Wednesday, November 5, 2014

Sehelai Ungkapan Perasaan


  Aku duduk untuk menenangkan diri. Di saat duduk, Roy memberiku dua potong kertas untukku. Tampak tulisan tangan menempel pada dua kertas itu. Aku pun menerimanya.
“ Ustadz, tulisan itu berisi perasaan Tini pada Anda. Mohon dibaca. Saya hanya ingin tahu bagaimana perasaannya pada Anda. Setahu saya, ia menuliskannya di sini. Waktu itu, ia meminta saya untuk memberinya dua kertas dan pena. Saya hanya menuruti keinginannya. Dan saya menemukannya di bawah ranjang Tini ini.”
Aku mengangguk. Aku mengambil napas panjang. Aku membaca pada kertas pertama.



          Aku merasa dekat bersamanya. Duniaku seolah berubah. Goresan-goresan luka di hati seolah sirna. Dia hadir membawa cahaya, cahaya kehidupan yang telah lama didamba. Tutur bicaranya halus. Senyumannya menggelora, membuat mabuk kepayang diriku. Aku merasakan getaran hebat di hati, lalu menyuruhku untuk mengatakan bahwa aku mencintainya.
          Tapi semua harapan itu seolah sirna seketika. Aku tahu siapa diri ini. Aku harus mengaca. Dan ketika aku berdiri di depan cermin, aku tahu siapa diri ini. Aku bukan gadis baik-baik, seperti gadis-gadis pesantren itu. Aku suka keluyuran malam, merokok, bahkan berpacaran. Aku ingin bersanding dengannya. Tapi aku merasa tidak layak untuknya. Aku sangat malu dan malu.
           Langit seolah redup, lalu runtuh menimpaku. Tidak sedikit orang mengatakan sesuatu yang melukai hatiku, hanya disebabkan diri ini, bahwa aku bukan gadis baik. Meskipun begitu, aku bertekad untuk bersemangat mengarungi samudera kehidupan ini. Aku ingin mengubah hidup. Aku ingin kembali ke jalan yang benar.
          Tapi ia selalu bilang bahwa aku seorang gadis sholehah. Aku pun tertawa pelan. Aku hanya menganggap dirinya tidak lebih dari sekadar bercanda. Namun setelah kudengar nada bicaranya. Ia sangat serius mengucapkan kata-kata manis yang membuat hatinya terbang melayang. Ia sering bilang bahwa aku “ Gadis cantik dan sholehah” di tengah banyak orang mencemooh diriku karena kebiasan burukku. Aku pun memiliki asa. Hati ini terbang tinggi setelah dipuji olehnya. Aku bangga dipuji olehnya bahwa aku,” Gadis cantik dan sholehah.”
         Ia seorang lelaki yang sangat mempesona. Aku sangat tertawan olehnya. Tapi sekali lagi, aku melihat siapa diri ini. Selain berpenyakitan, aku juga bukan gadis ahli agama seperti kata-katanya. Dan ia sangat menginginkan gadis yang sholehah. Aku tahu diri ini bahwa aku mantan seorang pecandu narkotika. Bahwa aku mantan pecandu rokok. Bahwa aku mantan pecandu alkohol.
         Melalui tulisan ini, aku bisa sepuasnya menulis kata hatiku karena tidak ada satu pasang mata pun melihatnya kecuali diriku. Sebagai seorang perempuan, aku juga memiliki rasa malu yang tinggi. Aku sering dibuat berdebar oleh dirinya. Sungguh romantis lelaki itu.


Air mataku meleleh deras membasahi kertas itu. Tubuhku bergetar hebat. Aku sangat tersentuh oleh tulisan itu. Napasku berdesis kencang. Aku membuka kertas kedua. Aku mengambil napas dalam-dalam. Lalu aku membacanya penuh penghayatan,



         Aku hanya ingin dia tahu bahwa aku mencintainya. Meskipun hanya lewat tulisan ini. Aku ingin merenda anak-anak bersamanya, hidup bersamanya dalam bahtera rumah tangga. Aku tahu bahwa aku tidak layak. Bahwa aku harus berkaca diri. Tapi apa aku salah bila mengungkapkan isi hatiku ini. Rasa cinta begitu dalam, menyentuh hati. Tapi jika dia tidak mencintaiku, aku tidak bisa bersedih secara terus menerus.
        Meskipun ia menolak, aku tidak mau bersedih berkepanjangan. Aku harus memperjuangkan diri ini supaya punya hak dalam kehidupan. Punya hak untuk menjadi istri orang, walaupun hanya satu kali. Aku akan perjuangkan diri ini bahwa diri ini harus berstatus menjadi istri. Meskipun banyak orang baik dan sholeh tidak menyukaiku, tapi aku yakin masih ada orang mencintaiku, yang bertebaran di bumi ini. Mereka rela menerimaku apa adanya. Rela menerimaku dengan kondisi seperti ini. Walaupun kecil, aku berharap di dalam segelintir orang itu ada satu nama yang tertanam dalam hatiku. Dan ia menemuiku, lalu mengatakan cinta padaku. Pemuda itu selalu kurindu, seperti embun pagi menetes, menyejukkan mata dan hati. Dia seolah purnama yang hadir di hati di saat diri ini sedang terpuruk dalam kegelapan. Kegelapan di tengah gunjingan banyak orang. Oh, Amri, namamu sangat indah di hati, kurindu setiap hari.


No comments:

Post a Comment