebihnya tertutup semak-semak. Ia berniat menembaknya langsung. Terbersit di kepala tentang Van Len. Ia tahu Kolonel Van Heide menjadi paman Van Len. Ia mengurungkan niat sejenak. Ia menatap tentara lain. Ia melancarkan tembakan. Dan tembakannya tepat di perut seorang tentara musuh. Pardi mengepalkan tangan ke atas sambil berteriak,” Merdeka...Merdeka!”

Kolonel Van Heide mendengar teriakan Pardi. Ia menolehkan pandangan. Ia melihat Pardi sedang duduk berjongkok di balik semak-semak. Ia tersenyum kecut melihatnya, lalu berjalan pelan ke arahnya. Ia tetap menyelinap di balik semak-semak. Saat itu juga Van Len menyelinap di balik semak-semak. Ia bersiap melancarkan serangan ke arah musuh. Para pasukan gerilya masih tidak sadar. Seorang kolonel menyelendup masuk wilayah pertahanan mereka.

Kolonel Van Heide semakin mendekati Pardi. Dan Pardi kembali menembak ke depan, tapi senapannya tiba-tiba macet, tak memuntahkan peluru. Ia membuka senapan. Dan tepat dugaannya, peluru habis. Ia menggelengkan kepala. Sementara tak jauh di sisi kanan, Kolonel Van Heide melihat Pardi dengan tangan kosong tanpa peluru. Ia tertawa terbahak-bahak. Ia berdiri tegap lalu berjalan menghampirinya.

Pardi mendengar suara tawa di sisi kanan. Ia menolehkan pandangan. Ia tersentak kaget, lalu menjatuhkan tubuh ke tanah. Ia mencoba bangkit. Ia menlihat Kolonel Van Heide berjalan pelan sambil menodongkan senapan ke arahnya. Pandangan matanya tajam seolah mata elang siap menerkam mangsa. Pardi berjalan ke belakang dengan langkah lambat. Ia menyesal tidak menembaknya. Tapi semuanya terlambat.

“ Ha..ha...ha,tenang saja. Aku ingin kau katakan di mana Len,” kata kolonel dengan nada tinggi.
Pardi menggelengkan kepala.
“ Oh mau mati, kau masih keras kepala. Aku tahu banyak tentang dirimu. Kau termasuk orang yang paling banyak mempengaruhi pola pikir Len. Sehingga ia berubah drastis. Sehingga semua tentara bersusah payah hanya mengorbankan pikiran dan tenaga. Semuanya di sebabkan oleh dirimu! Sekarang apa yang kau inginkan? Kau ingin hidup? Jangan bergerak jika kau lari. Aku akan menembakmu.”

Pardi terus berjalan ke belakang. Sesekali ia menodongkan senapan ke arah kolonel. Kolonel tertawa terbahak-bahak. Sekitar sepuluh meter di antara mereka berdua, seseorang menyelip di balik semak-semak. Orang itu tak mengetahui keberadaan mereka berdua. Peluru senapannya juga habis. Ia meletakkan sejenak senapan, lalu berjalan mencari berita di tengah desis peluru yang tak kunjung usai.

Kolonel Van Heide berjalan pelan. Sedangkan Pardi berjalan ke belakang pelan. Kaki kanannya menyandung sebuah batu. Ia tersentak dan terjatuh seketika. Ia merasa hidupnya sudah berada di ujung tanduk. Ia teringat ketika ia mengalami hal sama. Dan Van Len menjadi perantara yang menyelematkan dirinya. Tapi ia tak berharap jauh hal itu akan terulang saat itu. Ia menghirup napas panjang.

“ Aku tidak perlu dekat untuk menembak. Aku masih banyak urusan yang jauh lebih penting dari ini. Sebelum kau mati, aku ucapkan selamat tinggal untuk selamanya. Semoga kau tenang di sana ha....ha....ha,” kata kolonel dengan nada merendahkan.

Langit saat itu menggelap. Awan-awan hitam menggumpal, sesekali berjalan mengitari bumi. Angin pun berhembus kencang. Daun-daun pepohonan menari-nari diterjang angin. Dan berguguran tak kuat diterjang angin. Semak-semak pun menari-nari seolah ikut meramaikan suasana. Kilat terlihat di langit, memancarkan sinar kuning berbentuk akar tumbuhan. Gerimis mulai turun.

Kolonel Van Heide bersiap menembak. Ia berjarak sepuluh meter dari Pardi. Sementara Pardi masih terbujur kaku. Tubuhnya disandarkan pada batang pohon jati. Ia memejamkan mata. Tak jauh darinya, seseorang melihatnya dengan mata melotot. Ia terkaget melihat Pardi yang terbujur tak berdaya. Sedangkan sepuluh meter di depannya, tentara musuh sedang bersiap menembak.

“ Bersiaplah untuk mati! Rasakan timah panas ini!” teriak kolonel berapi-api.

Pardi memejamkan mata. Sementara seseorang tak jauh di sampingnya berteriak,” Tidak...!” Ia berlari kencang menghampiri Pardi. Ia melompat jauh lalu mendekap tubuh erat tubuh Pardi. Ia meletakkan tubuh di depan, melindungi Pardi. Peluru terlanjur keluar. Dan meluncur jauh lurus ke depan. Kolonel Van Heide tersentak kaget. Matanya melotot. Ia berteriak,’’ Tidaaaak..!”

Peluru menghantam deras punggungnya. Rasa sakit muncul seketika. Darah mengucur deras membasahi tubuh. Pardi membuka mata. Ia tersentak kaget. Ia melihat sosok sahabat terbaiknya tersenyum bersimbah darah.

“ Len !...Len !” teriak Pardi dengan tangis.

Van Len tersenyum kecil. Tubuhnya kaku. Ia mengerutkan kening, lalu terjatuh seketika. Air mata Pardi meleleh deras. Ia memeluk tubuh sahabat terbaiknya penuh tangis.
“ Jangan mati, Len. Ku mohon bertahanlah !” teriak Pardi.
Sementara Kolonel Van Heide berdiri kaku. Ia merasa langit seolah runtuh, lalu menimpanya. Tubuhnya bergetar hebat. Lalu air mata keluar membasahi pipi.
“ Kau sungguh bodoh, Len” katanya pelan.
Ia menegakkan kepala, lalu memandang tajam Pardi. Ia mengarahkan senapan ke arah kepala Pardi.
“ Kau terlalu membuatku kesal. Sekarang matilah kau bersamanya,” teriak kolonel berapi-api.
Tak berselang lama, desis peluru terdengar keras. Kolonel Van Heide berteriak keras. Kedua matanya melotot, lalu jatuh tersungkur ke tanah. Senapan terlepas dari genggaman. Punggungnya basah oleh darah. Pardi sedikit terheran. Ia melihat di kejauhan. Ia sedikit tersenyum. Rahman menembak punggung kolonel dari belakang.
Melihat hal itu, Pardi berlari jauh lalu mengambil senapan kolonel. Ia berbalik arah, lalu berlari menghampiri Van Len. Di kejauhan,Rahman berteriak,

“ Pardi, bawa Len keluar hutan. Dan cari bantuan pengobatan secepatnya. Cepat !..Cepat !”
Pardi langsung membopong Van Len. Ia berjalan cepat keluar hutan. Darah terus mengalir deras. Tangan Pardi basah oleh darah. Tubuh Van Len terasa berat. Ia tak sanggup lagi membopongnya. Tapi ia paksakan diri. Ia berlari kencang. Mulut Van Len keluar darah. Ia merintih kesakitan.

“ Len, bertahanlah...kau akan selamat. Kumohon bertahanlah. Jangan mati, Len”
Desis peluru mulai mengecil. Wilayah itu sudah aman. Tapi Pardi terus dan terus berlari. Tubuhnya bersimbah darah dan keringat. Seragamnya bersimbah darah. Ia merasakan aroma darah Van Len menusuk hidung.

“ Turunkan aku, Pardi,” kata Van Len lirih.
Secara tak sengaja, kedua kaki Pardi menyandung bongkahan kayu panjang. Ia jatuh seketika juga Van Len. Ia langsung bangkit dan menghampiri Van Len. Air matanya deras membasahi pipi. Sementara gerimis terus turun membasahi hutan.

Van Len mencoba tersenyum. Mulutnya bersimbah darah.
“ Pardi, aku bangga punya sahabat sepertimu. Aku bangga bisa berjuang melawan penjajahan.Tapi aku tak bisa berlama-lama.Aku sangat kecewa..uhuk...uhuk,”  kata Van Len lirih.
Tangis terus dilakukan Pardi. Ia merespon,
“ Tolong jangan katakan apa pun, Len. Aku akan membawamu ke tempat itu.”
Van Len tersenyum kecil.
“ Sudahlah, Pardi. Tubuh....ku ini sudah tak kuat lagi...uhuk...uhuk.”
Pardi menundukkan kepala. Kekuatannya telah habis. Ia tak kuat lagi membopong Van Len. Ia menyalahkan diri sendiri. Sementara Van Len sedang memasukkan tangan kanan ke dalam saku baju. Ia mengeluarkan kalung emas dari dalam saku. Pardi melihatnya lunak.

Van Len tersenyum tipis, lalu mengulurkan kalung itu pada Pardi. Gerakan tangannya melambat. Pardi meraih kalung itu, lalu Van Len menggenggam tangan Pardi bersama kalung itu.

“ Pardi, berikan kalung ini pada Warni. Katakan padanya bahwa aku mencintainya. Aku belum pernah mengungkapkan rasa cintaku padanya. Kau harus katakan bahwa aku mencintainya. Dan rasa cintaku ini harus dipindah ke dalam hatimu. Kau harus mencintainya, Pardi. Kau harus menjadi pendamping hidupnya. Aku yakin dia juga mencintaimu ...uhuk....uhuk...uhuk.”

Pardi terdiam dalam tangis. Air matanya menetes deras, lalu menghujani tubuh Van Len, bercampur dengan darah.

“ Uhuk...uhuk. Pardi, kau harus pegang janji kita selamanya. Janji dua sahabat, antara kau dan aku. Teruslah berjuang melawan penjajah. Berilah kebahagiaan pada anak cucu negeri ini agar mereka tidak seperti para pendahulu yang hidup dalam penjajahan. Teruslah berjuang,sahabatku.....Sahabat   perjuangaaaan....”

Kedua mata Van Len tertutup rapat. Ia melepas genggaman, lalu menjatuhkan tangan ke tanah. Detak jantungnya berhenti. Ia terbujur kaku. Air hujan turun lirih membasahi tubuh indahnya. Pardi berteriak keras,
“ Len !....Len!....Len!...Len!.. hiks...hiks..hiks.”

Van Len tak juga menjawab. Ia terbujur kaku. Pardi memeluknya erat. Tubuhnya bersimbah darah. Ia menangis keras, sangat keras. Suara tangisnya menemani gemuruh langit yang semakin membesar. Terasa petang siang itu, seolah malam. Hanya sinaran kilat menghias. Mentari tertutup oleh awan. Pardi dirundung kesedihan dalam, seperti awan-awan gelap menjatuhkan air hujan.

By Nalis

Potongan dari Cerita Sangat Panjang

No comments:

Post a Comment