Monday, November 24, 2014

Musuh Jadi Sahabat



Alkisah pada zaman dahulu, Abu Nawas sangat ketakutan di utus untuk berperang. Dan pada waktu itu, perang tetangga pun terjadi, antara negeri Abu Nawas dan sebelahnya. Sang raja ingin mengutus salah seorang dari rakyat untuk berunding ke musuh sebagai perwakilan, dan juga akan bertemu dengan perwakilan dari kubu lawan. Situasi puncak memanas saat itu, sehingga hamper dipastikan pertemuan itu berakhir pertikaian. Semua orang di situ merinding. 

Raja mengundi dan Abu Nawas menjadi utusan raja. Sesaat berselang, Abu Nawas pasrah akan nasibnya dan membayangkan dia akan bertemu utusan lawan dengan badan kekar, beringas, dan siap memenggal kepalanya.

Dengan kuda lemah lunglai, dia tunggangi. Dia berpamitan dengan saudaranya bahkan dia mengira itulah waktu terakhir kali dia melihat sebelum dibunuh. Para saudaranya pun menangis dan mengharap keajaiban datang.


Oase demi oase dilewati. Di kejauhan, dia melihat kuda lari beringas membawa seorang lelaki gagah dan perkasa. Di tangannya ada sebilah pedang yang siap memenggal kepala Abu Nawas. Abu Nawas pun merinding. Karena itulah utusan dari kubu lawan. Apalagi konflik memuncak. Dia pasrah dan pasrah.

Lelaki itu siap menghantam tubuh Abu Nawas. Tapi Abu Nawas cepat mengendalikan emosi lelaki itu. Dan lelaki itu diam sejenak.
“ Tenang, Kawan… Tenang,” kata Abu Nawas.
“ Kau utusan dari negeri sana ?”
“ Ya benar.”
“ Oh jadi, mari selesaikan disini !”
Abu Nawas turun dari kuda dan menenangkan lelaki itu.
“ Tunggu, Kawan. Beri waktu sedikit saja aku untuk berkata, nanti kau boleh lakukan apa saja sesukamu.”
“ Baiklah .. “
Lelaki itu masih berputar putar mengelilingi Abu Nawas dengan menunggang kuda.
Abu Nawas pun berkata,
“ Kau tahu untuk apa sih kita berperang ? Untuk tujuan apa ? Antara kau dan aku ?”
Lelaki itu menjawab,
“ Untuk menjaga martabat negeriku. Begitu juga menjaga martabat negerimu.”
“ Lalu kenapa kita harus saling berhadapan ? Apa kau mengenalku sebelumnya ? Apa aku pernah melukai dirimu, saudaramu, bahkan negerimu ?”
“ Tidak .. “
“ Lalu untuk apa kita capek capek bermusuhan dengan kerugian amat banyak setelahnya. Sedang kita baru bertemu, dan alangkah indah aku menjadi sahabatmu. Aku bisa ke rumahmu menemui keluargamu dan kamu bisa ke rumahku menemui keluargaku. Mereka butuh senyuman dari kita, mereka butuh perhatian dari kita. Itulah sebesar besar keuntungan disbanding hal tidak berguna ini.”
Lelaki itu merenung sejenak,
“ Benar juga ucapanmu.”
“ Apa kau lapar ?”
“ Ya.”
“ Kebetulan aku sudah menyiapkan banyak hidangan lezat untukmu. Kamu akan merasakan kelezatan makanan buatan negeriku. Sebentar ya.”
Abu Nawas mengambil makanan di dalam bungkusan di atas kudanya. Dia memberikan makanan itu untuk lelaki itu.
“ Ayo, turunlah, Kawan. Ada banyak makanan di sini. Hal ini jauh lebih indah. Apalagi kau habis perjalanan jauh, begitu juga diriku.”

Lelaki itu turun dan makan bersama Abu Nawas penuh kenikmatan. Mereka berdua seolah dua orang yang sudah sangat lama saling mengenal.
Sehabis selesai, mereka saling bersalaman dan berpelukan dan berjanji untuk saling berkunjung. Dan akhirnya, mereka berdua pulang ke negeri masing masing tanpa rasa dengki sedikit pun.

Nalis

No comments:

Post a Comment