Warni
berharap cemas. Ia memikirkan keselamatan ayahnya di dalam perjalanan. Ia
berjalan mondar-mandir sambil menundukkan kepala. Van Len duduk di atas kursi
kayu. Ia meminum secangkir teh hangat. Ia meneguknya penuh kenikmatan. Asap
keluar dari teh itu. Van Len menghirupnya, semakin memanjakan indera
penciumannya. Van Len berdiri. Ia menatap Warni dengan pandangan lunak.
“
Aku ingin kembali ke hutan,” kata Van Len pelan.
“
Aku juga begitu.”
Van
Len berjalan pelan menuju luar rumah. Warni mengikutinya di belakang. Suara
mesin mobil terdengar keras di luar. Van Len melirik ke arah jendela yang
terbuka. Mobil Jeep berjalan pelan menuju rumah Warni. Ia tersentak. Ia melihat
pamannya berada di dalam mobil itu. Mereka tampak berpakaian tentara.
Van Len
langsung menghimbau Warni,
“
Warni, tolong kau pergi jauh dari sini ?”
“
Ada apa Len ?” tanya Warni keheranan.
“
Kau dengar suara mobil itu ?”
“
Ya, aku mendengar jelas suara itu.”
“ Tentara
musuh telah mengetahui keberadaan kita. Paman beserta beberapa tentara datang
ke sini. Mereka akan mendobrak rumah ini jika kau menguncinya. Tolong pergilah.
Mereka menginginkanku, bukan dirimu. Aku takut kau terluka.”
“
Aku tak bisa meninggalkanmu sendiri. Aku akan ikut bersamamu.”
“
Warni, mereka menginginkanku untuk kembali. Aku akan bersedia. Tapi niatku tak
akan berubah. Aku tetap membela negerimu. Aku berjanji akan kembali lagi.
Kembali berjuang bersama Pardi dan teman-teman. Kembali lagi untuk bertemu
denganmu.”
Mata
Warni berkaca-kaca. Van Len menambahkan,
“
Pergilah lewat pintu belakang rumah. Aku akan menyusul jika kondisi
memungkinkan. Mereka tak akan membunuhku. Tenang saja.”
Suara
ketukan pintu terdengar halus. Van Len terkejut. Ia berpikir “ Mengapa mereka
tidak mendobrak.”
“
Warni, cepat pergi,” himbau Van Len.
Dengan
linangan air mata, Warni berkata,
“
Aku tak bisa meninggalkanmu.”
“
Aku akan kembali, Warni. Aku pergi untuk kembali.”
Warni
berjalan pelan menjauhninya. Air matanya terus meleleh. Ketukan pintu terus
terdengar, suaranya halus. Van Len berjalan mendekati pintu. Ia membalikkan
badan sejenak. Warni menghilang di pelupuk matanya. Ia kembali membalikkan
badan. Ia membuka pintu rumah itu dengan kunci, lalu menarik daun pintu. Pintu perlahan terbuka.
Tampak
empat orang berdiri di hadapan mereka. Van Len melihat mereka dengan pandangan
tajam. Ia menatap tajam pamannya, lalu Suyitno, seorang tentara gempal, dan
pengemudi mobil. Ia sedikit terheran. Tak ada satu senjata pun menghias seragam
mereka. Mereka tak menggenggam senapan. Ia mengerutkan kening.
Pandangan
pamannya begitu lunak. Ia berjalan pelan lalu memeluk erat Van Len. Sesaat
kemudian ia lepaskan pelukan. Van Len masih memandangnya tajam. Keheningan
tercipta saat itu. Mereka membisu di tengah riuk angin yang berhembus kencang.
Kolonel
Van Heide mulai angkat bicara,
“
Len, bagaimana kabarmu ? Paman sangat mencemaskan keadaanmu.”
Van
Len masih terdiam. Ia seolah memendam kebencian hebat pada pamannya. Ia
menatapnya tajam. Kolonel Van Heide menambahkan,
“
Len, aku tahu bahwa kau telah menemukan cinta sejatimu. Aku dan tentara lain
tidak akan memaksa. Kami hanya ingin kau kembali ke markas. Lalu kami akan
pulangkan kau ke Belanda.”
Van
Len tak juga merespon. Ia tersenyum kecut.
“
Len, apa kau mencintai Mawarni ?” tanya
kolonel secara halus.
Van
Len sedikit terkejut. Darimana pamannya tahu tentang Warni, pikirnya. Ia
paksakan diri untuk berkata,
“
Dari mana paman tahu tentang Mawarni ?”
Kolonel
tersenyum lebar. Ia menepuk bahu Van Len dengan halus. Van Len menatapnya
tajam. Van Len merasa pamannya punya maksud lain di balik ucapannya. Pamannya
terus tersenyum. Senyumannya tak menunjukkan pelecehan, tapi kekaguman pada
sosok pemuda itu.
“
Len, aku tahu banyak tentang dirimu ketika kau kabur dari markas. Banyak kabar
tentang dirimu masuk markas. Bahkan perasaan cintamu pada gadis itu sudah
diketahui banyak orang termasuk para tentara Belanda. Dan salah seorang pembawa
berita itu sosok yang berdiri di sebelahku ini.”
Kolonel
menepuk bahu Suyitno pelan. Suyirno tersenyum lebar pada Van Len. Gigi-giginya
terlihat banyak keropos termakan kuman. Van Len memandangnya tajam. Ia
keheranan terhadap sosok itu. Kolonel melanjutkan,
“
Len, dia ini mantan pasukan gerilya. Dan sekarang dia bertugas menjadi
mata-mata kita. Mengawasi gerak-gerik musuh. Dia dulu juga anti Belanda, menentang keras agresi kita.Lalu kita rayu
dia secara baik-baik, ia pun luluh oleh rayuan. Dan sekarang dia cukup
bermanfaat buat merealisasikan rencana kita.”
Van
Len masih memandangnya tajam. Ia belum percaya sepenuhnya dengan ucapan
pamannya. Ia tersenyum kecut, seolah tanda penghinaan pada kolonel itu. Di
dalam dada kolonel, jantung terasa menegang. Detak jantungnya begitu kencang.
Uap panas keluar dari hidung. Kolonel terbakar dalam amarah. Tapi ia tekan kuat
amarah itu.
“
Lalu apa yang kau inginkan, Paman ?” tanya Van Len tegas.
“
Seperti yang kukatakan. Orang lusuh ini mantan seorang pejuang. Kita
merekrutnya karena ia berpihak pada kita. Kau pun dapat menawarkan tawaran ini
pada Mawarni. Bawa ia ke markas. Bujuk ia supaya berpihak pada kita. Kita akan
menghormatinya.Kita tidak akan menyakitinya.Bahkan jika kau menginginkannya
sebagai istri, kita persilakan. Itu hakmu. Seperti kami menghormati orang lusuh
ini.”
“
Aku masih belum percaya ucapan paman. Kau pasti menghasut orang itu secara
paksa, lalu dijadikan tawanan dan dipaksa menjadi mata-mata. Aku tahu karakter
paman sudah lama. Apa kau ingin memperlakukan hal itu pada Warni juga. Paman,
ingat baik-baik ucapanku.”
Van
Len mengambil napas panjang. Ia melanjutkan,
“
Warni pernah digeret tentara gempal di samping paman. Ia ingin menodai
kehormatan gadis itu. Ia geret secara paksa tangannya. Ia membawanya ke dalam
bangunan kosong. Lalu ia hendak menodai kehormatannya di sana. Aku datang tepat
waktu. Lalu itu kah yang paman sebut sebagai penghormatan. Padahal ia tidak
melawan. Coba paman pikirkan dengan matang.”
Kolonel
menundukkan kepala. Ia mengerutkan kening. Ia picingkan kedua mata. Napasnya
tersendat-sendat. Mukanya merah membara. Ia menyuruh Suyitno untuk mengambilkan
senjata di dalam mobil. Tubuh Suyitno merinding hebat. Kolonel membentaknya
keras. Suyitno segera berlari menuju mobil. Ia mengambil sebuah senapan di
dalam mobil. Ia langsung memberikannya pada kolonel.
Kolonel
memegangnya erat. Ia mengelus-eluskan senapan dengan tangan sambil meniupnya.
Van Len merasa tenang melihat senapan berada di tangan pamannya. Ia tak
terbersit sedikit pun pamannya akan menembaknya. Ia tidak mungkin tega
melakukannya, pikirnya.
Sementara
tiga orang di belakang kolonel berdiri tegang. Tubuh mereka merinding. Bulu
kuduk berdiri. Mereka menundukkan kepala. Mereka berharap kolonel tak melakukan
hal konyol pada diri mereka, menembak mati di tempat itu. Mereka terdiam,
membisu di tengah pusaran angin yang berhembus sepoi-sepoi. Rambut beterbangan
seolah ingin lepas dari kepala.
“
Len, aku percaya dengan ucapanmu. Aku sangat percaya. Kau selama ini sangat
dekat denganku, sangat dekat. Aku tahu watakmu secara pasti. Bila kau jujur,
atau bohong, aku tahu dari cara bicaramu, juga emosimu, dan raut wajahmu. Aku
tahu banyak tentang dirimu, Len. Gadis yang kau cintai diperlakukan seperti itu
oleh tentara kita. Lalu aku ke sini untuk mengajak gadis itu bergabung bersama
kita secara baik-baik. Aku merasa malu padamu. Baiklah, untuk membuang perasaan
bencimu pada tentara Belanda. Aku akan melakukan sesuatu yang membuatmu puas.”
Kolonel
mengarahkan senapan ke depan. Posisinya sejajar dengan dagu. Moncong senapan
mengarah tepat ke arah jantung Van Len. Ia memicingkan mata, bersiap melakukan
tembakan. Van Len hanya terdiam. Ia menatap pamannya tajam. Ia mematung, tak
sedikit pun berpikir untuk kabur. Ia memejamkan mata. Ia berharap pamannya tak
membunuhnya.
Kolonel
membalikkan tubuh dengan cepat, tanpa merubah posisi. Moncong senapan langsung
menunjuk jantung seorang tentara gempal. Desis peluru terdengar keras. Peluru
melesat sangat cepat, lalu menghantam jantung tentara gempal itu. Darah
langsung keluar deras. Tentara gempal itu berteriak keras, lalu jatuh
tersungkur ke tanah. Ia merintih kesakitan. Baju seragamnya basah oleh darah.
Matanya melotot, tak kuasa menahan rasa sakit. Ia ulurkan tangan pada kolonel.
“
Mengapa kau lakukan ini, kolonel,” ucapnya lirih.
Sesaat
kemudian tubuhnya tak bergerak, kaku dengan melentangkan tubuh. Kedua matanya
melotot. Napasnya berhenti. Ia mati dengan bersimbah darah pada dadanya.
Kolonel melihatnya penuh kebencian. Ia turunkan senapan. Ia mengeluarkan napas
keras. Dua orang di samping mayat itu berdiri kaku. Mereka terus menundukkan
kepala. Tubuh mereka bergetar hebat. Kolonel membalikkan badan. Ia berhadapan
dengan Van Len. Ia menatapnya tajam. Van Len pun juga begitu.
Kolonel
tersenyum kecut pada Van Len.
“
Bagaimana, Len ?” katanya lirih.
Van
Len tak menjawab. Ia masih menatapnya tajam. Kolonel sedikit keheranan pada Van
Len.
“
Mengapa kau terdiam, Len ? Apa kau ingin lebih lagi. Baiklah, akan kuturuti
kemauanmu.”
Kolonel
kembali mengangkat senapannya. Ia membalikkan badan. Lalu ia luncurkan timah
panas ke arah jantung salah seorang tentara. Peluru menghantam deras dadanya.
Darah keluar deras. Tentara itu berteriak keras lalu jatuh tersungkur ke tanah.
Suyitno merinding ketakutan. Ia ingin sekali kabur. Ia berpikiran bahwa ia
mendapat jatah giliran ketiga setelah dua tentara itu. Tapi ia tahu kabur pun
tak bisa menyelamatkan nyawanya. Kolonel dapat menembaknya dari jarak jauh. Ia
hanya bisa pasrah pada nasib.
Suyitno
merasa Kolonel Van Heide telah menggila. Apa yang dilakukannya sudah terlawat
batas, pikirnya. Sama sekali tak berperi kemanusiaan. Kolonel itu membunuh tiga
orang dalam waktu singkat dengan seenaknya, tanpa berpikir panjang. Ia membunuh
ayah Warni, seorang tentara gempal, dan tentara pengemudi mobil jeep.
Kolonel
tertawa terbahak-bahak. Gigi-giginya tampak putih bersih. Desis napasnya
terdengar cukup keras. Ia seperti kehilangan kesadaran. Van Len masih berdiri
mematung. Ia menatap pamannya tajam.
“
Bagaimana, Len. Apa kau puas. Tentara pembangkang itu sudah dimusnahkan. Dan sekarang
cari gadis itu. Ajak dia bergabung dengan kita. Aku akan menghormatinya. Jika
ada tentara melakukan macam-macam pada gadis itu, akan kubuat seperti dua tentara payah itu. Kau paham,” ucap kolonel tegas.
Van
Len masih terdiam. Ia terus berdiri mematung. Kolonel tampak terbakar emosi. Ia
sudah tak kuat lagi menahan kesabaran. Ia berteriak keras,
“
Apa perlu kubunuh orang yang satu ini ,Len. Agar kau ikut pulang bersamaku ?”
Kolonel
langsung menaikkan kembali senapan, lurus sejajar dengan dagunya. Ia
mengarahkan moncong senapan pada dada Suyitno. Tubuh Suyitno menggigil
ketakutan. Ia merasa tubuhnya kaku. Ia memejamkan mata. Ia berharap keajaiban
terjadi. Van Len langsung bereaksi,
“
Jangan !”
Kolonel
menurunkan senjata. Ia membalikkan tubuh, berhadapan dengan Van Len. Ia
memandangnya tajam. Tanpa disangka ia lemparkan senjata ke tanah, tepat di
depan Van Len.
“
Ambillah, lalu bunuh dia jika kau mau,” ucapnya tegas.
Mendengar
ucapannya, Suyitno semakin ketakutan. Ia tak tahu harus melakukan sesuatu yang
menyelamatkan nyawanya. Ia berharap banyak pada Van Len. Hati kecilnya
mengatakan tidak mungkin. Van Len mengetahui bahwa dirinya telah mengkhianati
para pasukan di hutan. Jika dalam diri Van Len terdapat sifat benci pada
dirinya, tamatlah riwayatnya. Ia berpikiran seperti itu.
“
Aku tak akan mengambilnya, Paman. Jangan ada pembunuhan lagi di sini. Aku tak
ingin kembali ke markas. Pikiranku sudah berubah, Paman. Silakan paman
kembali,” kata Van Len tegas.
“
Secepat itu kah keputusanmu, Len ?”
Van
Len terdiam. Ia masih menatap pamannya tajam. Kolonel menambahkan,
“
Len, aku sudah menawarkan pada dirimu berulang kali. Jangan ubah niatmu hanya
karena gadis itu. Aku tahu tentang dirimu. Aku yakin kau melakukan semua ini
karena kau terpikat oleh gadis itu. Len, sadarlah kau !”
“
Paman, aku sama sekali berubah pikiran tidak dikarenakan oleh gadis itu. Aku
berubah pikiran karena tekanan hebat dari hati. Hatiku terasa tercabik-cabik
menyaksikan sebuah bangsa teraniaya, yang tak punya salah terhadap penjajah. Lalu
tanah mereka direbut secara paksa. Banyak nyawa tak berdosa melayang sia-sia.
Tangis terdengar di mana-mana. Mereka jauh dari kata bahagia.”
Kolonel
semakin emosi. Ia membentak dengan keras,
“
Len, aku tawarkan sekali lagi. Ayo ikut bersamaku ke markas .”
Van
Len menggelengkan kepala. Ia berkata dengan tegas,
“
Tidak, aku tidak akan ikut dengan paman ke sana. Aku merasa tersiksa di sana.
Tak ada kebahagiaan. Tak ada rasa nyaman. Yang ada hanya kesempitan jiwa, hanya
jiwa yang menangis kesepian di tengah kobaran perang. Aku sangat menderita di
sana.”
Kolonel
tak bisa menahan amarahnya. Ia naik pitam. Mukanya memerah bagai bara api
membara. Emosinya meluap. Napasnya tersendat-sendat. Ia mengerutkan kening,
lalu memicingkan mata.
“
Kau harus diberi pelajaran anak kecil,”
kata kolonel dengan tegas.
Kolonel
berlari kencang ke arah Van Len. Ia mengarahkan tendangan ke arah dada Van Len.
Gerakannya sangat cepat. Van Len tak tergerak, menatap ke depan. Kolonel
melayang ke udara sangat tinggi. Ia turunkan tendangan tepat ke arah dada Van
Len. Sepatu kulitnya tampak keras, lalu menghantam dada Van Len. Tubuh Van Len
terpental ke udara. Ia berteriak. Lalu ia terjatuh ke tanah.
Belum
sempat bangkit, kolonel kembali menyerang. Ia memegang lengan baju Van Len
dengan kasar, lalu menyeretnya ke dalam rumah. Ia naikkan tubuh Van Len ke
atas, lalu ia pukul perutnya dengan tangan. Pukulannya keras, menghantam perut
Van Len. Kemudian ia mengulangi lagi, dan lagi. Van Len berteriak lirih menahan
rasa sakit. Darah keluar dari mulutnya.
Kolonel
menjatuhkannya di atas tanah liat datar. Van Len merasa susah untuk bangkit.
Kolonel kembali melancarkan tendangan ke arah mukanya. Tendangannya terkena
rahang kiri Van Len. Van Len kembali terpental dengan posisi berbaring. Napas
kolonel semakin tersendat-sendat. Ia masih terbuai dalam luapan emosi tinggi.
Ia
berjalan menghampiri Van Len yang sedang sekarat. Ia kembali melancarkan
tendangan. Tendangan mengarah tepat ke punggung Van Len. Kemudian Van Len
kembali terpental. Ia berusaha menahan rasa sakit. Sementara kolonel terus
menendangnya. Van Len ingin sekali membalas serangan, tapi ia tak kuasa
lakukan. Ia tak ingin menyerang pamannya. Ia masih menganggapnya bagian dari
keluarganya.
“Ayo
balas ! Kenapa kau tidak membalas seranganku !...Hei anak muda !” bentak
kolonel.
Kolonel
memegang erat kerah baju Van Len. Ia menariknya ke atas, membuat diri Van Len berdiri secara paksa. Ia
memandang tajam Van Len. Matanya melotot. Napasnya tersendat-sendat. Ia menekan
kuat gigi-giginya. Ia membentak dengan keras,
“
Dengar baik-baik anak muda, aku masih memberimu kesempatan untuk berubah. Pintu
markas terbuka untukmu, tapi aku akan membatasinya dengan waktu. Aku memberimu
waktu satu minggu, mulai dari sekarang. Satu minggu untuk berubah. Carilah
gadis yang kau cintai itu, lalu ajak dia bersamamu pergi ke markas. Atau kau
datang sendiri ke sana. Aku masih memberimu kesempatan. Kesempatan untuk
berubah. Kau telah memalukan nama tentara kita. Ayahmu pasti marah besar dan
kecewa padamu. Bahkan mungkin ia bisa memusuhimu karena perlakuanmu itu. Kau
sungguh biadab !”
“
Kalau batas waktu itu kau tak juga datang. Aku akan menganggapmu musuh. Kau
sudah tak dianggap di sana sebagai kawan, tapi kau dianggap sebagai lawan.
Pengkhianat yang harus disingkirkan. Aku juga tak sudi menganggapmu sebagai
keponakan. Jangan panggil aku dengan sebutan paman jika kita saling berhadapan
nanti. Ingat anak muda, masih ada waktu untuk berubah. Berubahlah. Jangan
sampai kesabaranku habis karena ulahmu yang membuat bingung para tentara.”
Kolonel
sedikit melunak. Ia melanjutkan dengan nada sedikit lunak,
“
Ingat anak muda, berubahlah dan berubahlah. Jangan buat bingung para tentara
dengan ulahmu. Kau telah membela pasukan gerilya dari serangan tentara kita.
Padahal kau orang Belanda. Kau membela orang Hindia karena kau mencintai salah
seorang gadis Hindia. Aku tidak melarangmu. Tapi jangan jadikan kecintaanmu
pada gadis itu menjadi buta. Kau berubah arah karena dia. Aku tahu ucapanmu
tadi pasti bohong. Aku tahu betul watakmu, karakter pribadimu. Kau tak bisa
membohongimu. Masih ada waktu untuk berubah. Berubahlah sebelum semuanya
terlambat. Sebelum orang-orang yang kau cintai berubah pikiran, dari
mencintaimu menjadi memusuhimu.”
Ia
melepaskan pegangan. Van Len terjatuh, lalu tersungkur ke tanah. Ia terbaring
dengan punggung di atas. Darah masih mencucur di pipi. Mulutnya tampak memerah,
mengeluarkan darah. Ia menatap pandangan lurus ke depan. Kolonel berjalan pelan
membelakanginya. Ia berjalan keluar dari rumah itu. Ia tak sedikit pun menoleh
ke belakang. Ia menutup pintu rumah dengan hentakan keras. Sinar matahari
tertutup oleh pintu. Van Len menundukkan pandangan. Tak lama berselang suara
mesin mobil terdengar keras. Suara itu semakin mengecil dan akhirnya
menghilang.
Di
tengah rasa sakit yang hebat, Van Len berpikir tentang nasibnya. Ia tak bisa
membayangkan seluruh sanak keluarganya membencinya. Membenci karena ia membela
kebenaran. Membela orang lemah dari penindasan. Mengubah kesedihan yang dialami
oleh bangsa Hindia menjadi keceriaan. Ia tak tega mendengar tangis terus
menerus dari generasi muda bangsa Hindia, dari para istri yang ditinggal gugur
suami di medan pertempuran. Ia hanya ingin semua orang hidup damai tanpa
penindasan. Tanpa kediktatoran pihak tertentu. Ia ingin mewujudkannya di bumi
Hindia.
Van
Len tak merubah jalan pikirannya. Ia tetap berjuang bersama rakyat Hindia untuk
melawan penjajahan atas bumi mereka. Ia sudah berpikir matang. Bahkan ia rela
mati demi kebahagiaan di atas muka bumi Hindia. Ia tak takut mati. Ia mencoba
untuk berdiri, tapi ia tak mampu melakukannya saat itu.
Van
Len merasakan kerinduan dalam pada pasukan gerilya di hutan-hutan. Ia rindu
bercengkerama dengan mereka. Ia rindu latihan bersama mereka. Saling lelah,
saling berbagi, saling canda tawa, saling berjuang dengan membawa satu misi,
saling menyatukan ikatan di tengah perbedaan ras. Ia tersenyum di tengah rasa
nyeri hebat di kepala, perut, punggung, dan kaki.
“
Len...Len.....Len.”
Van
Len mendengar suara suara seorang perempuan memanggil namanya. Mata Van Len
semakin menyipit. Pandangan di depan sedikit demi sedikit buyar. Ia merasa
mendengar suara Warni. Tapi ia hapus perasaan itu. Rasa sakit yang hebat
dialami menimbulkan halusinasi tinggi. Rasa nyeri di kepala semakin memuncak.
Kepala Van Len serasa ingin pecah. Van Len mencoba untuk berteriak
sekeras-kerasnya.
Tapi
suara itu semakin membesar. Van Len mencoba membalikkan pandangan. Pandangannya
semakin buyar. Ia melihat secara tidak jelas
seorang gadis berjalan menghampirinya. Ia berjalan cepat. Ia tersenyum
sebisa mungkin. Ia ulurkan tangan padanya. Rasa nyeri di kepala semakin
memuncak. Pandangannya mulai mengecil, lalu tiba-tiba menghilang. Semua menjadi
gelap di matanya.
Penulis : Nalis
No comments:
Post a Comment