Tuesday, November 4, 2014

Paman, Aku Tetap Akan Membela Bumi Hindia



Warni berharap cemas. Ia memikirkan keselamatan ayahnya di dalam perjalanan. Ia berjalan mondar-mandir sambil menundukkan kepala. Van Len duduk di atas kursi kayu. Ia meminum secangkir teh hangat. Ia meneguknya penuh kenikmatan. Asap keluar dari teh itu. Van Len menghirupnya, semakin memanjakan indera penciumannya. Van Len berdiri. Ia menatap Warni dengan pandangan lunak.

“ Aku ingin kembali ke hutan,” kata Van Len pelan.
“ Aku juga begitu.”
Van Len berjalan pelan menuju luar rumah. Warni mengikutinya di belakang. Suara mesin mobil terdengar keras di luar. Van Len melirik ke arah jendela yang terbuka. Mobil Jeep berjalan pelan menuju rumah Warni. Ia tersentak. Ia melihat pamannya berada di dalam mobil itu. Mereka tampak berpakaian tentara. 
Van Len langsung menghimbau Warni,
“ Warni, tolong kau pergi jauh dari sini ?”
“ Ada apa Len ?”  tanya Warni keheranan.
“ Kau dengar suara mobil itu ?”
“ Ya, aku mendengar jelas suara itu.”
“ Tentara musuh telah mengetahui keberadaan kita. Paman beserta beberapa tentara datang ke sini. Mereka akan mendobrak rumah ini jika kau menguncinya. Tolong pergilah. Mereka menginginkanku, bukan dirimu. Aku takut kau terluka.”
“ Aku tak bisa meninggalkanmu sendiri. Aku akan ikut bersamamu.”
Tatapan Van Len semakin tajam.
“ Warni, mereka menginginkanku untuk kembali. Aku akan bersedia. Tapi niatku tak akan berubah. Aku tetap membela negerimu. Aku berjanji akan kembali lagi. Kembali berjuang bersama Pardi dan teman-teman. Kembali lagi untuk bertemu denganmu.”
Mata Warni berkaca-kaca. Van Len menambahkan,
“ Pergilah lewat pintu belakang rumah. Aku akan menyusul jika kondisi memungkinkan. Mereka tak akan membunuhku. Tenang saja.”
Suara ketukan pintu terdengar halus. Van Len terkejut. Ia berpikir “ Mengapa mereka tidak mendobrak.”
“ Warni, cepat pergi,” himbau Van Len.
Dengan linangan air mata, Warni berkata,
“ Aku tak bisa meninggalkanmu.”
“ Aku akan kembali, Warni. Aku pergi untuk kembali.”

Warni berjalan pelan menjauhninya. Air matanya terus meleleh. Ketukan pintu terus terdengar, suaranya halus. Van Len berjalan mendekati pintu. Ia membalikkan badan sejenak. Warni menghilang di pelupuk matanya. Ia kembali membalikkan badan. Ia membuka pintu rumah itu dengan kunci, lalu  menarik daun pintu. Pintu perlahan terbuka.

Tampak empat orang berdiri di hadapan mereka. Van Len melihat mereka dengan pandangan tajam. Ia menatap tajam pamannya, lalu Suyitno, seorang tentara gempal, dan pengemudi mobil. Ia sedikit terheran. Tak ada satu senjata pun menghias seragam mereka. Mereka tak menggenggam senapan. Ia mengerutkan kening.

Pandangan pamannya begitu lunak. Ia berjalan pelan lalu memeluk erat Van Len. Sesaat kemudian ia lepaskan pelukan. Van Len masih memandangnya tajam. Keheningan tercipta saat itu. Mereka membisu di tengah riuk angin yang berhembus kencang.

Kolonel Van Heide mulai angkat bicara,
“ Len, bagaimana kabarmu ? Paman sangat mencemaskan keadaanmu.”
Van Len masih terdiam. Ia seolah memendam kebencian hebat pada pamannya. Ia menatapnya tajam. Kolonel Van Heide menambahkan,
“ Len, aku tahu bahwa kau telah menemukan cinta sejatimu. Aku dan tentara lain tidak akan memaksa. Kami hanya ingin kau kembali ke markas. Lalu kami akan pulangkan kau ke Belanda.”
Van Len tak juga merespon. Ia tersenyum kecut.
“ Len, apa kau mencintai Mawarni ?”  tanya kolonel secara halus.
Van Len sedikit terkejut. Darimana pamannya tahu tentang Warni, pikirnya. Ia paksakan diri untuk berkata,
“ Dari mana paman tahu tentang Mawarni ?”
Kolonel tersenyum lebar. Ia menepuk bahu Van Len dengan halus. Van Len menatapnya tajam. Van Len merasa pamannya punya maksud lain di balik ucapannya. Pamannya terus tersenyum. Senyumannya tak menunjukkan pelecehan, tapi kekaguman pada sosok pemuda itu.

“ Len, aku tahu banyak tentang dirimu ketika kau kabur dari markas. Banyak kabar tentang dirimu masuk markas. Bahkan perasaan cintamu pada gadis itu sudah diketahui banyak orang termasuk para tentara Belanda. Dan salah seorang pembawa berita itu sosok yang berdiri di sebelahku ini.”

Kolonel menepuk bahu Suyitno pelan. Suyirno tersenyum lebar pada Van Len. Gigi-giginya terlihat banyak keropos termakan kuman. Van Len memandangnya tajam. Ia keheranan terhadap sosok itu. Kolonel melanjutkan,
“ Len, dia ini mantan pasukan gerilya. Dan sekarang dia bertugas menjadi mata-mata kita. Mengawasi gerak-gerik musuh. Dia dulu juga anti Belanda,  menentang keras agresi kita.Lalu kita rayu dia secara baik-baik, ia pun luluh oleh rayuan. Dan sekarang dia cukup bermanfaat buat merealisasikan rencana kita.”
Van Len masih memandangnya tajam. Ia belum percaya sepenuhnya dengan ucapan pamannya. Ia tersenyum kecut, seolah tanda penghinaan pada kolonel itu. Di dalam dada kolonel, jantung terasa menegang. Detak jantungnya begitu kencang. Uap panas keluar dari hidung. Kolonel terbakar dalam amarah. Tapi ia tekan kuat amarah itu.

“ Lalu apa yang kau inginkan, Paman ?” tanya Van Len tegas.
“ Seperti yang kukatakan. Orang lusuh ini mantan seorang pejuang. Kita merekrutnya karena ia berpihak pada kita. Kau pun dapat menawarkan tawaran ini pada Mawarni. Bawa ia ke markas. Bujuk ia supaya berpihak pada kita. Kita akan menghormatinya.Kita tidak akan menyakitinya.Bahkan jika kau menginginkannya sebagai istri, kita persilakan. Itu hakmu. Seperti kami menghormati orang lusuh ini.”

“ Aku masih belum percaya ucapan paman. Kau pasti menghasut orang itu secara paksa, lalu dijadikan tawanan dan dipaksa menjadi mata-mata. Aku tahu karakter paman sudah lama. Apa kau ingin memperlakukan hal itu pada Warni juga. Paman, ingat baik-baik ucapanku.”

Van Len mengambil napas panjang. Ia melanjutkan,
“ Warni pernah digeret tentara gempal di samping paman. Ia ingin menodai kehormatan gadis itu. Ia geret secara paksa tangannya. Ia membawanya ke dalam bangunan kosong. Lalu ia hendak menodai kehormatannya di sana. Aku datang tepat waktu. Lalu itu kah yang paman sebut sebagai penghormatan. Padahal ia tidak melawan. Coba paman pikirkan dengan matang.”

Kolonel menundukkan kepala. Ia mengerutkan kening. Ia picingkan kedua mata. Napasnya tersendat-sendat. Mukanya merah membara. Ia menyuruh Suyitno untuk mengambilkan senjata di dalam mobil. Tubuh Suyitno merinding hebat. Kolonel membentaknya keras. Suyitno segera berlari menuju mobil. Ia mengambil sebuah senapan di dalam mobil. Ia langsung memberikannya pada kolonel.

Kolonel memegangnya erat. Ia mengelus-eluskan senapan dengan tangan sambil meniupnya. Van Len merasa tenang melihat senapan berada di tangan pamannya. Ia tak terbersit sedikit pun pamannya akan menembaknya. Ia tidak mungkin tega melakukannya, pikirnya.

Sementara tiga orang di belakang kolonel berdiri tegang. Tubuh mereka merinding. Bulu kuduk berdiri. Mereka menundukkan kepala. Mereka berharap kolonel tak melakukan hal konyol pada diri mereka, menembak mati di tempat itu. Mereka terdiam, membisu di tengah pusaran angin yang berhembus sepoi-sepoi. Rambut beterbangan seolah ingin lepas dari kepala.

“ Len, aku percaya dengan ucapanmu. Aku sangat percaya. Kau selama ini sangat dekat denganku, sangat dekat. Aku tahu watakmu secara pasti. Bila kau jujur, atau bohong, aku tahu dari cara bicaramu, juga emosimu, dan raut wajahmu. Aku tahu banyak tentang dirimu, Len. Gadis yang kau cintai diperlakukan seperti itu oleh tentara kita. Lalu aku ke sini untuk mengajak gadis itu bergabung bersama kita secara baik-baik. Aku merasa malu padamu. Baiklah, untuk membuang perasaan bencimu pada tentara Belanda. Aku akan melakukan sesuatu yang membuatmu puas.”

Kolonel mengarahkan senapan ke depan. Posisinya sejajar dengan dagu. Moncong senapan mengarah tepat ke arah jantung Van Len. Ia memicingkan mata, bersiap melakukan tembakan. Van Len hanya terdiam. Ia menatap pamannya tajam. Ia mematung, tak sedikit pun berpikir untuk kabur. Ia memejamkan mata. Ia berharap pamannya tak membunuhnya.

Kolonel membalikkan tubuh dengan cepat, tanpa merubah posisi. Moncong senapan langsung menunjuk jantung seorang tentara gempal. Desis peluru terdengar keras. Peluru melesat sangat cepat, lalu menghantam jantung tentara gempal itu. Darah langsung keluar deras. Tentara gempal itu berteriak keras, lalu jatuh tersungkur ke tanah. Ia merintih kesakitan. Baju seragamnya basah oleh darah. Matanya melotot, tak kuasa menahan rasa sakit. Ia ulurkan tangan pada kolonel.

“ Mengapa kau lakukan ini, kolonel,” ucapnya lirih.
Sesaat kemudian tubuhnya tak bergerak, kaku dengan melentangkan tubuh. Kedua matanya melotot. Napasnya berhenti. Ia mati dengan bersimbah darah pada dadanya. Kolonel melihatnya penuh kebencian. Ia turunkan senapan. Ia mengeluarkan napas keras. Dua orang di samping mayat itu berdiri kaku. Mereka terus menundukkan kepala. Tubuh mereka bergetar hebat. Kolonel membalikkan badan. Ia berhadapan dengan Van Len. Ia menatapnya tajam. Van Len pun juga begitu.

Kolonel tersenyum kecut pada Van Len.
“ Bagaimana, Len ?”  katanya lirih.
Van Len tak menjawab. Ia masih menatapnya tajam. Kolonel sedikit keheranan pada Van Len.
“ Mengapa kau terdiam, Len ? Apa kau ingin lebih lagi. Baiklah, akan kuturuti kemauanmu.”
Kolonel kembali mengangkat senapannya. Ia membalikkan badan. Lalu ia luncurkan timah panas ke arah jantung salah seorang tentara. Peluru menghantam deras dadanya. Darah keluar deras. Tentara itu berteriak keras lalu jatuh tersungkur ke tanah. Suyitno merinding ketakutan. Ia ingin sekali kabur. Ia berpikiran bahwa ia mendapat jatah giliran ketiga setelah dua tentara itu. Tapi ia tahu kabur pun tak bisa menyelamatkan nyawanya. Kolonel dapat menembaknya dari jarak jauh. Ia hanya bisa pasrah pada nasib.

Suyitno merasa Kolonel Van Heide telah menggila. Apa yang dilakukannya sudah terlawat batas, pikirnya. Sama sekali tak berperi kemanusiaan. Kolonel itu membunuh tiga orang dalam waktu singkat dengan seenaknya, tanpa berpikir panjang. Ia membunuh ayah Warni, seorang tentara gempal, dan tentara pengemudi mobil jeep.

Kolonel tertawa terbahak-bahak. Gigi-giginya tampak putih bersih. Desis napasnya terdengar cukup keras. Ia seperti kehilangan kesadaran. Van Len masih berdiri mematung. Ia menatap pamannya tajam.
“ Bagaimana, Len. Apa kau puas. Tentara pembangkang itu sudah dimusnahkan. Dan sekarang cari gadis itu. Ajak dia bergabung dengan kita. Aku akan menghormatinya. Jika ada tentara melakukan macam-macam pada gadis itu, akan kubuat  seperti dua tentara payah itu. Kau paham,”  ucap kolonel tegas.
Van Len masih terdiam. Ia terus berdiri mematung. Kolonel tampak terbakar emosi. Ia sudah tak kuat lagi menahan kesabaran. Ia berteriak keras,
“ Apa perlu kubunuh orang yang satu ini ,Len. Agar kau ikut pulang bersamaku ?”
Kolonel langsung menaikkan kembali senapan, lurus sejajar dengan dagunya. Ia mengarahkan moncong senapan pada dada Suyitno. Tubuh Suyitno menggigil ketakutan. Ia merasa tubuhnya kaku. Ia memejamkan mata. Ia berharap keajaiban terjadi. Van Len langsung bereaksi,
“ Jangan !”
Kolonel menurunkan senjata. Ia membalikkan tubuh, berhadapan dengan Van Len. Ia memandangnya tajam. Tanpa disangka ia lemparkan senjata ke tanah, tepat di depan Van Len.
“ Ambillah, lalu bunuh dia jika kau mau,” ucapnya tegas.

Mendengar ucapannya, Suyitno semakin ketakutan. Ia tak tahu harus melakukan sesuatu yang menyelamatkan nyawanya. Ia berharap banyak pada Van Len. Hati kecilnya mengatakan tidak mungkin. Van Len mengetahui bahwa dirinya telah mengkhianati para pasukan di hutan. Jika dalam diri Van Len terdapat sifat benci pada dirinya, tamatlah riwayatnya. Ia berpikiran seperti itu.

“ Aku tak akan mengambilnya, Paman. Jangan ada pembunuhan lagi di sini. Aku tak ingin kembali ke markas. Pikiranku sudah berubah, Paman. Silakan paman kembali,”  kata Van Len tegas.
“ Secepat itu kah keputusanmu, Len ?”
Van Len terdiam. Ia masih menatap pamannya tajam. Kolonel menambahkan,
“ Len, aku sudah menawarkan pada dirimu berulang kali. Jangan ubah niatmu hanya karena gadis itu. Aku tahu tentang dirimu. Aku yakin kau melakukan semua ini karena kau terpikat oleh gadis itu. Len, sadarlah kau !”
“ Paman, aku sama sekali berubah pikiran tidak dikarenakan oleh gadis itu. Aku berubah pikiran karena tekanan hebat dari hati. Hatiku terasa tercabik-cabik menyaksikan sebuah bangsa teraniaya, yang tak punya salah terhadap penjajah. Lalu tanah mereka direbut secara paksa. Banyak nyawa tak berdosa melayang sia-sia. Tangis terdengar di mana-mana. Mereka jauh dari kata bahagia.”
Kolonel semakin emosi. Ia membentak dengan keras,
“ Len, aku tawarkan sekali lagi. Ayo ikut bersamaku ke markas .”
Van Len menggelengkan kepala. Ia berkata dengan tegas,
“ Tidak, aku tidak akan ikut dengan paman ke sana. Aku merasa tersiksa di sana. Tak ada kebahagiaan. Tak ada rasa nyaman. Yang ada hanya kesempitan jiwa, hanya jiwa yang menangis kesepian di tengah kobaran perang. Aku sangat menderita di sana.”

Kolonel tak bisa menahan amarahnya. Ia naik pitam. Mukanya memerah bagai bara api membara. Emosinya meluap. Napasnya tersendat-sendat. Ia mengerutkan kening, lalu memicingkan mata.

“ Kau harus diberi pelajaran anak kecil,”  kata kolonel dengan tegas.
Kolonel berlari kencang ke arah Van Len. Ia mengarahkan tendangan ke arah dada Van Len. Gerakannya sangat cepat. Van Len tak tergerak, menatap ke depan. Kolonel melayang ke udara sangat tinggi. Ia turunkan tendangan tepat ke arah dada Van Len. Sepatu kulitnya tampak keras, lalu menghantam dada Van Len. Tubuh Van Len terpental ke udara. Ia berteriak. Lalu ia terjatuh ke tanah.

Belum sempat bangkit, kolonel kembali menyerang. Ia memegang lengan baju Van Len dengan kasar, lalu menyeretnya ke dalam rumah. Ia naikkan tubuh Van Len ke atas, lalu ia pukul perutnya dengan tangan. Pukulannya keras, menghantam perut Van Len. Kemudian ia mengulangi lagi, dan lagi. Van Len berteriak lirih menahan rasa sakit. Darah keluar dari mulutnya.

Kolonel menjatuhkannya di atas tanah liat datar. Van Len merasa susah untuk bangkit. Kolonel kembali melancarkan tendangan ke arah mukanya. Tendangannya terkena rahang kiri Van Len. Van Len kembali terpental dengan posisi berbaring. Napas kolonel semakin tersendat-sendat. Ia masih terbuai dalam luapan emosi tinggi.

Ia berjalan menghampiri Van Len yang sedang sekarat. Ia kembali melancarkan tendangan. Tendangan mengarah tepat ke punggung Van Len. Kemudian Van Len kembali terpental. Ia berusaha menahan rasa sakit. Sementara kolonel terus menendangnya. Van Len ingin sekali membalas serangan, tapi ia tak kuasa lakukan. Ia tak ingin menyerang pamannya. Ia masih menganggapnya bagian dari keluarganya.

“Ayo balas ! Kenapa kau tidak membalas seranganku !...Hei anak muda !” bentak kolonel.
Kolonel memegang erat kerah baju Van Len. Ia menariknya ke atas,  membuat diri Van Len berdiri secara paksa. Ia memandang tajam Van Len. Matanya melotot. Napasnya tersendat-sendat. Ia menekan kuat gigi-giginya. Ia membentak dengan keras,
“ Dengar baik-baik anak muda, aku masih memberimu kesempatan untuk berubah. Pintu markas terbuka untukmu, tapi aku akan membatasinya dengan waktu. Aku memberimu waktu satu minggu, mulai dari sekarang. Satu minggu untuk berubah. Carilah gadis yang kau cintai itu, lalu ajak dia bersamamu pergi ke markas. Atau kau datang sendiri ke sana. Aku masih memberimu kesempatan. Kesempatan untuk berubah. Kau telah memalukan nama tentara kita. Ayahmu pasti marah besar dan kecewa padamu. Bahkan mungkin ia bisa memusuhimu karena perlakuanmu itu. Kau sungguh biadab !”

“ Kalau batas waktu itu kau tak juga datang. Aku akan menganggapmu musuh. Kau sudah tak dianggap di sana sebagai kawan, tapi kau dianggap sebagai lawan. Pengkhianat yang harus disingkirkan. Aku juga tak sudi menganggapmu sebagai keponakan. Jangan panggil aku dengan sebutan paman jika kita saling berhadapan nanti. Ingat anak muda, masih ada waktu untuk berubah. Berubahlah. Jangan sampai kesabaranku habis karena ulahmu yang membuat bingung para tentara.”

Kolonel sedikit melunak. Ia melanjutkan dengan nada sedikit lunak,
“ Ingat anak muda, berubahlah dan berubahlah. Jangan buat bingung para tentara dengan ulahmu. Kau telah membela pasukan gerilya dari serangan tentara kita. Padahal kau orang Belanda. Kau membela orang Hindia karena kau mencintai salah seorang gadis Hindia. Aku tidak melarangmu. Tapi jangan jadikan kecintaanmu pada gadis itu menjadi buta. Kau berubah arah karena dia. Aku tahu ucapanmu tadi pasti bohong. Aku tahu betul watakmu, karakter pribadimu. Kau tak bisa membohongimu. Masih ada waktu untuk berubah. Berubahlah sebelum semuanya terlambat. Sebelum orang-orang yang kau cintai berubah pikiran, dari mencintaimu menjadi memusuhimu.”

Ia melepaskan pegangan. Van Len terjatuh, lalu tersungkur ke tanah. Ia terbaring dengan punggung di atas. Darah masih mencucur di pipi. Mulutnya tampak memerah, mengeluarkan darah. Ia menatap pandangan lurus ke depan. Kolonel berjalan pelan membelakanginya. Ia berjalan keluar dari rumah itu. Ia tak sedikit pun menoleh ke belakang. Ia menutup pintu rumah dengan hentakan keras. Sinar matahari tertutup oleh pintu. Van Len menundukkan pandangan. Tak lama berselang suara mesin mobil terdengar keras. Suara itu semakin mengecil dan akhirnya menghilang.

Di tengah rasa sakit yang hebat, Van Len berpikir tentang nasibnya. Ia tak bisa membayangkan seluruh sanak keluarganya membencinya. Membenci karena ia membela kebenaran. Membela orang lemah dari penindasan. Mengubah kesedihan yang dialami oleh bangsa Hindia menjadi keceriaan. Ia tak tega mendengar tangis terus menerus dari generasi muda bangsa Hindia, dari para istri yang ditinggal gugur suami di medan pertempuran. Ia hanya ingin semua orang hidup damai tanpa penindasan. Tanpa kediktatoran pihak tertentu. Ia ingin mewujudkannya di bumi Hindia.

Van Len tak merubah jalan pikirannya. Ia tetap berjuang bersama rakyat Hindia untuk melawan penjajahan atas bumi mereka. Ia sudah berpikir matang. Bahkan ia rela mati demi kebahagiaan di atas muka bumi Hindia. Ia tak takut mati. Ia mencoba untuk berdiri, tapi ia tak mampu melakukannya saat itu.

Van Len merasakan kerinduan dalam pada pasukan gerilya di hutan-hutan. Ia rindu bercengkerama dengan mereka. Ia rindu latihan bersama mereka. Saling lelah, saling berbagi, saling canda tawa, saling berjuang dengan membawa satu misi, saling menyatukan ikatan di tengah perbedaan ras. Ia tersenyum di tengah rasa nyeri hebat di kepala, perut, punggung, dan kaki.
“ Len...Len.....Len.”
Van Len mendengar suara suara seorang perempuan memanggil namanya. Mata Van Len semakin menyipit. Pandangan di depan sedikit demi sedikit buyar. Ia merasa mendengar suara Warni. Tapi ia hapus perasaan itu. Rasa sakit yang hebat dialami menimbulkan halusinasi tinggi. Rasa nyeri di kepala semakin memuncak. Kepala Van Len serasa ingin pecah. Van Len mencoba untuk berteriak sekeras-kerasnya.

Tapi suara itu semakin membesar. Van Len mencoba membalikkan pandangan. Pandangannya semakin buyar. Ia melihat secara tidak jelas  seorang gadis berjalan menghampirinya. Ia berjalan cepat. Ia tersenyum sebisa mungkin. Ia ulurkan tangan padanya. Rasa nyeri di kepala semakin memuncak. Pandangannya mulai mengecil, lalu tiba-tiba menghilang. Semua menjadi gelap di matanya.

Penulis : Nalis

No comments:

Post a Comment