Saturday, August 16, 2014

Ketika Atasanku Bertanya



Musim dingin tiba di Sidney. Aku diantar oleh Helmi menuju sebuah perusahaan tekstil. Aku diajak menelusuri ruangan besar. Banyak sekali karyawan sibuk berkerja. Mereka menenun, menjahit, bahkan menyapu teras. Suara mesin bergemuruh. Mereka seolah tak melihat kehadiranku. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Helmi menepuk punggungku. Aku tersentak. Aku pun membalikkan badan.
“ Ada apa, Hel ?” tanyaku lirih.
“ Itu lho bos kita.”
Aku mengarahkan pandangan ke depan. Seorang wanita berambut hitam lurus sedang berdiri beberapa meter di depanku. Wanita tampak anggun sekali. Aroma wangi tubuhnya menyebar ke segala penjuru, beraroma melati. Kulitnya putih bersih. Ia memakai kaca mata hitam. Tapi pakaiannya cukup terbuka. Ia hanya memakai baju kemeja putih kotak-kotak lengan pendek. Dan dihiasi rok hitam memanjang sampai lutut. Sepasang sepatu merah tampak berhak tinggi. Ia membawa tas cangklong hitam putih. Dari segi wajah, ia memang tampak berumur tiga puluh tahunan.
Aku langsung menunduk. Aku tak ingin larut dalam gemerlap dunia. Helmi mencubit lenganku. Aku tahu maksudnya. Aku langsung menegakkan pandangan. Wanita itu menjabat erat tangan Helmi. Lalu ia mengulurkan tangan kanannya padaku. Aku langsung menyentuh dadaku dengan tangan kanan. Ia tersenyum manis. Lalu ia mengurungkan niat untuk berjabat tangan. Aroma parfumnya benar-benar menyengat hidung.
“ Kamu yang bernama Amri ?” tanyanya halus.
“ Benar, Bu. Nama saya Amri.”
“ Lalu apa kamu tahu namaku ?”
“ Nama Anda Bu Aisha Rahmawati.”
“ Tepat sekali. Ternyata kamu masih muda, ya. Aku tahu namamu dari Helmi. Dan sikapmu tadi meyakinkanku bahwa kamu seorang ahli agama yang tidak diragukan lagi keshalehannya. Oke, kamu bisa langsung memulai hari ini, setelah sholat dzuhur. Pabrik ini bersampingan dengan masjid dan masjid itu digunakan khusus karyawan di sini. Di sini juga banyak muslim kok. Kamu langsung naik mimbar dan berikan siraman rohani pada mereka. Paling lama satu jam saja. Nanti aku juga akan ikut menyimak. Tapi kemungkinan juga aku ada halangan. Aku harus pergi ke kantor. Ada urusan penting di sana.”
“ Baik, Bu. Kalau boleh tahu, kantor Anda di mana ?”
“ Jauh dari sini, di street Isabella. Aku punya banyak cabang. Di sini hanyalah satu cabang perusahaanku. Aku juga punya banyak kios di negara lain selain Australia. Aku juga tidak jarang ke sana meskipun sekadar observasi saja. Aku ingin melihat sepak terjang para karyawan. Pokoknya aku super sibuk.”
Aku tersenyum lebar. Ia tampak akrab denganku. Aku ingin tahu lebih dalam tentang dirinya. Tapi aku merasa tidak enak hati bertanya secara terus menerus. Nada bicaranya lembut tapi tegas. Tubuhnya tegak. Ia tampak berwibawa. Hanya saja ia tidak berjilbab.
“ Amri sekarang jam delapan pagi. Dan waktu dzuhur masih lama. Maukah kuajak ke masjid sekarang. Kamu kan sudah punya bekal ilmu agama tinggi. Jadi tidak usah persiapan. Untuk ke Mampang, aku tunda dulu. Masih ada bawaan yang bisa mengerjakan. Aku berubah pikiran, Amri. Kita naik mobil saja,” ucapnya pelan.
Aku mencoba menahan tawa sekuat mungkin. Ia benar-benar ingin lebih tahu tentang diriku. Bahkan ia sampai mengubah keinginannya. Aku hanya bahagia melihatnya dapat melebur denganku.
“ Apa hanya saya dan Anda berada di dalam mobil, Bu ?” tanyaku penuh kelembutan kata.
“ Oh, tidak. Aku, kamu, dan sopirku. Tenang saja. Aku akan duduk di kursi depan. Dan kamu duduk di kursi belakang.”
“ Bu, apa sopirnya laki-laki ?”
“ Ya benar.”
“ Sebaiknya saya duduk di kursi depan saja, Bu. Maaf bila kurang berkenan di hati.”
“ Baiklah.”
Aisha menyuruh Helmi untuk pergi ke kiosnya. Ia punya usaha soto Kudus dengan Helmi di jakarta. Ia berinvestasi atas usaha itu sedangkan Helmi yang mengurus. Aisha pun mengajakku ke luar pabrik. Sebuah mobil sedan hitam seolah menanti kedatangan kami. Ia langsung masuk ke dalam mobil. Aku pun melakukan hal serupa. Aku duduk di kursi depan bersampingan dengan sopir. Sedangkan Aisha duduk tepat di belakangku. Mobil berjalan cepat menuju Sidney Islamic center mosque. Di luar, sinar mentari meredup di tengah gempulan putih salju.
“ Amri, berapa umurmu sekarang ?” tanyanya pelan.
“ Dua puluh sembilan tahun, Bu.”
“ Wah, kayak dua puluh tahun aja.”
“ Saya juga mendengar bahwa ibu sekarang berusia tiga puluh lima tahun, ya.”
“ Ya benar sekali.”
“ Wah, kayak dua puluh lima tahun aja.”
Ia tertawa pelan. Aku melirik sopir. Ia hanya tersenyum tipis. Kaca mata hitamnya seolah lengkap dengan kulit gelapnya. Aku ingin mencoba lebih menyegarkan suasana.
“ Bu, sungguh beruntung sekali suami ibu, ya. Sudah punya istri hebat seperti Anda. Udah kaya, cantik, ditambah pintar lagi. Siapa sih yang tak ingin punya istri yang mempekerjakan banyak karyawan. Suami ibu pasti sangat bangga sekali. Apalagi anak-anak ibu.”
Tak ada jawaban di belakang. Semuanya terdiam. Hanya suara mesin mobil meramaikan suasana. Aku merasa sedikit bersalah. Mungkin perkataanku tadi kurang cocok. Aku sangat menyesal.
“ Amri, aku memang pernah menikah. Dan sekarang aku punya satu anak. Tapi anak itu ikut ayahnya. Atau bisa dibilang aku bercerai dengan suamiku. Dan sekarang ia berada di Singapura bersama anakku.”
Aku tersentak kaget. Lalu aku langsung merespon,
“ Maafkan saya, Bu. Saya sama sekali tidak tahu. Sekali lagi saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.”
“ Tidak masalah. Aku juga sudah melupakannya. Kamu sendiri pasti sudah berkeluarga.”
“ Anda kok tahu ?”
“ Aku hanya mengira saja, Amri.”
Aku tertawa pelan, lalu kubalas,
“ Benar sekali, Bu. Saya sudah berkeluarga, hanya saja saya belum dikaruniai anak. Padahal orang tua saya sangat ingin sekali menimang cucu. Tapi takdir berkata lain. Sampai saat ini, saya belum punya anak. Sudah sepuluh tahun saya membina rumah tangga bersama istri saya. Hidup terasa hampa tanpa kehadiran buah hati.”
“ Istrimu memiliki penyakit terkait gangguan kehamilan. Maaf bila terdengar kurang halus.”
“ Tidak, Bu. Istri saya tidak memiliki kelainan apa pun. Saya pun juga begitu. Dan sekarang saya belum punya anak. Untuk itu, bukan berarti saya tidak punya anak untuk selamanya. Istri saya belum bisa dikatakan mandul.”
“ Jadi begitu. Apa kamu tidak berniat untuk menikah lagi ?”
Aku tersentak kaget. Tidak kusangka ia akan menanyakan hal itu. Aku pun menjawab dengan sebenarnya,
“ Saya sangat mencintai istri saya, Bu. Ia seolah bidadari turun dari langit, lalu datang menghampiri saya. Senyumannya melegakan hati. Ia mencintai saya sangat dalam. Dan saya tidak bisa membalas cintanya dengan setengah-setengah. Saya belum siap menduakan cintanya. Tapi banyak orang menyuruh saya untuk menikah lagi, termasuk ibu saya. Dan itulah yang paling menyakitkan hati saya, Bu.”
“ Lalu mengapa mereka menyuruhmu seperti itu ? Bukankah itu merupakan hakmu dan istrimu ?”
“ Begini, Bu. Almarhum bapak saya menjadi kyai besar di desa saya. Dan saya menjadi anak satu-satunya beliau. Oleh karena itu, banyak orang menyuruh saya untuk melanjutkan perjuangan bapak dan saya nanti. Dan itu harus keturunan saya. Sedangkan saya belum punya anak sekarang. Padahal saya sudah menikah sepuluh tahun. Yang paling gencar tentu ibu saya. Beliau ingin segera menimang cucu.”
“ Oh, jadi begitu. Ternyata kamu anak orang terpandang di desamu, ya. Katanya kamu dari kota Kudus. Di sana tentu banyak pesantren hafalan Al Quran. Kudus juga terkenal dengan kota kretek.”
“ Benar sekali, Bu. Banyak pesantren hafalan Al Quran di sana. Selain itu banyak juga pabrik rokok di sana...hehehe..”
Mobil berhenti di depan banyak kios. Annisa langsung turun dari mobil. Penampilannya seperti orang kantoran. Aku pun turun dari mobil. Sinar mentari menampar wajahku, terasa silau di mata. Kios berjajar memanjang. Aku diajak masuk ke dalam pasar. Banyak sekali orang bertebaran di dalam pasar itu. Gemuruh mereka seolah memecah keheningan.
Sebuah kios pakaian tampak lebih besar dari kios pakaian lain. Berbagai macam jenis pakaian dipampang. Banyak orang mengunjungi pasar itu. Aisha mengajakku masuk ke dalam kios itu. Banyak karyawannya sedang sibuk melayani pengunjung. Aisha menghadap ke arahku. Senyuman lebar terpancar dari wajah. Aku tertunduk. Aku tak sanggup menahan pandangan matanya. Aku takut tergelincir.
“ Amri, inilah satu salah satu cabang kios pakaian. Di luar sana, masih banyak lagi. Tapi aku lebih condong ke sini,” ucap Aisha penuh keyakinan.
“ Wah, ibu benar-benar hebat. Memang ibu seorang wanita luar biasa. Kalau boleh, saya mau satu pakaiannya donk. Maaf bencanda..hehehe..”
“ Oh, tidak apa-apa, silakan pilih sesukamu, Amri. Kamu tamuku dan layak untuk dilayani dengan sebaik mungkin.”
“ Saya hanya bercanda, Bu. Terima kasih atas perhatiannya. Tapi saya terbersit untuk membantu ibu menjajakan barang dagangan.”
“ Maksudmu, Amri ?”
“ Saya ingin juga belajar dengan Anda. Saya ingin menjadi seorang pengusaha. Selama ini saya hanya berpenghasilan dari mengajar di madrasah dan dakwah di masyarakat.”
“ Jadi begitu. Amri, aku ingin mengajakmu makan siang hari ini. Kuharap kamu tidak menolak.”
“ Kebetulan perut saya lagi keroncongan, Bu.”
Aisha mengajakku pergi ke luar pasar. Lalu ia mengajakku masuk ke dalam sebuah restoran. Dan restoran itu hanya diisi satu menu yang tidak asing bagiku, pizza hut. Hanya lima orang sedang mencicipi hidangan itu. Aku duduk di atas kursi kayu. Aisha melakukan hal sama. Aku dan dia saling berhadapan. Sebuah meja kayu bundar menjadi pembatas di antara kamu berdua. Ia terus memandang ke arahku. Kedua mataku seolah silau oleh pandangan tajamnya. Aku menundukkan pandangan. Aroma wangi tubuhnya menyebar ke segala penjuru. Desis napas terdengar kencang.
Tubuhku menegang. Rasa gugup pun muncul. Aku sangat takut kehilangan keseimbangan. Bahwa aku tidak bisa menjaga diri. Rasa takut itu lebih sekadar takut tidak makan. Aku takut tergelincir. Seorang wanita di hadapanku sekarang sangat menawan hati. Kemilau wajahnya terpancar deras. Senyumannya menggelora. Kedua pipinya melesung dalam. Ia memesan kepada pelayan dengan suara lembutnya. Nada suara sangat halus. Suaranya terdengar seolah aliran sungai lirih yang menyejukkan telinga. Dadaku berdebar kencang. Aku menahan napas sejenak untuk keluar.
“ Amri, bagaimana kamu memandangku ?” tanyanya halus.
“ Maksud Anda ?” tanyaku balik.
“ Apa aku terlalu tua untuk menikah lagi ? Lalu apa aku cantik tidak ? Pokoknya tolong kamu menilai tentang diriku. Supaya aku tahu bahwa laki-laki menilaiku ternyata seperti itu. Aku sangat sibuk sehingga tidak terbersit untuk menanyakan hal itu. Dan sekarang kesempatan untuk menanyakan hal ini,” tanyanya sedikit manja.
Aku tersenyum tipis. Ia sangat lunak terhadap diriku. Aku juga merasa lebih dekat dengannya. Dan sebuah anugerah tentu bagiku. Aku bisa langsung dengan atasanku. Terbersit di pikiran tentang sesuatu. Senyuman lebar terpancar dari wajah. Aku mengambil napas dalam-dalam, lalu dikeluarkan secara perlahan. Aku mencoba lebih mencairkan suasana.
“ Bu, walaupun dingin sekali, saya tadi merasa panas di sini. Tubuh terasa gerah. Keringat bercucuran tiada henti. Tapi setelah kedatangan seseorang di sini, suasana terasa sejuk. Panas tiba-tiba menghilang. Angin seolah hadir, membelai tubuh. Tidak hanya itu, aroma wangi bunga melati merasuk ke hidung, memanjakan hidung. Aku pun merasa tentram disini. Terasa menyejukkan jiwa dan raga. Kebahagiaan hadir secara tiba-tiba.”
Ia tersenyum lebar. Aku mencoba menambahkan,
“ Waktu itu jantung saya berdetak kencang. Dada saya terasa sesak oleh rasa gugup. Ia datang tiba-tiba membawa sebuah pengetahuan yang tidak dimiliki banyak orang. Saya terpana oleh wibawa dirinya yang begitu menawan. Ketika ia naik podium, ia berbicara lantang seolah singa betina berbicara di hadapan singa-singa jantan. Saya sangat kagum padanya. Sosoknya bersahaja dan berwibawa. Saya sempat pingsan karena rasa kagum berlebih. Meskipun belum melihat secara langsung, aku sudah cukup takjub melihatnya lewat video. Aku dan Helmi sangat kagum padanya.”
Kulirik dirinya. Ia tersenyum lebar. Senyumannya sangat indah. Kedua pipinya melesung dalam. Wajahnya tampak merona. Ia menunduk. Aku pun menunduk. Aku tersenyum lebar.
“ Saya benar-benar heran. Kok ada orang sehebat itu. Jika banyak orang berlayar ke tepian menggunakan perahu, ia berlayar menggunakan kapal besar. Jika banyak orang mendaki emas di puncak gunung yang sangat tinggi, ia terbang tinggi, meloncat dengan cepat untuk meraih emas itu. Jika banyak orang berlari secepat kuda untuk mencapai garis finish, ia berlari secepat cheetah. Banyak orang terkagum dibuat olehnya, termasuk diri saya.”
Aku berhenti sejenak. Aku menelan ludah. Lalu kulanjutkan,
“ Ketika saya melihat rembulan, wajahnya hadir tiba-tiba. Lalu sinar rembulan memancar deras ke wajahnya, membuat wajahnya cerah seolah secerah sinar rembulan. Lalu sinar cerah itu dibawa dalam kehidupan nyata. Banyak orang terpana melihat sosoknya yang menawan. Saya seolah melihat bidadari turun dari langit, lalu memberi kebahagiaan bagi orang-orang di sekitarnya. Auranya terasa kental di sisi orang-orang terdekat, bahkan ketika ia jauh di mata mereka. Karena namanya tertanam di hati.”
Ia berdiri. Mukanya memerah. Senyuman lebar terpancar lebar. Ia memandangku penuh keceriaan. Ia mengambil napas panjang, lalu dikeluarkan secara perlahan. Ia membalikkan badan, lalu berjalan menjauhiku. Ia tampak berjalan lambat.
Aku berteriak,
“ Bu, pizzanya belum siap.”
“ Amri, sudah jam sebelas. Ayo kita langsung menuju masjid. Nanti keburu telat. Untuk makan gampang. Cepatlah nanti telat. Semuanya biar kubayar. Ayo cepat.”
Ia mengatakannya berlawanan arah denganku. Ia membuka pintu restoran. Aku hanya menggelengkan kepala. Ia tampak tidak bisa menguasai diri. Wajahnya merona indah. Aku hanya menggelengkan kepala. Aku berjalan cepat mendahuluinya. Aku tak ingin terlena oleh gemerlap dunia. Aisha berdiri di belakangku. Sinar mentari menghantam wajahku. Aku berjalan cepat. Tiba-tiba tangan kanan ditarik oleh seseorang di belakang. Aku pun tersentak. Aku langsung membalikkan badan.
“ Astaghfirullahhal azhim !”
Aisha menggandeng tanganku. Aku langsung melepasnya. Ia tampak tertunduk. Dadaku berdebar kencang. Jantung serasa hampir copot. Darahku naik drastis. Aku tak menyangka hal itu terjadi. Air mata penyesalan pun hadir. Aku telah melakukan kesalahan. Aku tertunduk lesu sambil berhadapan dengannya. Sedangkan di atas sang mentari semakin memancarkan sinar panas, menjilat-jilat, serasa membakar kulit.
“ Maaf, Bu. Kita bukan muhrim.”
“ Oh, maaf juga. Aku terlena tadi. Soalnya kamu berjalannya cepat sekali. Aku takut ketinggalan.”
Mobil sedan berhenti di depanku. Aisha masuk ke dalam mobil. Aku pun melakukan hal serupa. Hawa sejuk hadir seketika. Kenyamanan hadir di mobil. Dan mobil sedan hitam pun berjalan cepat. Asap hitam mengepul di udara. Aroma wangi melati masih kental di dalam mobil. Aroma wangi itu datang dari belakang, dari seorang wanita berwibawa tinggi penuh kharisma.
“ Amri, menurutmu orang kaya raya itu tidak selaras dengan nabi. Banyak kehidupan nabi berlandaskan kesederhanan. Bahkan sekarang tidak sedikit orang menganggap orang kaya itu identik dengan kerakusan, ketamakan, dan sifat buruk lain. Apakah Islam menganjurkan kita untuk kaya sedangkan para nabi hidup dalam kesederhanaan. Bisakah kamu jelaskan ?” tanya Aisha secara tiba-tiba.
Aku tersenyum lebar. Lalu kujawab,
“ Mohon maaf jika menyakiti, Bu. Ucapan ibu tidak sepenuhnya tepat.Seorang nabi memang tidak selaras hidupnya dengan nabi lain, berbeda, penuh liku, dengan cobaan berbeda. Tapi ada seorang nabi pernah menjadi raja seluruh alam, bahkan memiliki kekayaan melimpah. Manusia, jin, maupun hewan tunduk padanya. Ia menjadi raja dan penuh kekayaan. Allah memberinya anugerah melimpah. Dan menjadikannya sebaik-baik nikmat hamba. Dialah nabi Sulaiman. Ia seorang raja adil dan kaya raya. Jika kaya raya identik dengan kerakusan, ketamakan, tentu tidak tepat. Buktinya nabi Sulaiman. Atau kita lebih dekat dengan sahabat nabi. Di antara sahabat nabi juga ada yang menjadi milyader super. Di antara dari mereka, Abdurrahman Bin Auf, Ustman Bin Affan, Abu Bakar As Shiddiq, dan lainnya. Kita lebih dekat dengan zaman ulama madzhab. Di sana ada seorang imam madzhab bernama Imam Abu Hanifah. Ia seorang milyader kaya raya.”
Aku mengambil napas sejenak. Lalu kulanjutkan,
“ Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk kaya raya. Bahkan Islam melarang keras pemeluknya menjadi pribadi tidak berharta, apalagi fakir. Bahkan Ali Bin Abi Thalib berkata,” Jika kefakiran berwujud seorang laki-laki, maka akan kubunuh” hal ini menunjukkan Islam sangat melarang keras pemeluknya menjadi fakir. Untuk itu, selain kerja keras tentu dengan saluran bantuan sesama, lewat zakat dan shadaqah. Hal itu bisa meminimalisir jumlah kefakiran. Bagaimana mungkin kita mengatasi semua kefakiran kalau kita sendiri tidak berharta banyak, Bu. Dengan menjadi kaya, kita bisa beramal banyak. Dengan menjadi kaya, kita bisa berobat ke dokter paling bagus sekali pun, menolong orang kesusahan, membangun masjid, jembatan, jalan raya. Uang itu akan menjadi amal sholeh setelah meninggal nanti.”
“ Benar sekali, Amri. Berarti uang tidak bisa dibawa setelah mati. Tapi amal sholeh kan.”
“ Sangat tepat, Bu. Banyak orang bilang bahwa uang tidak dibawa dibawa sampai mati. Memang benar. Tapi dalam bentuk uang itu sendiri. Ketika uang itu diinfakkan di jalan Allah, maka uang itu berubah menjadi amalan sholeh. Dan amalan sholeh dibawa sampai mati. Berarti uang bisa menjadi perantara kesuksesan kita setelah mati.”
“ Penjelasanmu sangat enak didengar, Amri. Aku berharap lebih dekat denganmu. Melihatmu aku jadi teringat mantan suamiku. Ia hampir mirip seperti dirimu. Ia memiliki kulit putih bersih, berhidung mancung, dan berpostur tubuh tinggi kekar. Memang menarik bagian luar, tapi sangat berbeda bagian dalam. Aku pun merasa sangat kecewa telah membina rumah tangga bersamanya. Ia mengkhianati cintaku berkali-kali. Ia berkali-kali berbuat serong dengan wanita lain. Dengan kekuatan uang, ia seolah bisa melakukan apa saja. Dan ternyata ia bukan seorang lelaki baik hati. Meskipun aku satu-satunya istri yang dimiliki saat aku, ia telah berbuat serong dengan banyak wanita. Dan itu yang membuatku sakit hati. Aku langsung minta cerai. Aku sudah tak tahan lagi hidup bersamanya, sudah tidak tahan.”
Rasa iba pun muncul.
“ Amri, setelah itu hidupku seolah menjadi tekanan tersendiri bagiku. Pikiranku tergoncang hebat. Aku mengalami tekanan psikis hebat. Limpahan uang seolah tak berarti apa pun. Hidupku merana. Aku seolah lebih menderita dari orang pinggiran. Mereka bersuka ria dan bercanda tawa dengan orang tercinta meskipun hidup di bawah jembatan. Tapi sebaliknya, aku mengalami broken home. Dan itu sangat menyakitkan hati. Untuk itu, aku merasa harus kembali ke jalan yang benar. Allah menegurku dengan cobaan ini. Selama ini aku jarang sekali beribadah. Aku lebih suka berfoya daripada ikut pengajian. Aku lebih suka nongkrong di kafe daripada sholat. Aku lebih suka sibuk berbisnis daripada sibuk beribadah. Allah menegurku. Dosaku terasa membebani diriku, Amri. Masih adakah harapan untuk kembali ?”
Dengan tegas, aku menjawab,
“ Allah maha penerima Taubat, Bu.”



 Story by Nalis .. 
Sekilas cuplikan dari cerita sangat panjang.





No comments:

Post a Comment