Saturday, January 17, 2015

Sang Pujangga ( Bag 2 )



Malam tiba, acara pun selesai. Wina menutup kamarnya rapat-rapat. Sementara suaminya masih berada di ruang tamu. Ia sedang berbincang dengan papa dan mamanya. Wina membuka jendelanya. Ia melihat rembulan penuh pesona. Wajah kekasihnya memancar deras di badan rembulan. Kekasihnya sedang tersenyum manis padanya.
Wina berteriak dengan keras,
“ Kasihku, kirimkan aku kata-kata manismu. Kasihku, jangan tinggalkan aku. Aku ingin diterkam di kandang singa ini, Kasih. Kasih, aku sangat tak rela diriku menjadi milik orang. Aku ingin menjadi milikmu. Kirimkan aku kata-kata indah, seindah mutiara yang berterbangan di langit itu. Lihatlah mutiara-mutiara di langit itu, Kasih. Berkelipan nan indah berseri-seri, seperti cinta kita. Cinta kita tak akan pernah mati, walau jasad kita terpisah dari nyawa. Ketika nyawa kita beterbangan di langit, aku ingin bersamamu, menembus awan-awan putih yang menawan di hati. Aku tak ingin di sini. Aku tak ingin tersiksa di sini. Aku ingin berada di langit bersamamu, bercinta sambil meneguk anggur dari cawan cinta kita, Kasih. Kirimkan aku kata-kata manismu, Kasih. Mengapa kamu tak menjawab. Mengapa kamu hanya tersenyum di atas sana, sedangkan aku menanti kehadiranmu di sini.”

Wina mengambil napas dalam-dalam. Angin berhembus kencang, membelai tubuh indahnya. Ia berteriak keras,
“ Kasih, apa kamu di sana sudah punya kekasih lain selain diriku. Apa bidadari-bidadari di sana menghampirimu. Lalu mereka menawarkan diri padamu. Apa mereka terlena oleh kata-katamu yang manis, atau pada wajahmu yang menawan hati, atau mungkin sikapmu yang membuat orang terpana. Apa kamu memilih kekasih lain selain diriku di sana, Kasih. Mengapa kamu terus terdiam. Lalu mengapa kamu terus tersenyum, seolah terkagum melihat sosok gadis yang menderita ini. Kasih, kita pernah mengukir janji. Dan janji itu sangat manis. Tidak akan pernah buyar walaupun pikiran kita membuyar. Kita pernah berjanji untuk selalu menjaga cinta kita walaupun badai menghadang.”
Wina menunduk. Lalu ia mengambil napas dalam-dalam. Ia melentangkan kedua tangannya. Lalu ia kembali menjambak rambutnya, lalu mengobrak-abrik rambutnya. Ia pun mencakar-cakar wajahnya. Ia berteriak keras,
“ Akan kupaksakan diri untuk keluar tempat ini ! Kasih, aku tak ingin tersiksa lagi oleh tekanan batin ! Aku punya hak untuk bahagia ! Walaupun hanya secuil, aku yakin ada harapan ! Maka ajaklah diriku terbang di langit ! Lalu bersama-sama kita singgah di sana ! Aku merasa  bumi sudah tidak berpihak pada kita ! Buktinya, banyak orang memusuhi cinta kita ! Bukankah mereka juga pernah jatuh cinta ! Lantas mengapa mereka memusuhi cinta kita ! Aku ingin terbang ! Aku ingin terbang bersamamu  melintasi awan-awan itu ! Baiklah, Kasih. Aku tahu kamu ingin aku terbang tinggi ke sana. Karena dirimu takut pada orang-orang yang memusuhi cinta kita. Baik, aku akan menuruti maksudmu. Aku akan terbang ke sana, lalu menghampirimu...ha...ha...ha...”
Wina membalikkan badan, lalu berlari kencang sambil melentangkan kedua tangan. Ia meloncat-loncat tinggi. Ia naik ke atas ranjang, lalu mengobrak-abrik selimut dan bantal, lalu melemparnya ke lantai.
Ia berteriak keras,
“ Mengapa ! Mengapa aku belum bisa terbang ! Padahal aku tahu di sana kamu membantuku, Kasih !”
Ia meloncat tinggi ke lantai. Lalu ia melompat tinggi sambil melentangkan kedua tangan. Ia merasa benda-benda di sekitarnya menghalanginya. Ia langsung membuang dan membanding benda-benda di sekitarnya. Ia membanting sebuah guci. Ia juga membanting bingkai foto. Suara pecah benda-benda itu terdengar keras. Ia melepas sepatunya, lalu melemparkan ke arah jendela kaca. Kaca pun jatuh berkeping-keping. Ia menganggap jendela kaca itu menganggu dirinya dalam melihat wajah kekasihnya.
Ia berteriak keras,
“ Kalian semua benar-benar sialan ! Kalian mencoba menghalangi cintaku seperti orang-orang itu ! Cepat pergi dari sini ! Atau kurusak kalian semua tanpa ampun !”
Di bawah kamarnya, seorang pemuda gagah mengerutkan kening. Papa dan maam Wina mencoba menenangkan pemuda itu.Pemuda itu bertanya penuh terheran,
“ Ada apa dengan Wina, Ma Pa ? Dia menjerit sendiri. Lalu banyak suara pecah di sana. Ada apa sebenarnya ?”
Papa Wina mencoba menenangkan diri. Ia pun berkata dengan pelan,
“ Tenang, Nak Edu. Wina memang biasa seperti itu. Terkadang kalau dirinya tidak suka dengan suatu barang, ia akan membantingnya ke lantai. Wina cukup manja. Maklum saja, Nak, Wina kan anak orang kaya raya. Dia tidak pernah hidup menderita. Semuanya terpenuhi. Dari kecil, ia tidak pernah mengalami kesulitan dalam hidup. Ketika dia merasa tidak cocok dengan suatu barang, ia akan membuangnya jauh-jauh dari hadapannya.”
Pemuda itu tampak tenang. Ia tersenyum lebar. Lalu ia segera berdiri. Ia berkata dengan penuh senyuman,
“ Pa Ma, sudah saatnya saya harus menuju ke atas, menemui isteri saya. Dia tentu sudah menanti kedatangan saya di sana. Saya mohon diri dulu dari Anda berdua.”
Papa dan mama Wina tersenyum lebar.
“ Kesanalah, Anakku. Dia sudah menanti. Kamu harus membahagiakan dirinya. Dia menjadi anak semata wayang papa dan mamamu ini. Jangan sampai kamu menyakiti hatinya,” ucap papa Wina dengan lembut.
Edu tersenyum lebar.
“ Baik, Pa Ma,” jawabnya dengan tegas.
Edu berjalan pelan meninggalkan ruangan itu. Ia menutup pintu kamar rapat-rapat. Detak jantungnya semakin cepat. Ia berjalan perlahan menuju lantai dua. Dan sebuah pintu kayu berwarna coklat matang tampak di pelupuk mata. Edu semakin tidak sabar untuk segera menemui isterinya. Napasnya berdesis kencang. Dadanya berdebar kencang. Tubuhnya menegang hebat. Tapi senyum lebar terpancar indah, sangat indah. Hari bahagianya akan datang.
Ia mengetuk pintu kamar isterinya secara perlahan. Tapi tidak terdengar jawaban di dalam kamar. Ia mencoba mengetuk pintu sekali lagi. Tapi isterinya masih tidak membuka pintu. Ia mencoba lagi. Tapi hasilnya nihil. Ia mengambil napas dalam-dalam. Ia mengira isterinya sudah terlelap dalam mimpi.
Di dalam kamar itu, seorang gadis bermata bening sedang sibuk menghiasi wajahnya dengan cat putih dan merah. Tidak lupa ia melapisi tubuhnya dengan cat hijau. Ia mengira akan bisa terbang tinggi jika membuat dirinya seperti burung dengan badan berwarna-warni.
Ia tertawa lirih sambil melihat wajahnya di cermin. Ia pun berkata sendiri pada dirinya,
“ Nah, ini baru seperti burung. Dengan begini, aku bisa terbang ke langit, lalu menemui kekasihku. Bukankah aku sekarang seperti burung. Memang benar sekali. Aku di penjara dalam sangkar mematikan, yang sempit, dan seolah membuatku gila. Apalagi berhadapan dengan singa-singa ganas seperti mereka. Aku akan dimakan oleh mereka jika aku mendekatinya. Maka dari itu, aku harus terbang tinggi ke langit, mumpung jendelanya terbuka lebar.”
Wina mendengar bunyi ketukan pintu di luar. Ia tersenyum lebar. Ia berteriak keras,
“ Kasihku, kamu turun dari langit ! Lalu kamu sengaja untuk menemuiku ! Aku sangat mencintaimu !”
Wina membuka pintu secara perlahan. Tampak di pelupuk matanya seorang pemuda asing di matanya. Sedangkan pemuda itu tersentak kaget. Jantungnya berdetak kencang, seolah hampir lepas. Kedua matanya melotot tajam. Ia melihat seorang gadis berambut acak-acakan, lalu wajahnya penuh dengan cat dinding, begitu pula sekujur tubuhnya. Ia hanya memakai kain putih, menutupi tubuhnya.
Pemuda itu berteriak keras, terkaget dengan sosok gadis di depannya. Rasa kaget terlalu kental menyelimuti dirinya. Ia berteriak keras sekali, lalu jatuh tersungkur ke lantai. Wina pun terheran.
“ Ada apa dengan orang ini, aneh sekali,” katanya lirih.
Mendengar teriakan hebat di atas, papa dan mama Wina segera berdiri, lalu berlari menuju lantai dua. Ia tersentak melihat pemuda itu terbaring di atas lantai. Mereka pun segera menghampirinya.
“ Nak Edu, bangun, apa yang terjadi,” teriak papa Wina sambil menggoyang-goyang tubuh Edu.
Desis napas Edu masih terasa, begitu pula detak jantungnya. Sesaat berselang, mereka langsung menuju kamar anak gadisnya. Mereka membuka lebar. Dan seluruh isi kamar tampak berantakan. Pecahan-pecahan kaca bertebaran. Lantai pun terhiasi warna cat. Lemari pun bergeser dari posisinya.  Selimut dan bantal bertebaran di lantai. Mereka mengambil napas panjang. Mereka berusaha mencari anak gadisnya. Tapi mereka tidak menemukannya.
“ Wina ! Dimana kamu !” teriak papa Wina.
Dari balik ranjang, terdengar bunyi seorang perempuan menangis. Papa Wina mengerutkan kening. Ia langsung menjongkokkan diri, lalu melihat di bawah ranjang itu. Ia melihat anak gadisnya menangis tersedu-sedu. Papanya mencoba menenangkan diri.
Ia berkata dengan pelan,
“ Keluarlah, Win. Keluarlah dari situ.”
Gadis itu masih menangis tersedu-sedu.
“ Tidak ! Kalian membuatku sengsara ! Jangan ganggu diriku ! Aku ingin terbang tinggi menghampiri kekasihku ! Kalian selalu menghalangi cintaku ! Cinta yang tertanam dari hati ! Apa aku pernah membuat salah pada kalian ! Sehingga kalian mencampakkan cintaku !”
Emosi papanya semakin meluap. Darahnya naik drastis ke atas. Wajahnya pun memerah. Desis napasnya semakin kencang. Ia meraih ranjang itu, lalu mengangkatnya, lalu menggesernya dari posisi semula. Dengan susah payah, ia melakukan hal itu. Anak gadisnya tampak terbaring dengan kondisi punggung di atas. Tangis masih terdengar lirih.
Hermawan meraih tubuh anak gadisnya. Ia memegang erat tubuh anak gadisnya. Ia mengerutkan kening. Kedua matanya memicing tajam. Emosinya meluap tinggi. Ia berteriak keras,
“ Kamu pikir dua orang di depanmu ini siapa ! Kamu benar-benar tidak tahu diri ! Kamu benar-benar membuat malu papa dan mamamu. Apa hanya karena cintamu yang begitu buta, kamu jadi seperti ini. Kamu sungguh membuat kecewa papa dan mamamu ini.”
Ia melepas pegangan anak gadisnya. Dan anak gadisnya terjatuh di atas lantai. Ia menangis keras, seolah seperti anak kecil yang terjatuh dari ranjang. Papa dan mamanya menangis keras. Kesesakan hati pun terasa kental. Mereka menyentuh dada perlahan.
Vivi berkata sambil berlinang air mata,
“ Pa, mengapa nasib kita begitu tragis. Mengapa cobaan besar menimpa kita, terasa sangat memberatkan hati. Apa salah kita, Pa, sehingga cobaan berat sekali menimpa kita. Apa kita harus menyerahkan anak gadis kita pada anak muda gelandangan itu. Sedangkan anak kita sudah menjadi milik orang. Akad nikah sudah resmi berjalan. Dan kita akan menanggung malu pada keluarga besar menantu kita, Pa. Tapi anak gadis kita sudah cinta mati pada gelandangan itu. Bahkan mengakar kuat, sehingga pikirannya pun menghilang ketika gelandangan itu menghilang darinya. Apa yang harus kita lakukan, Pa ?”
Suaminya memandang isterinya. Ia menekan kuat kedua bahu isterinya. Desis napasnya menghantam keras di wajah isterinya. Ia berkata penuh senyuman,
“ Ma, tidak mungkin kita membiarkan anak gadis kita kembali pada seorang pujangga gelandangan itu. Anak gadis kita sudah menjadi milik orang, Ma. Dan orang itu sangat baik juga sesuai dengan kehendak kita. Ma, kita tidak akan mengecewakan semuanya. Keputusan kita adalah yang terbaik. Dan kita akan mempertahankan keputusan kita itu.”
Gadis itu berdiri, lalu membalikkan badan. Ia menatap tajam kedua orang tuanya. Napasnya tersendat-sendat. Vivi melihat kondisi anak gadisnya penuh linangan air mata, begitu pula suaminya. Gadis itu memicingkan kedua mata. Ia berkata dengan luapan emosi,
“ Jangan halangi aku untuk menemukan cinta ! Jangan buat diriku lebih menderita lagi ! Jika orang-orang membenci cintaku padanya, aku akan tetap teguh mencintainya. Cintaku padaku padanya bukan cinta buruk. Aku dan dia bukan orang buruk. Dan orang-orang menghalangi cintaku padanya sebenarnya orang-orang buruk. Sudah jelas, banyak orang menolak. Bahkan seandainya bumi menolak, aku akan tetap mencintainya, mencintainya sambil terbang tinggi membawanya. Lalu aku menjumpainya di sana, di langit bersama cawan-cawan cinta yang pernah terukir manis.”
Gadis itu terdiam sejenak. Napasnya seolah sesak oleh luapan emosi tinggi. Ia mengepalkan kedua tangan. Ia pun berkata,
“ Aku akan bersamanya, lalu bercinta dalam ikatan cinta yang tak tersentuh oleh tangan lain. Kekasihku akan mengajakku ke sebuah tempat indah, tempat penuh rerumputan hijau yang menawan di hati. Di sana tiada kebencian, tiada dendam, tiada kebisingan seperti di sini. Sebuah hamparan rerumputan hijau di sekelilingi oleh bunga-bunga indah dan mewangi. Aroma wanginya menyebar ke segala penjuru, lalu menambah suasana menjadi lebih romantis. Tidak akan ada orang yang menghalangi cinta kami di sana. Apalagi hanya segelintir orang-orang yang mencoba memisahkan cinta kami. Aku akan bahagia bersamanya di sana. Aku tak akan membiarkan diriku menderita di sini. Dia sudah menanti di sana, penuh dengan senyuman manis yang menggetarkan hati. Benar sekali, senyumannya menggetarkan hatiku. Aku pun tak bisa berpaling padanya. Diriku sudah tertawan olehnya, tertawan oleh kata-kata manisnya yang menyejukkan hati. Tapi aku diharuskan untuk terbang ke sana. Maka dari itu, aku berusaha untuk berlatih agar bisa terbang, untuk menjumpai kekasihku.”
Papa dan mamanya hanya menunduk. Mereka merasa gadis itu benar-benar terlena oleh pujangga itu. Gadis itu pun melanjutkan,
“ Mengapa kekasihku tidak datang ke sini, lalu menjemputku ke sini. Karena dia takut pada papa dan mama. Ia tidak berani ke sini bukan tidak mau menjemputku. Hanya karena kalian berdua, ia menjauh dariku. Hatiku terasa pilu dan gelisah. Lihatlah rembulan itu. Ia hadir di sana, di tengah-tengah badan sang rembulan yang benderang itu. Wajahnya bersinar terang, manis berseri-seri, seperti sang rembulan itu. Kalau kalian tidak percayalah pada ucapanku, lihatlah sang rembulan di luar jendela itu. Lihatlah dengan hati.”
Papanya mengarahkan pandangan pada mamanya. Ia menundukkan pandangan. Ia berkata dengan pelan,
“ Ma, sepertinya kita harus menghubungi dokter kejiwaan kembali. Anak gadis kita perlu dirawat di sana agar tidak semakin parah. Memang ini sangat menyesakkan dada. Tapi kita harus melakukan ini daripada kondisinya semakin lebih parah dari sebelumnya. Walaubagaimana pun juga, dia anak gadis kita, Ma. Anak semata wayang yang kita miliki.”
“ Baik, Pa. Mama setuju dengan usulan papa. Dan mama berharap kondisinya akan kembali seperti semula. Dan kita berharap juga Edu dan keluarganya menerima Wina dengan apa adanya. Kita berharap Edu masih mencintai Wina, mengingat dirinya baru menikah. Tentu sebuah pukulan berat baginya, bukan hanya baginya saja. Pukulan berat itu menimpa kita, dan keluarganya. Pa, bagaimana kalau perceraian terjadi ? Mama tidak mau membayangkan hal itu. Tentu kita akan malu pada orang-orang. Apalagi nama kita sudah tertanam kuat di berbagai media di negeri ini. Mama sangat tergoncang.”
“ Ma, kita lakukan saja yang terbaik yang bisa kita lakukan itu saja. Dan kita berharap kita akan berhasil, berhasil mempertahankan kehormatan kita di hadapan banyak orang. Papa sangat yakin harapan ini bisa berjalan dengan baik. Kita akan bahagia bersama lagi bersama anak dan menantu kita.”
Vivi tersenyum manis. Senyumannya sangat indah. Ada asa pada dirinya, lalu memunculkan semangat tinggi. Ia memeluk erat tubuh suaminya. Ia menangis haru di tengah masalah besar yang dihadapi. Suaminya tersentuh. Air matanya meleleh deras membasahi pipi. Sepasang kekasih itu menangis haru. Mereka menerima takdir yang dihadapi, lalu mengubahnya sekuat tenaga. Sementara anak gadis mereka melihat keluar jendela. Ia melentangkan kedua tangan. Wajahnya ditegakkan ke atas. Ia menatap sang rembulan penuh pesona di mata.
Ia berteriak keras,
“ Kasihku, aku akan menemuimu, sungguh. Aku akan terbang ke sana bersama awan-awan yang menawan di hati. Kasihku, aku sangat mencintaimu. Aku tak ingin kehilangan dirimu. Kaulah segalanya, Kasih.”


Nalis


No comments:

Post a Comment