Untuk menghindari tipu daya dunia,
maka dibuatlah aturan yang mengikat. Aturan itu menjadi sebuah dogma yang harus
dituruti, karena dampaknya bukan dari sisi si pelaku, tapi banyak orang.
Tidak ada aturan langit yang
melemahkan. Jika memang Anda menemukan, maka pikiran Anda lah yang melenceng.
Tidak sedikit orang mengaku menemukan kelemahan kelemahan dari aturan langit.
Tapi pada dasarnya, pikiran merekalah yang dipengaruhi oleh lembaran lembaran
hitam yang mengatasnamakan ilmu, mengatasnamakan pendidikan. Maka mengikuti
aturan langit itu mutlak dan mutlak harus dipenuhi.
Aturan apa pun yang melemahkan
sejatinya tidak harus diikuti. Bahkan harus dihindari. Karena aturan itu bisa
jadi membuat melenceng dari jati diri kita sebenarnya, bahkan mengakibatkan
diri keluar dari keyakinan yang hakiki. Sebaliknya aturan apa pun yang
menguatkan, maka kita tidak boleh protes dan menghakimi karena kita benci
aturan atau pun pembuat aturan.
Sejak dini, anak didik kita dibuat
aturan sedemikian rupa supaya mereka rapi, mereka menjadi pribadi indah penuh
dengan sopan santun. Ke sekolah, sang anak membawa seragam rapi, kaos kaki dan
sepatu. Hal itu mengajarkan betapa vital beralas kaki demi menjaga keindahan kaki
yang Tuhan menyuruh menjaganya. Seragam supaya disiplin dan masih banyak hikmah
lain mengikuti aturan yang berlaku.
Tapi saudara, zaman berubah menuju kea
rah yang tiada menentu. Bahkan yang sejatinya lumrah dianggap ndeso. Sejatinya
tidak gaul dianggap gaul. Hal itu menimbulkan tertukarnya kebenaran atas apa
yang terjadi. Pemerkosaan kebenaran pun terjadi. Semua diubah dari negative itu
buruk menjadi negative itu keharusan.
Maka ketika kita mengikuti aturan
aturan itu, kelemahan terjadi. Akibatnya diri kita menjadi benar benar matang
berpikir ketika menginjak 50 an. Karena di usia muda masih pikir alay, narsis,
dan Bahasa lain yang melemahkan. Padahal Alexander dari Macedonia menaklukan
dunia umur kurang dari 25 tahun. Pemuda yang berjalan ke masjid dianggap sok
suci. Karena pikiran mereka tertuju masjid itu selalu dihuni orang tua mau
meninggal, kalau pun pemuda, mereka harus dari lingkungan pesantren. Yang muda
kalau gak pacaran dianggap tidak gaul. Terus yang menjaga kesucian diri di masa
mudanya dianggap ketinggalan jaman, kurang pergaulan.
Saya pribadi selalu berpikir ketika
aturan itu melemahkan, tidak membuat bahagia, dan tidak mengatasnamakan
kebaikan yang hakiki, maka saya hindari dan tidak menghiraukan.
Ketika saya hobi sesuatu dan itu
dianggap hina padahal hakikinya itu lumrah, saya cuek saja. Tidak peduli
omongan karena saya tahu itu omongan melemahkan. Contoh, saya merasa tidak
betah berlama lama di dalam mobil. Maka ketika jaraknya tidak terlalu jauh,
maka pasti saya memilih jalan kaki. Untuk itu, terlihat aneh di mata orang. Hal
itu menimbulkan perhatian serius sehingga berbuah hinaan. Tapi saya tidak
peduli. Karena kebebasan milik saya. Dalam diri, tidak boleh aturan yang
melemahkan mengekang hidup karena itu jelas melemahkan.
Demi menghindari mobil, saya pernah
jalan kaki Kebayoran Lama – Ciputat beberapa kali. Jalan kaki Kebayoran Lama –
Senin. Kebayoran Lama – Monas. Monas – Senen beberapa kali. Dan Beji – Terminal
Depok. Kebayoran Lama – Pondok Indah, dan masih banyak lagi.
Satu alasan, saya tidak mengenal
mereka, dan mereka tidak mengenal saya. Jadi beres. Kalau misalnya di kampung
halaman, saya tidak mungkin lakukan. Karena di belakang saya, banyak orang
dikhawatirkan terkena dampak dari omongan omongan yang melemahkan.
Semua punya hak bebas. Semua punya
hak bahagia. Hanya aturan yang membahagiakan Anda saja wajib Anda ikuti.
Jikalau tidak menguatkan, sebaiknya hindari.
No comments:
Post a Comment