Tuesday, August 26, 2014

Kasih, Aku Tak Ingin Menduakanmu



Malam menjelma. Langit membentangkan hubah hitam berhiaskan bintik-bintak putih. Aku berjalan pelan menuju rumahku. Rumah-rumah penduduk tampak sepi. Lampu dipadamkan, kegelapan pun menjelma. Hanya suara binatang malam meramaikan malam ini. Angin malam berhembus kencang, menusuk tulang. 

Malam ini terasa hampa. Pikiranku benar-benar tergoncang hebat. Aku merasakan kesedihan mendalam. Tidak terdengar tangis di luar. Tapi aku menangis keras dalam hati. Hatiku menciut. Dunia yang luas dan lebar ini seolah sempit, sesempit hatiku. Aku berjalan sambil tertunduk lesu. Tubuhku lemas seketika.

“ diriku oh diriku, mengapa nasibmu sangat malang. Apa salahmu,” ucapku penuh keluh kesah.
Kusarakan kesesakan batin sangat mendalam. Apa yang terjadi ketika sebuah pasangan suami istri menikah cukup lama, lalu tidak dikaruniai anak ? Tentu sangat menyakitkan. Sepasang suami istri sangat mengharapkan buah hati. Tanpa kehadiran buah hati, hidup terasa hampa. Kebahagiaan seolah terkikis. Bahkan harta berlimpah pun serasa asam tanpa kehadiran buah hati. Dan itulah yang kurasa sekarang. Aku sangat tersiksa tanpa kehadiran buah hati. Padahal sudah sepuluh tahun aku merajut tali kasih dengan bidadariku. Tapi aku terus berdoa agar impianku bisa terpenuhi. Yang paling menyesakkan hati, tidak sedikit orang menyuruhku untuk membagi cintaku. Aku dipandang sebagai anak orang ternama. Untuk itu mereka seakan memaksa diriku untuk memiliki keturunan. Pikiranku tergoncang hebat.


Aku masih teringat di malam pertama saat aku menikah. Aku bercumbu bersama istriku sangat mesra. Aku berandai-andai tentang masa depan. Istriku ingin punya anak pertama perempuan. Sedangkan aku ingin anak pertama laki-laki. Bahkan aku sempat memberikan nama untuk anakku nanti. Pada waktu itu, kecerian seolah menjadi teman akrab diriku dan istriku.

Namun sekarang, keceriaan berubah drastis menjadi kesedihan. Tahun demi tahun, kami menanti kehadiran sang buah hati. Tapi sepuluh tahun selama pernikahan, kami belum juga dikaruniai seorang anak. Rasa sedih bercampur khawatir pun menjadi satu. Aku sudah berkali-kali memeriksakan istriku ke dokter. Tapi tidak ada masalah di dalam diri istriku, begitu pula diriku. Kami sangat bersedih.

Kulihat sebuah rumah sederhana berada di depan pelupuk mata. Rumah itu tidak terlalu besar, berpapan kayu, beralaskan tanah. Bagian muka rumah hanya dihiasi pintu kayu dan kaca jendela. Lampun rumah masih menyala terang. Pepohonan jambu tampak berdiri tegak di sekeliling rumah. Nyanyian binatang malam semakin terdengar keras, seolah memecah keheningan malam. Kesedihan sedikit terobati mendengar suara merdu binatang malam.

Aku mengetuk pintu secara perlahan. Terdengar langkah suara kaki di dalam rumah. Dan suara langkah itu semakin membesar. Daun pintu bergerak. Pintu pun terbuka lebar. Tampak seorang wanita berambut hitam lurus tersenyum manis padaku. Wajahnya putih bersih. Hidungnya mancung. Kedua matanya bening. Parasnya sangat mempesona. Aku tersenyum bahagia. Ia seolah bidadari turun dari langit, lalu ditakdirkan hidup bersamaku. Hatiku berbunga-bunga. Aura kebahagiaan tiba-tiba hadir kembali.
“ Mas, apa tadi mas bertemu dengan ibu ?” tanya Rini penuh kelembutan kata.
“ Ya benar.”
“ Lalu mas membicarakan hal apa dengan ibu ?”
Aku tak ingin membebani diriku lebih dalam. Aku langsung masuk ke dalam rumah. Aku menggandeng halus kedua tangannya. Aku duduk di atas kursi kayu. Rini menghidangkan pisang goreng dan segelas teh hangat. Ia pun duduk di atas kursi, berhadapan denganku. Sebuah meja kayu menjadi pembatas diriku dan dirinya. 

Rini tersenyum lebar. Kedua pipinya melesung tajam. Kedua mataku sangat termanjakan. Aku tak tega menyakiti hatinya lebih dalam. Aku meneguk segelas teh hangat. Rini berdiri lalu berjalan menghampiriku. Ia memijit kedua bahuku penuh kelembutan. Aroma wangi tubuhnya menyebar. Ia memakai parfum beraroma melati. Hidungku pun termanjakan.

“ Mas tadi membicakan apa dengan ibu ? Tolong jawab, Mas,” pinta Rini penuh harap.
“ Sudahlah, Rin. Mas capek,” jawabku pelan.
“ Apa membicakan tentang Rini ya Mas ?”
“ Rin, mas capek. Pikiran mas belum sepenuhnya fresh. Kamu satu-satunya permaisuri hatiku yang tak tergantikan.”
Kulirik dirinya. Ia tertunduk lesu. Aku pun mengerutkan kening. Aku pun berdiri, lalu membalikkan badan. Kutatap bola matanya yang indah. Ia masih tertunduk lesu.
“ Rin, mengapa kamu tertunduk ? Wajahmu tampak pucat,” tanyaku penuh penasaran.
“ Mas, banyak terdengar kabar bahwa mas ingin menikah lagi. hanya disebabkan kita belum memiliki buah hati, Mas. Rini sangat sedih mendengar desas-desus itu, Mas. Sebagai seorang istri, Rini juga punya keinginan dimadu. Rini sangat mencintaimu, Mas,” jawabnya sambil tertunduk lesu.
Aku memegang erat kedua bahunya. Ia menitiskan air mata. Dadaku pun terasa sesak. Wajahnya memerah. Aku pun melelehkan air mata. Aku paling tidak tega melihat perempuan menangis.
“ Rin, tolong dengarkan aku. Aku sangat mencintaimu. Kamu menjadi belahan jiwaku, tambatan hatiku. Tidak ada wanita di dunia ini selain ibuku dan kamu. Kamu cintaku. Kamu benar-benar membekas di lubuk hatiku, tidak tergantikan. Tidak ada seorang wanita pun merasuk ke dalam jiwaku selain dirimu, Kasih. Camkan kata-kataku ini, Kasih. Aku sangat mencintaimu,” kataku penuh penghayatan.

Air matanya masih meleleh. Suara tangis terdengar dari dalam dirinya. Ia langsung memelukku erat. Aroma wangi terasa sangat kental dari dalam tubuhku. Aku menerimanya penuh kenikmatan. Sepasang kekasih sedang dirundung kesedihan mendalam.

“ Mas, kita belum memiliki keturunan. Rini tentu sangat mengecewakan mas. Mas menjadi anak satu-satunya seorang kyai besar di desa ini. Apalagi mas juga melanjutkan jejak almarhum bapak mas. Banyak orang menginginkan mas punya keturunan. Sedangkan Rini belum bisa menurutinya. Rini sangat malu dan sedih sekali.”

“ Rin, kamu sama sekali tidak bersalah. Dan kamu tidak perlu malu. Di dunia ini, bukan hanya kita saja mengalami hal ini. Bahkan lebih lama dari kita pun banyak terjadi. Tapi mereka menjadi pasangan setia. Cinta mereka tidak terputus meskipun cobaan menerpa.”
“ Apakah mas terpengaruh oleh kata-kata mereka ?”
Aku melepaskan pelukannya.
“ Rin, aku sama sekali belum ada niat untuk menikah lagi. Aku belum ingin membagi cintaku, Rin. Di samping itu, aku juga bukan orang kaya raya. Aku belum sanggup untuk berbuat adil. Tapi memang tidak dipungkiri, aku sangat ingin punya keturunan.”

Rini semakin menangis keras. Aku tak tega mendengarnya. Ia menjongkok, lalu memeluk erat kedua kakiku. Aku pun tersentak. Aku langsung meraih tubuhnya, lalu kutegakkan badannya. Ia tertunduk lesu.
Aku bertanya penuh terheran,
“ Rin, mengapa kamu melakukan hal itu ?”
“ Mas, tidak ada perempuan di dunia ini yang begitu saja diduakan dalam hal cinta. Tapi sekarang kondisinya sangat berbeda. Banyak sekali desas-desus bermunculan. Rini sudah tak kuat lagi mendengarnya. Seandainya Rini tidak menikah dengan mas, mungkin hasilnya akan lain. Tapi mas punya silsilah keluarga terpandang. Oleh karena itu, Rini sangat merasa bersalah tidak bisa membahagiakan mas. Meskipun begitu, Rini sangat mencintai mas.”
“ Rin, belum terbersit di pikiranku bahwa aku ingin memadu cintaku. Tolong jangan berpikir macam-macam, Rin.”
Rini menegakkan pandangan pandangan. Kedua bola matanya terpancar bening. Wajahnya kembali bersinar indah, memberi aura kebahagia bagi siapa saja yang memandang.
“ Mas, Rini sangat ingin mas punya keturunan. Mungkin ini sangat sulit untuk diungkapkan. Tapi karena mas menjadi seorang kyai besar, mas pun harus punya keturunan.”
Aku mulai memahami maksud ucapannya.
“ Rin, aku belum ingin menduakan cintaku. Aku ingin memperbaiki ekonomi kita dulu. Untuk itu, aku akan merantau ke Jakarta mencari penghasilan yang layak. Kita butuh hidup dengan kebahagiaan jangka panjang, Rin. Dan hal itu sekaligus alternatif supaya berkurang desas-desas orang-orang. Tapi aku akan pulang satu bulan satu kali.”
Rini tersenyum lebar. Kedua pipinya melesung dalam. Aku pun tersenyum lebar. Ia tiba-tiba langsung mencium pipiku penuh mesra.
“ Kaulah hidupku. Kaulah tambatan jiwaku. Kaulah pangeranku. Kaulah permataku. Jangan pernah lupakan aku, Sayang,” ucapnya penuh manja.

Nalis, 26 Agustus 2014

No comments:

Post a Comment