Alkisah pada zaman dahulu, Abu Nawas
sangat ketakutan di utus untuk berperang. Dan pada waktu itu, perang tetangga
pun terjadi, antara negeri Abu Nawas dan sebelahnya. Sang raja ingin mengutus
salah seorang dari rakyat untuk berunding ke musuh sebagai perwakilan, dan juga
akan bertemu dengan perwakilan dari kubu lawan. Situasi puncak memanas saat
itu, sehingga hamper dipastikan pertemuan itu berakhir pertikaian. Semua orang
di situ merinding.
Raja mengundi dan Abu Nawas menjadi
utusan raja. Sesaat berselang, Abu Nawas pasrah akan nasibnya dan membayangkan
dia akan bertemu utusan lawan dengan badan kekar, beringas, dan siap memenggal
kepalanya.
Dengan kuda lemah lunglai, dia
tunggangi. Dia berpamitan dengan saudaranya bahkan dia mengira itulah waktu
terakhir kali dia melihat sebelum dibunuh. Para saudaranya pun menangis dan
mengharap keajaiban datang.
Oase demi oase dilewati. Di
kejauhan, dia melihat kuda lari beringas membawa seorang lelaki gagah dan
perkasa. Di tangannya ada sebilah pedang yang siap memenggal kepala Abu Nawas.
Abu Nawas pun merinding. Karena itulah utusan dari kubu lawan. Apalagi konflik
memuncak. Dia pasrah dan pasrah.
Lelaki itu siap menghantam tubuh Abu
Nawas. Tapi Abu Nawas cepat mengendalikan emosi lelaki itu. Dan lelaki itu diam
sejenak.
“ Tenang, Kawan… Tenang,” kata Abu
Nawas.
“ Kau utusan dari negeri sana ?”
“ Ya benar.”
“ Oh jadi, mari selesaikan disini !”
Abu Nawas turun dari kuda dan
menenangkan lelaki itu.
“ Tunggu, Kawan. Beri waktu sedikit
saja aku untuk berkata, nanti kau boleh lakukan apa saja sesukamu.”
“ Baiklah .. “
Lelaki itu masih berputar putar
mengelilingi Abu Nawas dengan menunggang kuda.
Abu Nawas pun berkata,
“ Kau tahu untuk apa sih kita
berperang ? Untuk tujuan apa ? Antara kau dan aku ?”
Lelaki itu menjawab,
“ Untuk menjaga martabat negeriku.
Begitu juga menjaga martabat negerimu.”
“ Lalu kenapa kita harus saling
berhadapan ? Apa kau mengenalku sebelumnya ? Apa aku pernah melukai dirimu,
saudaramu, bahkan negerimu ?”
“ Tidak .. “
“ Lalu untuk apa kita capek capek
bermusuhan dengan kerugian amat banyak setelahnya. Sedang kita baru bertemu,
dan alangkah indah aku menjadi sahabatmu. Aku bisa ke rumahmu menemui
keluargamu dan kamu bisa ke rumahku menemui keluargaku. Mereka butuh senyuman
dari kita, mereka butuh perhatian dari kita. Itulah sebesar besar keuntungan disbanding
hal tidak berguna ini.”
Lelaki itu merenung sejenak,
“ Benar juga ucapanmu.”
“ Apa kau lapar ?”
“ Ya.”
“ Kebetulan aku sudah menyiapkan
banyak hidangan lezat untukmu. Kamu akan merasakan kelezatan makanan buatan
negeriku. Sebentar ya.”
Abu Nawas mengambil makanan di dalam
bungkusan di atas kudanya. Dia memberikan makanan itu untuk lelaki itu.
“ Ayo, turunlah, Kawan. Ada banyak
makanan di sini. Hal ini jauh lebih indah. Apalagi kau habis perjalanan jauh,
begitu juga diriku.”
Lelaki itu turun dan makan bersama
Abu Nawas penuh kenikmatan. Mereka berdua seolah dua orang yang sudah sangat
lama saling mengenal.
Sehabis selesai, mereka saling
bersalaman dan berpelukan dan berjanji untuk saling berkunjung. Dan akhirnya,
mereka berdua pulang ke negeri masing masing tanpa rasa dengki sedikit pun.
Nalis
No comments:
Post a Comment