Malam
tiba, acara pun selesai. Wina menutup kamarnya rapat-rapat. Sementara suaminya
masih berada di ruang tamu. Ia sedang berbincang dengan papa dan mamanya. Wina
membuka jendelanya. Ia melihat rembulan penuh pesona. Wajah kekasihnya memancar
deras di badan rembulan. Kekasihnya sedang tersenyum manis padanya.
Wina
berteriak dengan keras,
“
Kasihku, kirimkan aku kata-kata manismu. Kasihku, jangan tinggalkan aku. Aku
ingin diterkam di kandang singa ini, Kasih. Kasih, aku sangat tak rela diriku
menjadi milik orang. Aku ingin menjadi milikmu. Kirimkan aku kata-kata indah,
seindah mutiara yang berterbangan di langit itu. Lihatlah mutiara-mutiara di
langit itu, Kasih. Berkelipan nan indah berseri-seri, seperti cinta kita. Cinta
kita tak akan pernah mati, walau jasad kita terpisah dari nyawa. Ketika nyawa
kita beterbangan di langit, aku ingin bersamamu, menembus awan-awan putih yang
menawan di hati. Aku tak ingin di sini. Aku tak ingin tersiksa di sini. Aku
ingin berada di langit bersamamu, bercinta sambil meneguk anggur dari cawan
cinta kita, Kasih. Kirimkan aku kata-kata manismu, Kasih. Mengapa kamu tak
menjawab. Mengapa kamu hanya tersenyum di atas sana, sedangkan aku menanti
kehadiranmu di sini.”
Wina
mengambil napas dalam-dalam. Angin berhembus kencang, membelai tubuh indahnya.
Ia berteriak keras,
“
Kasih, apa kamu di sana sudah punya kekasih lain selain diriku. Apa
bidadari-bidadari di sana menghampirimu. Lalu mereka menawarkan diri padamu. Apa
mereka terlena oleh kata-katamu yang manis, atau pada wajahmu yang menawan
hati, atau mungkin sikapmu yang membuat orang terpana. Apa kamu memilih kekasih
lain selain diriku di sana, Kasih. Mengapa kamu terus terdiam. Lalu mengapa
kamu terus tersenyum, seolah terkagum melihat sosok gadis yang menderita ini. Kasih,
kita pernah mengukir janji. Dan janji itu sangat manis. Tidak akan pernah buyar
walaupun pikiran kita membuyar. Kita pernah berjanji untuk selalu menjaga cinta
kita walaupun badai menghadang.”
Wina
menunduk. Lalu ia mengambil napas dalam-dalam. Ia melentangkan kedua tangannya.
Lalu ia kembali menjambak rambutnya, lalu mengobrak-abrik rambutnya. Ia pun
mencakar-cakar wajahnya. Ia berteriak keras,
“
Akan kupaksakan diri untuk keluar tempat ini ! Kasih, aku tak ingin tersiksa
lagi oleh tekanan batin ! Aku punya hak untuk bahagia ! Walaupun hanya secuil,
aku yakin ada harapan ! Maka ajaklah diriku terbang di langit ! Lalu
bersama-sama kita singgah di sana ! Aku merasa bumi sudah tidak berpihak pada kita !
Buktinya, banyak orang memusuhi cinta kita ! Bukankah mereka juga pernah jatuh
cinta ! Lantas mengapa mereka memusuhi cinta kita ! Aku ingin terbang ! Aku
ingin terbang bersamamu melintasi
awan-awan itu ! Baiklah, Kasih. Aku tahu kamu ingin aku terbang tinggi ke sana.
Karena dirimu takut pada orang-orang yang memusuhi cinta kita. Baik, aku akan
menuruti maksudmu. Aku akan terbang ke sana, lalu
menghampirimu...ha...ha...ha...”
Wina
membalikkan badan, lalu berlari kencang sambil melentangkan kedua tangan. Ia
meloncat-loncat tinggi. Ia naik ke atas ranjang, lalu mengobrak-abrik selimut
dan bantal, lalu melemparnya ke lantai.
Ia
berteriak keras,
“
Mengapa ! Mengapa aku belum bisa terbang ! Padahal aku tahu di sana kamu
membantuku, Kasih !”
Ia
meloncat tinggi ke lantai. Lalu ia melompat tinggi sambil melentangkan kedua
tangan. Ia merasa benda-benda di sekitarnya menghalanginya. Ia langsung
membuang dan membanding benda-benda di sekitarnya. Ia membanting sebuah guci.
Ia juga membanting bingkai foto. Suara pecah benda-benda itu terdengar keras.
Ia melepas sepatunya, lalu melemparkan ke arah jendela kaca. Kaca pun jatuh
berkeping-keping. Ia menganggap jendela kaca itu menganggu dirinya dalam
melihat wajah kekasihnya.
Ia
berteriak keras,
“
Kalian semua benar-benar sialan ! Kalian mencoba menghalangi cintaku seperti orang-orang
itu ! Cepat pergi dari sini ! Atau kurusak kalian semua tanpa ampun !”
Di
bawah kamarnya, seorang pemuda gagah mengerutkan kening. Papa dan maam Wina
mencoba menenangkan pemuda itu.Pemuda itu bertanya penuh terheran,
“
Ada apa dengan Wina, Ma Pa ? Dia menjerit sendiri. Lalu banyak suara pecah di
sana. Ada apa sebenarnya ?”
Papa
Wina mencoba menenangkan diri. Ia pun berkata dengan pelan,
“
Tenang, Nak Edu. Wina memang biasa seperti itu. Terkadang kalau dirinya tidak
suka dengan suatu barang, ia akan membantingnya ke lantai. Wina cukup manja.
Maklum saja, Nak, Wina kan anak orang kaya raya. Dia tidak pernah hidup
menderita. Semuanya terpenuhi. Dari kecil, ia tidak pernah mengalami kesulitan
dalam hidup. Ketika dia merasa tidak cocok dengan suatu barang, ia akan
membuangnya jauh-jauh dari hadapannya.”
Pemuda
itu tampak tenang. Ia tersenyum lebar. Lalu ia segera berdiri. Ia berkata
dengan penuh senyuman,
“ Pa
Ma, sudah saatnya saya harus menuju ke atas, menemui isteri saya. Dia tentu
sudah menanti kedatangan saya di sana. Saya mohon diri dulu dari Anda berdua.”
Papa
dan mama Wina tersenyum lebar.
“ Kesanalah,
Anakku. Dia sudah menanti. Kamu harus membahagiakan dirinya. Dia menjadi anak
semata wayang papa dan mamamu ini. Jangan sampai kamu menyakiti hatinya,” ucap
papa Wina dengan lembut.
Edu
tersenyum lebar.
“
Baik, Pa Ma,” jawabnya dengan tegas.
Edu
berjalan pelan meninggalkan ruangan itu. Ia menutup pintu kamar rapat-rapat.
Detak jantungnya semakin cepat. Ia berjalan perlahan menuju lantai dua. Dan
sebuah pintu kayu berwarna coklat matang tampak di pelupuk mata. Edu semakin
tidak sabar untuk segera menemui isterinya. Napasnya berdesis kencang. Dadanya
berdebar kencang. Tubuhnya menegang hebat. Tapi senyum lebar terpancar indah,
sangat indah. Hari bahagianya akan datang.
Ia
mengetuk pintu kamar isterinya secara perlahan. Tapi tidak terdengar jawaban di
dalam kamar. Ia mencoba mengetuk pintu sekali lagi. Tapi isterinya masih tidak
membuka pintu. Ia mencoba lagi. Tapi hasilnya nihil. Ia mengambil napas dalam-dalam.
Ia mengira isterinya sudah terlelap dalam mimpi.
Di
dalam kamar itu, seorang gadis bermata bening sedang sibuk menghiasi wajahnya
dengan cat putih dan merah. Tidak lupa ia melapisi tubuhnya dengan cat hijau.
Ia mengira akan bisa terbang tinggi jika membuat dirinya seperti burung dengan
badan berwarna-warni.
Ia
tertawa lirih sambil melihat wajahnya di cermin. Ia pun berkata sendiri pada
dirinya,
“
Nah, ini baru seperti burung. Dengan begini, aku bisa terbang ke langit, lalu
menemui kekasihku. Bukankah aku sekarang seperti burung. Memang benar sekali.
Aku di penjara dalam sangkar mematikan, yang sempit, dan seolah membuatku gila.
Apalagi berhadapan dengan singa-singa ganas seperti mereka. Aku akan dimakan
oleh mereka jika aku mendekatinya. Maka dari itu, aku harus terbang tinggi ke
langit, mumpung jendelanya terbuka lebar.”
Wina
mendengar bunyi ketukan pintu di luar. Ia tersenyum lebar. Ia berteriak keras,
“
Kasihku, kamu turun dari langit ! Lalu kamu sengaja untuk menemuiku ! Aku
sangat mencintaimu !”
Wina
membuka pintu secara perlahan. Tampak di pelupuk matanya seorang pemuda asing
di matanya. Sedangkan pemuda itu tersentak kaget. Jantungnya berdetak kencang,
seolah hampir lepas. Kedua matanya melotot tajam. Ia melihat seorang gadis
berambut acak-acakan, lalu wajahnya penuh dengan cat dinding, begitu pula
sekujur tubuhnya. Ia hanya memakai kain putih, menutupi tubuhnya.
Pemuda
itu berteriak keras, terkaget dengan sosok gadis di depannya. Rasa kaget
terlalu kental menyelimuti dirinya. Ia berteriak keras sekali, lalu jatuh
tersungkur ke lantai. Wina pun terheran.
“
Ada apa dengan orang ini, aneh sekali,” katanya lirih.
Mendengar
teriakan hebat di atas, papa dan mama Wina segera berdiri, lalu berlari menuju
lantai dua. Ia tersentak melihat pemuda itu terbaring di atas lantai. Mereka
pun segera menghampirinya.
“
Nak Edu, bangun, apa yang terjadi,” teriak papa Wina sambil menggoyang-goyang
tubuh Edu.
Desis
napas Edu masih terasa, begitu pula detak jantungnya. Sesaat berselang, mereka
langsung menuju kamar anak gadisnya. Mereka membuka lebar. Dan seluruh isi
kamar tampak berantakan. Pecahan-pecahan kaca bertebaran. Lantai pun terhiasi
warna cat. Lemari pun bergeser dari posisinya.
Selimut dan bantal bertebaran di lantai. Mereka mengambil napas panjang.
Mereka berusaha mencari anak gadisnya. Tapi mereka tidak menemukannya.
“
Wina ! Dimana kamu !” teriak papa Wina.
Dari
balik ranjang, terdengar bunyi seorang perempuan menangis. Papa Wina
mengerutkan kening. Ia langsung menjongkokkan diri, lalu melihat di bawah
ranjang itu. Ia melihat anak gadisnya menangis tersedu-sedu. Papanya mencoba
menenangkan diri.
Ia
berkata dengan pelan,
“
Keluarlah, Win. Keluarlah dari situ.”
Gadis
itu masih menangis tersedu-sedu.
“
Tidak ! Kalian membuatku sengsara ! Jangan ganggu diriku ! Aku ingin terbang
tinggi menghampiri kekasihku ! Kalian selalu menghalangi cintaku ! Cinta yang
tertanam dari hati ! Apa aku pernah membuat salah pada kalian ! Sehingga kalian
mencampakkan cintaku !”
Emosi
papanya semakin meluap. Darahnya naik drastis ke atas. Wajahnya pun memerah.
Desis napasnya semakin kencang. Ia meraih ranjang itu, lalu mengangkatnya, lalu
menggesernya dari posisi semula. Dengan susah payah, ia melakukan hal itu. Anak
gadisnya tampak terbaring dengan kondisi punggung di atas. Tangis masih
terdengar lirih.
Hermawan
meraih tubuh anak gadisnya. Ia memegang erat tubuh anak gadisnya. Ia
mengerutkan kening. Kedua matanya memicing tajam. Emosinya meluap tinggi. Ia
berteriak keras,
“
Kamu pikir dua orang di depanmu ini siapa ! Kamu benar-benar tidak tahu diri !
Kamu benar-benar membuat malu papa dan mamamu. Apa hanya karena cintamu yang
begitu buta, kamu jadi seperti ini. Kamu sungguh membuat kecewa papa dan mamamu
ini.”
Ia
melepas pegangan anak gadisnya. Dan anak gadisnya terjatuh di atas lantai. Ia
menangis keras, seolah seperti anak kecil yang terjatuh dari ranjang. Papa dan
mamanya menangis keras. Kesesakan hati pun terasa kental. Mereka menyentuh dada
perlahan.
Vivi
berkata sambil berlinang air mata,
“
Pa, mengapa nasib kita begitu tragis. Mengapa cobaan besar menimpa kita, terasa
sangat memberatkan hati. Apa salah kita, Pa, sehingga cobaan berat sekali
menimpa kita. Apa kita harus menyerahkan anak gadis kita pada anak muda
gelandangan itu. Sedangkan anak kita sudah menjadi milik orang. Akad nikah
sudah resmi berjalan. Dan kita akan menanggung malu pada keluarga besar menantu
kita, Pa. Tapi anak gadis kita sudah cinta mati pada gelandangan itu. Bahkan
mengakar kuat, sehingga pikirannya pun menghilang ketika gelandangan itu
menghilang darinya. Apa yang harus kita lakukan, Pa ?”
Suaminya
memandang isterinya. Ia menekan kuat kedua bahu isterinya. Desis napasnya
menghantam keras di wajah isterinya. Ia berkata penuh senyuman,
“
Ma, tidak mungkin kita membiarkan anak gadis kita kembali pada seorang pujangga
gelandangan itu. Anak gadis kita sudah menjadi milik orang, Ma. Dan orang itu
sangat baik juga sesuai dengan kehendak kita. Ma, kita tidak akan mengecewakan
semuanya. Keputusan kita adalah yang terbaik. Dan kita akan mempertahankan
keputusan kita itu.”
Gadis
itu berdiri, lalu membalikkan badan. Ia menatap tajam kedua orang tuanya.
Napasnya tersendat-sendat. Vivi melihat kondisi anak gadisnya penuh linangan
air mata, begitu pula suaminya. Gadis itu memicingkan kedua mata. Ia berkata
dengan luapan emosi,
“
Jangan halangi aku untuk menemukan cinta ! Jangan buat diriku lebih menderita
lagi ! Jika orang-orang membenci cintaku padanya, aku akan tetap teguh
mencintainya. Cintaku padaku padanya bukan cinta buruk. Aku dan dia bukan orang
buruk. Dan orang-orang menghalangi cintaku padanya sebenarnya orang-orang
buruk. Sudah jelas, banyak orang menolak. Bahkan seandainya bumi menolak, aku
akan tetap mencintainya, mencintainya sambil terbang tinggi membawanya. Lalu
aku menjumpainya di sana, di langit bersama cawan-cawan cinta yang pernah
terukir manis.”
Gadis
itu terdiam sejenak. Napasnya seolah sesak oleh luapan emosi tinggi. Ia
mengepalkan kedua tangan. Ia pun berkata,
“
Aku akan bersamanya, lalu bercinta dalam ikatan cinta yang tak tersentuh oleh
tangan lain. Kekasihku akan mengajakku ke sebuah tempat indah, tempat penuh
rerumputan hijau yang menawan di hati. Di sana tiada kebencian, tiada dendam,
tiada kebisingan seperti di sini. Sebuah hamparan rerumputan hijau di sekelilingi
oleh bunga-bunga indah dan mewangi. Aroma wanginya menyebar ke segala penjuru,
lalu menambah suasana menjadi lebih romantis. Tidak akan ada orang yang
menghalangi cinta kami di sana. Apalagi hanya segelintir orang-orang yang
mencoba memisahkan cinta kami. Aku akan bahagia bersamanya di sana. Aku tak
akan membiarkan diriku menderita di sini. Dia sudah menanti di sana, penuh
dengan senyuman manis yang menggetarkan hati. Benar sekali, senyumannya
menggetarkan hatiku. Aku pun tak bisa berpaling padanya. Diriku sudah tertawan
olehnya, tertawan oleh kata-kata manisnya yang menyejukkan hati. Tapi aku
diharuskan untuk terbang ke sana. Maka dari itu, aku berusaha untuk berlatih
agar bisa terbang, untuk menjumpai kekasihku.”
Papa
dan mamanya hanya menunduk. Mereka merasa gadis itu benar-benar terlena oleh
pujangga itu. Gadis itu pun melanjutkan,
“
Mengapa kekasihku tidak datang ke sini, lalu menjemputku ke sini. Karena dia
takut pada papa dan mama. Ia tidak berani ke sini bukan tidak mau menjemputku.
Hanya karena kalian berdua, ia menjauh dariku. Hatiku terasa pilu dan gelisah.
Lihatlah rembulan itu. Ia hadir di sana, di tengah-tengah badan sang rembulan
yang benderang itu. Wajahnya bersinar terang, manis berseri-seri, seperti sang
rembulan itu. Kalau kalian tidak percayalah pada ucapanku, lihatlah sang
rembulan di luar jendela itu. Lihatlah dengan hati.”
Papanya
mengarahkan pandangan pada mamanya. Ia menundukkan pandangan. Ia berkata dengan
pelan,
“
Ma, sepertinya kita harus menghubungi dokter kejiwaan kembali. Anak gadis kita
perlu dirawat di sana agar tidak semakin parah. Memang ini sangat menyesakkan
dada. Tapi kita harus melakukan ini daripada kondisinya semakin lebih parah
dari sebelumnya. Walaubagaimana pun juga, dia anak gadis kita, Ma. Anak semata
wayang yang kita miliki.”
“
Baik, Pa. Mama setuju dengan usulan papa. Dan mama berharap kondisinya akan
kembali seperti semula. Dan kita berharap juga Edu dan keluarganya menerima
Wina dengan apa adanya. Kita berharap Edu masih mencintai Wina, mengingat
dirinya baru menikah. Tentu sebuah pukulan berat baginya, bukan hanya baginya
saja. Pukulan berat itu menimpa kita, dan keluarganya. Pa, bagaimana kalau
perceraian terjadi ? Mama tidak mau membayangkan hal itu. Tentu kita akan malu
pada orang-orang. Apalagi nama kita sudah tertanam kuat di berbagai media di
negeri ini. Mama sangat tergoncang.”
“
Ma, kita lakukan saja yang terbaik yang bisa kita lakukan itu saja. Dan kita
berharap kita akan berhasil, berhasil mempertahankan kehormatan kita di hadapan
banyak orang. Papa sangat yakin harapan ini bisa berjalan dengan baik. Kita
akan bahagia bersama lagi bersama anak dan menantu kita.”
Vivi
tersenyum manis. Senyumannya sangat indah. Ada asa pada dirinya, lalu
memunculkan semangat tinggi. Ia memeluk erat tubuh suaminya. Ia menangis haru
di tengah masalah besar yang dihadapi. Suaminya tersentuh. Air matanya meleleh
deras membasahi pipi. Sepasang kekasih itu menangis haru. Mereka menerima
takdir yang dihadapi, lalu mengubahnya sekuat tenaga. Sementara anak gadis
mereka melihat keluar jendela. Ia melentangkan kedua tangan. Wajahnya
ditegakkan ke atas. Ia menatap sang rembulan penuh pesona di mata.
Ia
berteriak keras,
“
Kasihku, aku akan menemuimu, sungguh. Aku akan terbang ke sana bersama
awan-awan yang menawan di hati. Kasihku, aku sangat mencintaimu. Aku tak ingin
kehilangan dirimu. Kaulah segalanya, Kasih.”
Nalis
No comments:
Post a Comment