Seorang pemimpin merupakan dalang
dari segala kondisi dan situasi lingkungan atau kelompok yang dipimpinnya.
Orang orang yang mengikuti pemimpinnya hanya menjalankan instruksi, yang mana
bisa sesuai atau pun tertolak pada diri mereka. Pada hakekatnya, pemimpin itu
perwakilan dari seluruh rakyat yang dipimpinnya. Menjadi penopang seluruh
aturan main yang berlaku. Sehingga ketika dia berhasil, dikatakan bukan
berhasil menurut kacamata dirinya saja. Tapi untuk seluruh rakyatnya. Jika
hanya menurut dirinya lalu tidak untuk rakyat, namanya bukan pemimpin.
Sejatinya keegosian bukan sikap pemimpin. Karena pemimpin tidak mungkin
memerintahkan sesuatu untuk kepentingan pribadi bahkan dirinya sendiri.
Kenapa pemimpin dipilih ?
Karena rakyat percaya pada sosoknya
bahwa dia bisa berkontribusi banyak untuk rakyat, bahkan mengubah drastis dari
kemalangan dulu menjadi perubahan kemajuan dahsyat. Atau paling tidak, tidak
lebih buruk dari sebelumnya. Rakyat pasti menginginkan perubahan untuk
kemajuan, bukan kemunduran. Maka dari itu, tujuan mereka memilih pemimpin
adalah untuk memajukan secara nyata, bukti nyata walau tidak banyak, dan memang
nyata ( bukan ucapan belaka ), dan sangat nyata walaupun sedikit.
Nyata maksud saya adalah bahwa
memang nyata ada kemajuan, nyata sebagian kerja untuk kemajuan, meminimalisir
keburukan, dan nyata sesuai janji janji yang terucap. Jika janji tiada
terpenuhi, maka ada hak tersendiri hak rakyat untuk bicara. Yaitu hak mereka
untuk bicara pada pemimpin untuk menunjukkan bukti nyata. Meskipun sudah
bekerja keras, tapi kontribusinya nol, bahkan terpuruk, maka rakyat punya hak.
Karena mereka punya hak dari hasil nyata dan nyata walaupun sekian persen.
Sebelum melangkah jauh, ada baiknya
saya ingin mengarahkan Anda pada logika yaitu
Mengapa Anak kecil Dan Orang Dewasa
berbeda sikap ketika dia ditawari kursi kepimpinan ?
Pernahkah Anda sekolah masa kecil ?
Di masa masa itu, ketika terjadi pemilihan ketua kelas, siapakah diantara teman
Anda yang berani menjadi calon mana ketua kelas ? Sebagian besar pasti menolak.
Kecuali murid benar benar ingin dibully oleh guru dan teman temannya. Pasti
sebagian besar berlomba lomba untuk tidak menjadi ketua kelas. Apalagi ketua
OSIS, dan organisasi lain. Jarang yang menawarkan diri untuk menjadi ketua.
Beda halnya ketika pemilihan lurah
misalnya, semua calon berlomba lomba untuk menang. Segala cara dilakukan untuk
menang. Bahkan jikalau tidak menjadi pemenang, maka dia bisa sakit sakitan
lama. Pada pemilihan caleg, sehabis pemilu selesai, setiap rumah jiwa menerima
caleg caleg yang tidak berhasil menang pada pemilu karena terkena tekanan yang
menyiksa jiwa mereka.
Mengapa begitu ? Bisa
bertolakbelakang pada masa kecil dan dewasa ?
Jawabannya singkat. Sesungguhnya otak
manusia hanya mencari nikmat dan menghindari sengsara. Ketika masih kecil,
ketika menjadi ketua kelas takut akan dibully teman temannya, capek terus,
dihina dan diejek ketika tidak gerak sedikit, dan tentu saja tidak dienakkan
guru. Apalagi dia tidak mendapat apa apa dalam bayangannya, karena pikiran
mereka tertuju pada uang, yaitu udah kerja dicaci maki, tidak dibayar lagi.
Beda lagi, ketika menjadi pemimpin
yang menguasai seluruh rakyat, bayangan mereka sungguh diisi kenikmatan. Dengan
menjadi lurah misalnya, dia bisa punya asset sawah banyak, dia bisa bergengsi
di mata orang orang. Dengan menjadi anggota parlemen, dia bisa naik strata social
yang mana dia bisa punya mobil banyak, rumah mewah gratis, dan kehidupan mewah
lainnya.
Zaid Bin Tsabit berkata,”
Sesungguhnya jika aku dipilihkan diantara memilih menulis Al Qur’an atau
mengangkat gunung besar, maka aku akan memilih menangkat gunung.”
Siapa Zaid Bin Tsabit ?
Dialah sahabat yang ditunjuk untuk
menulis pertama kali Kitabullah. Coba bayangkan, alangkah agung jabatannnya.
Karena dialah manusia pertama menulis kitabullah dalam lembaran lembaran. Tapi
bagaimana perasaannya ketika ditunjuk menjadi tugas agung itu ?
Dia sama sekali tidak ada raut wajah
keceriaan. Dia menangis. Dan memilih untuk tidak mengambilnya. Tapi karena
dialah punya kapabilitas untuk itu. Maka dia pun menerima, seolah langit runtuh
menimpanya. Bayangkan perasaannya.
Benar, dia lebih memilih mengangkat
gunung daripada menulis kitabullah. Karena jikalau mati dalam mengangkat
gunung, selesai sudah, selesai urusan. Nah, kalau menulis kitabullah. Salah
sedikit saja. Maka dia akan diminta pertanggungjawaban yang sangat berat.
Maka jelas kepimpinan bukan urusan
main main, sejatinya nafsu dunia dan syahwat dunia bisa diredam dengan
mengingat nasib kita di alam sana. Karena betapa agung jabatan kita nanti, pada
akhirnya kita akan meninggalkan juga, lalu bersiap kita bertanggungjawab atas
amanah kepemimpinan kita. Sekali saja janji tidak terpenuhi dalam tindakan
nyata, entah nasib apa yang kita alami.
Pada tahun 1998, Piala Tiger,
Insiden Sepakbola memalukan terjadi. Sepakbola Indonesia tercemar dimata dunia.
Indonesia dan Thailand bermain sepakbola gajah. Bukan berlomba untuk menang,
tapi berlomba untuk kalah. Saat itu gol bunuh diri sengaja dibuat agar
Indonesia kalah. Lalu kedua dihukum FIFA.
Tahukah Anda, ketua PSSI waktu itu
langsung MENGUNDURKAN DIRI. Dia sangat malu pada dunia bahwa dirinya tidak bisa
menjayakan nama Negara. Padahal dia satu dari sekian milyar orang negeri yang
ditunjuk untuk mensejahterakan sepakbola, menyangkut harkat dan martabat nama
sepakbola negeri. Karena dia dipilih untuk bukti kemajuan nyata, tapi memalukan
yang hadir. Maka dia menyalahi amanah rakyat.
Tahun yang sama, yaitu 1998, tragedy
Trisakti mewakili perasaan seluruh masyarakat Indonesia. Korban berjatuhan. Pak
Presiden Soeharto mengundurkan diri.
Mengundurkan diri bukanlah sikap
pengecut. Karena yang kita pimpin punya hak akan bukti nyata kita akan tugas
yang diamanahkan pada kita. Jika memang tidak mampu, mengundurkan diri adalah
sikap bijak karena memang kita belum sanggup. Beralasan untuk menunggu waktu
sesungguhnya bisa kita berpikir atau tidak, karena memang jikalau kita tidak
kompeten, maka waktu berjalan itu hanya semakin mencekik rakyat yang kita
pimpin. Maka kita pun termasuk dzalim jika mencederai hati rakyat.
Nalis
No comments:
Post a Comment