Di sisi kali ini, saya membahas
perasaan saja atau secara psikis. Bukan seperti secara fisik, seperti menang
menangan menangkat beban berat, menang menangan kekayaan, atau menang menangan
pamer jabatan. Hal yang dibahas mencakup keseluruhan strata yang terucap di
atas. Bahkan sekali pun orang biasa tanpa diketahui keeksisan dirinya di mata
orang.
1.
Sulit
Mengakui Kekurangan Dirinya
Tidak mengakui
kekurangan diri adalah bagian dari kemalangan diri. Seorang pasti mempunyai
kelebihan dan kekurangan. Tapi dengan pengecualian, jika kekurangan itu memang
bisa diubah, maka mengakui kekurangan adalah mutlak.
Pemimpin sejati
wajib memiliki sikap seperti ini. Apa yang memang dikeluhkan oleh orang. Apa
yang memang menjadi kekurangan dirinya.
Sudah menjadi tabiat, dia harus menerima sebagai cambuk dirinya untuk
lebih baik ke depan.
Lantas apa
kekurangan Anda saat ini ?
Anda saat ini
gemuk ? Maka Anda harus mengakui bahwa Anda gemuk. Mencari alasan alasan
menjadi bentuk kemunafikan diri, karena memang nyatanya Anda gemuk.
“ Ah, aku tidak
gemuk kok. Cuma tambah sedikit saja berat badan. Tetap seksi kok.”
“ Ya kita maklumi,
semua orang memasuki usia demi usia akan mengalami fase fase kegemukan.”
Ya, dia mencari
pembenaran diri. Dia mempublikasikan kepada semua orang supaya dirinya dapat
dibela dari kenyataan nyata. Dia menyalahkan perjalanan usia. Dia membuat
kalimat pendamaian diri di antara jiwanya dan jiwa orang lain dengan kata,” Cuma
tambah sedikit.”
Satu hal
menjadi alasan di balik semua pembenaran itu, dia tidak ingin kekurangan itu
dirasakan oleh banyak orang. Padahal semua orang yang melihatnya tidaklah gila.
Tidaklah sangat sangat bodoh. Mereka pun mengakui bahwa dia itu gemuk.
Pengakuan diri
adalah kunci pertama untuk membuka solusi solusi. Dengan mengakui dia gemuk,
dia bisa mengatur olahraga, pola makan, dan menjaga konsumsi serta memperbanyak
puasa.
“ Oh ya, aku
gemuk. Cewek kurang suka cowok berlebih lemak. Aku kaya kok. Tapi istri juga
butuh keistimewaan dari sisi fisik. Maka mau tidak mau, aku harus memanjakan
istriku nanti dengan fisik membanggakan.”
2.
Sulit
Keluar Dari Zona Gengsi
Sebelum
pemilihan legislatif, banyak caleg berdatangan ke kampung kampung untuk bertemu
langsung masyarakat terutama dari kaum kurang beruntung. Bukan hanya itu,
mereka juga menceburkan diri ke got got. Bahkan ikut makan dengan lauk
sederhana diiringi kesederhanaan.
Tapi setelah
mereka menjadi, hanya sedikit yang masih seperti itu, bahkan sekadar
mengunjungi saja pun ogah, apalagi ikut larut seperti sebelum pemilihan. Hal
itu disebabkan sebelumnya, bayangan mereka adalah menang menang. Untuk itu
gengsi pun menjauh. Karena kalau gengsi, habis sudah harapannya. Terbuang
ratusan bahkan milyaran uang keluaran modal untuk nyalon, belum lagi modal
waktu dan mondar mandir yang sangat melelahkan.
Tapi yang jadi
pertanyaan, apa ruginya mereka mengunjungi seperti apa yang dilakukan sebelum
pemilihan ?
Gengsi mereka
sudah naik. Pada waktu sebelum, dia belum menjadi apa pun. Nah setelah menjadi
pemimpin, dia merasa ogah karena dengan menemui mereka hanya semakin menurunkan
image sebagai pemimpin.
Padahal Umar
seorang pemimpin yang penuh wibawa selalu berempati dengan terjun langsung
mengunjungi rakyatnya. Suatu hari, dia melihat seorang ibu dan anak yang
kelaparan. Di tengah kegelapan malam, dia memanggul satu karung gandum seorang
diri. Keringat pun bercucuran tiada henti. Padahal dia adalah seorang pemimpin.
3.
Sulit
Melupakan Kemalangan Masa Lalu
Setiap jiwa
memang diciptakan menampung segala macam perasaan, baik itu bahagia maupun
kesedihan. Terkadang penderitaan, amarah, emosi berlebihan sering hadir
menganggu diri sekarang ini hanya disebabkan sulit melupakan penderitaan atau
kemalangan masa lalu.
Dulu mungkin
pernah mengalami penderitaan, diremehkan, atau bahkan mungkin mengalami luka
fisik. Semua membekas trauma mendalam yang membuahkan kesedihan nyata.
Meskipun sulit,
ingatlah masa itu tidak mungkin kembali. Tidak bisa diubah. Tapi masa depan
bisa diubah. Maka hendaknya alangkah indah kita mengubah yang bisa kita ubah.
Karena kemalangan masa lalu merupakan bagian dari takdir yang bisa menjadi
keburuntungan diri di kemudian hari.
Bukankah Tuhan
berkata, setelah kesulitan ada kemudahan.
4.
Sulit
Untuk Amanah Sepenuhnya
Suatu hari, ada
dua orang saling berjanji dan mereka berdua baru saling bertemu. Karena mereka
berdua beda profesi, yang satu pengusaha dan yang satu karyawan. Nah yang
karyawan ini sangat membutuhkan bantuan pada si pengusaha itu. Mereka berdua
berjanjian untuk menandatangi surat surat sebagai kontrak resmi.
Singkat cerita,
tempat yang mereka janjikan adalah sebuah tempat di ketinggian di sebuah villa.
Hari itu karyawan itu melajukan motor dengan susah payah, naik ke atas. Belum
lagi, hujan turun sangat deras. Dia sangat kedinginan karena tidak membawa
pelindung hujan. Belum lagi dia lagi kebasahan. Sesekali dia terjatuh karena
jalannya sangat licin disebabkan hujan. Belum lagi, petir menyambar nyambar
sangat mengerikan. Dia sangat kelaparan dan merasa capek sangat dahsyat.
Dengan sesudah
dia sampai, villa itu sepi. Semua tertutup dan gelap. Sedang cuaca semakin
mencekam dan dia seorang diri, belum lagi bensinnya hamper habis.
Dia tersenyum
sedikit. Meskipun dia susah payah datang, tapi toh sampai juga. Tapi dia heran
mengapa villa itu sepi. Dia menunggu sangat lama di situ sehingga dia merasakan
badannya meriang seiring dihantam hujan yang sangat deras.
Dia mencoba
menelpon si pengusaha itu, dan pengusaha itu bilang dengan sangat ringan,
“ Besok ya. Aku
sekarang lagi ke Singapura. Maaf soalnya pemberitahuan baru setengah jam tadi.
Aku ada rapat di sana.”
Bisakah Anda
bayangkan perasaan si karyawan di atas ?
5.
Sulit
Membayar Hutang
Anda jangan
salah paham dulu. Yang saya maksud bukan si penghutang bukan belum sanggup
membayar hutang sedangkan dia sudah berusaha sekuat tenaga. Maksud bukan
seperti itu. Saya tidak pernah meremehkan usaha orang sekecil apa pun itu.
Teman saya dulu
waktu Aliyah dulu bilang,” Membayar hutang lebih sulit dari memasukkan unta ke
lubang jarum.
Kita sangat
digoda untuk mengkhianati orang yang menghutangi kita biasanya disebabkan sosok
si piutang itu. Apalagi misalnya dia pergi jauh dan tidak lagi bertemu kita.
Sedang kita masih mampu melunasinya. Lembaran demi lembaran di tangan mungkin
lebih kita sukai.
“ Bego banget
gue bayar. Kan dia sudah pergi jauh. Apalagi orangnya kalem, bisa dibully
dengan seenaknya. Uang ini bisa kugunakan untuk apa saja. Sedang jika bayar
utang, waduh pergi ngilang. Jadi eman eman.”
Beda lagi
dengan Bank. Semakin menunda Anda bayar cicilan, maka semakin tinggi nilai
bunga, yang mana semakin mencekik Anda. Tidak mungkin ada orang yang santai
santai dengan hutang Bank.
Untuk itu,
salah satu solusi sekali lagi adalah ingat akhirat. Bahwa hutang itu bisa
menjadi penghalang kita dibukakan pintu surga. Dengan begitu, perasaan kita
untuk semakin memuncak dan akan sangat jauh lebih takut di banding sekadar
utang Bank. Yakin pasti Yakin lebih takut.
Nalis
No comments:
Post a Comment