Pada masa hijrah, Rasulullah
mempersaudarkan kaum muhajirin ( Makkah ) dengan kaum Anshar ( Madinah ), tanpa
rasa gengsi sedikit pun masing masing saling bersaudara seolah saudara kandung
sendiri. Bahkan sekali pun baru bertemu. Tapi lewat perantara manusia terbaik
sejagad itu, mereka pun menerima penuh suka cita, tidak peduli apa pun kondisi
masing masing, entah kondisi fisik memilukan, kondisi kekurangan harta, atau
pun mantan budak nan hitam.
Apalagi melihat kaum muhajirin yang
serba berkekurangan, kondisi fisik memilukan, entah disebabkan terik panas
akibat perjalanan panjang tanpa membawa apa pun. Kaum Anshar menyambut mereka
seolah bagian dari satu tubuh yang harus dihormati, dijunjung tinggi, dibantu
wajib apa pun kondisi mereka. Kaum Anshar tidak menghiraukan kondisi memilukan
saudara saudara mereka dari kaum muhajirin. Karena memang tidak perlu
dihiraukan.
Di era sekarang sudah jarang kita
temui kejadian seperti itu. Jangankan dengan orang baru pertama bertemu, dengan
kedua orang tua pun kadang kita melihat pernah terjadi. Ketika si anak diasuh
berat dengan susah payah oleh kedua orang tuanya. Lalu dewasa disekolahkan ke
sekolah berkualitas dan berlegalitas tinggi. Setelah dia sukses dunia, dia
melupakan kedua orang tuanya. Ketika orang tuanya memasuki usia senja, sang
anak memasukkan kedua orang tuanya ke dalam panti jompo. Padahal kedua orang
tuanya hanya ingin selalu berada satu atap dengan sang anak selagi hayat masih
dikandung badan.
Bahkan di media elektronik tidak
waktu lama lalu, saya sangat sedih melihat betapa bejat sang anak pada ibunya
yang berusia 90 an. Bayangkan, nenek berumur senja yang seharusnya menikmati
hidup sebelum langit memanggilnya diperas dan dituntut atas hak tanah senilai
milyaran. Sungguh biadab ! Apakah sang anak dalam kondisi berkekurangan dan
miskin ?
Tidak.
Dia dan pasangannya hidup dalam
kondisi nyaman secara finansial. Tapi karena ketamakan akan dunia dia menggugat
sang ibu atas sengketa ke pengadilan. Seharusnya betapa menyedihkan dan malang
nasib kita, seharusnya kita tidak menjatuhkan orang lain, apalagi orang tua.
Apalagi kondisi tidak tercekik ekonomi seperti itu. Dunia telah menghancurkan
segala kasih sayang hakiki, yang sejatinya hanya perlu waktu seketika untuk
mengubahnya menjadi cinta alami, melalui ungkapan termanis.
Apa itu ?
Bentuknya Anda masing masing yang
tau. Tapi sekilas akan saya jelaskan pengertian menurut pribadi. Ungkapan itu
adalah ucapan pemecah segalanya, pengikat kuat cinta, pelipur lara, pemecah
sengketa berkepanjangan, dan mengobati luka jiwa yang lama menghinggapi selama
itu.
Sepasang suami istri terlibat
konflik berkepanjangan. Sejenak mereka pisah ranjang bahkan rumah, dan tinggal
di rumah kedua orang tua masing masing. Sejenak masing masing merenung.
“ Sungguh bodoh diriku. Aku
diciptakan bersamanya untuk bahagia. Tapi mengapa sengsara. Padahal dialah yang
terbaik. Tuhan telah menakdirkan dia untukku. Jelas Tuhan lebih tau dariku.
Solusi cerai bukan jalan terbaik, karena dia ada untukku.”
Akhirnya, masing masing saling
bertemu dan bertatapan.
“ Duhai belahan jiwaku, selama nyawa
ini belum berpisah dari jasadku, maka aku tak mau jauh darimu. Karena kaulah
bagian dari jiwaku. Jika engkau pergi, diriku akan dirundung kesedihan yang
bisa membunuhku secara keji. Aku mencintaimu melebihi mentari yang selalu
menyinari bumi. Karena mentari menyinari tiada selalu, karena ada malam
menjelma. Sedangkan aku selalu ada untukmu.”
Pernahkah Anda bilang,” Kaulah
wanita tercantik yang pernah kulihat” pada istri Anda. Atau malah Anda suruh
suruh selalu tanpa memerhatikan perasaan yang butuh pujian dari suami. Maka
ungkapan termanis harus Anda lakukan. Hal itu pemecah rasa minder, pemecah
gagap dan rasa malu. Jika pada pasangan Anda saja malu, apalagi pada orang
lain.
Nalis
No comments:
Post a Comment