Aku duduk untuk menenangkan diri. Di saat duduk, Roy memberiku dua potong kertas untukku. Tampak tulisan tangan menempel pada dua kertas itu. Aku pun menerimanya.
“
Ustadz, tulisan itu berisi perasaan Tini pada Anda. Mohon dibaca. Saya hanya
ingin tahu bagaimana perasaannya pada Anda. Setahu saya, ia menuliskannya di
sini. Waktu itu, ia meminta saya untuk memberinya dua kertas dan pena. Saya
hanya menuruti keinginannya. Dan saya menemukannya di bawah ranjang Tini ini.”
Aku
mengangguk. Aku mengambil napas panjang. Aku membaca pada kertas pertama.
Aku merasa dekat bersamanya.
Duniaku seolah berubah. Goresan-goresan luka di hati seolah sirna. Dia hadir
membawa cahaya, cahaya kehidupan yang telah lama didamba. Tutur bicaranya
halus. Senyumannya menggelora, membuat mabuk kepayang diriku. Aku merasakan
getaran hebat di hati, lalu menyuruhku untuk mengatakan bahwa aku
mencintainya.
Tapi semua harapan itu seolah sirna
seketika. Aku tahu siapa diri ini. Aku harus mengaca. Dan ketika aku berdiri
di depan cermin, aku tahu siapa diri ini. Aku bukan gadis baik-baik, seperti
gadis-gadis pesantren itu. Aku suka keluyuran malam, merokok, bahkan
berpacaran. Aku ingin bersanding dengannya. Tapi aku merasa tidak layak
untuknya. Aku sangat malu dan malu.
Langit seolah redup, lalu runtuh
menimpaku. Tidak sedikit orang mengatakan sesuatu yang melukai hatiku, hanya
disebabkan diri ini, bahwa aku bukan gadis baik. Meskipun begitu, aku
bertekad untuk bersemangat mengarungi samudera kehidupan ini. Aku ingin
mengubah hidup. Aku ingin kembali ke jalan yang benar.
Tapi ia selalu bilang bahwa aku
seorang gadis sholehah. Aku pun tertawa pelan. Aku hanya menganggap dirinya
tidak lebih dari sekadar bercanda. Namun setelah kudengar nada bicaranya. Ia
sangat serius mengucapkan kata-kata manis yang membuat hatinya terbang
melayang. Ia sering bilang bahwa aku “ Gadis cantik dan sholehah” di tengah
banyak orang mencemooh diriku karena kebiasan burukku. Aku pun memiliki asa.
Hati ini terbang tinggi setelah dipuji olehnya. Aku bangga dipuji olehnya
bahwa aku,” Gadis cantik dan sholehah.”
Ia seorang lelaki yang sangat
mempesona. Aku sangat tertawan olehnya. Tapi sekali lagi, aku melihat siapa
diri ini. Selain berpenyakitan, aku juga bukan gadis ahli agama seperti
kata-katanya. Dan ia sangat menginginkan gadis yang sholehah. Aku tahu diri
ini bahwa aku mantan seorang pecandu narkotika. Bahwa aku mantan pecandu
rokok. Bahwa aku mantan pecandu alkohol.
Melalui tulisan ini, aku bisa
sepuasnya menulis kata hatiku karena tidak ada satu pasang mata pun
melihatnya kecuali diriku. Sebagai seorang perempuan, aku juga memiliki rasa
malu yang tinggi. Aku sering dibuat berdebar oleh dirinya. Sungguh romantis
lelaki itu.
|
Air
mataku meleleh deras membasahi kertas itu. Tubuhku bergetar hebat. Aku sangat
tersentuh oleh tulisan itu. Napasku berdesis kencang. Aku membuka kertas kedua.
Aku mengambil napas dalam-dalam. Lalu aku membacanya penuh penghayatan,
Aku hanya ingin dia tahu bahwa aku
mencintainya. Meskipun hanya lewat tulisan ini. Aku ingin merenda anak-anak
bersamanya, hidup bersamanya dalam bahtera rumah tangga. Aku tahu bahwa aku
tidak layak. Bahwa aku harus berkaca diri. Tapi apa aku salah bila
mengungkapkan isi hatiku ini. Rasa cinta begitu dalam, menyentuh hati. Tapi
jika dia tidak mencintaiku, aku tidak bisa bersedih secara terus menerus.
Meskipun ia menolak, aku tidak mau
bersedih berkepanjangan. Aku harus memperjuangkan diri ini supaya punya hak
dalam kehidupan. Punya hak untuk menjadi istri orang, walaupun hanya satu
kali. Aku akan perjuangkan diri ini bahwa diri ini harus berstatus menjadi
istri. Meskipun banyak orang baik dan sholeh tidak menyukaiku, tapi aku yakin
masih ada orang mencintaiku, yang bertebaran di bumi ini. Mereka rela
menerimaku apa adanya. Rela menerimaku dengan kondisi seperti ini. Walaupun
kecil, aku berharap di dalam segelintir orang itu ada satu nama yang tertanam
dalam hatiku. Dan ia menemuiku, lalu mengatakan cinta padaku. Pemuda itu
selalu kurindu, seperti embun pagi menetes, menyejukkan mata dan hati. Dia
seolah purnama yang hadir di hati di saat diri ini sedang terpuruk dalam
kegelapan. Kegelapan di tengah gunjingan banyak orang. Oh, Amri, namamu
sangat indah di hati, kurindu setiap hari.
|
No comments:
Post a Comment