Thursday, December 18, 2014

Ungkapan Termanis



Pada masa hijrah, Rasulullah mempersaudarkan kaum muhajirin ( Makkah ) dengan kaum Anshar ( Madinah ), tanpa rasa gengsi sedikit pun masing masing saling bersaudara seolah saudara kandung sendiri. Bahkan sekali pun baru bertemu. Tapi lewat perantara manusia terbaik sejagad itu, mereka pun menerima penuh suka cita, tidak peduli apa pun kondisi masing masing, entah kondisi fisik memilukan, kondisi kekurangan harta, atau pun mantan budak nan hitam. 

Apalagi melihat kaum muhajirin yang serba berkekurangan, kondisi fisik memilukan, entah disebabkan terik panas akibat perjalanan panjang tanpa membawa apa pun. Kaum Anshar menyambut mereka seolah bagian dari satu tubuh yang harus dihormati, dijunjung tinggi, dibantu wajib apa pun kondisi mereka. Kaum Anshar tidak menghiraukan kondisi memilukan saudara saudara mereka dari kaum muhajirin. Karena memang tidak perlu dihiraukan. 


Di era sekarang sudah jarang kita temui kejadian seperti itu. Jangankan dengan orang baru pertama bertemu, dengan kedua orang tua pun kadang kita melihat pernah terjadi. Ketika si anak diasuh berat dengan susah payah oleh kedua orang tuanya. Lalu dewasa disekolahkan ke sekolah berkualitas dan berlegalitas tinggi. Setelah dia sukses dunia, dia melupakan kedua orang tuanya. Ketika orang tuanya memasuki usia senja, sang anak memasukkan kedua orang tuanya ke dalam panti jompo. Padahal kedua orang tuanya hanya ingin selalu berada satu atap dengan sang anak selagi hayat masih dikandung badan.

Bahkan di media elektronik tidak waktu lama lalu, saya sangat sedih melihat betapa bejat sang anak pada ibunya yang berusia 90 an. Bayangkan, nenek berumur senja yang seharusnya menikmati hidup sebelum langit memanggilnya diperas dan dituntut atas hak tanah senilai milyaran. Sungguh biadab ! Apakah sang anak dalam kondisi berkekurangan dan miskin ?

Tidak.

Dia dan pasangannya hidup dalam kondisi nyaman secara finansial. Tapi karena ketamakan akan dunia dia menggugat sang ibu atas sengketa ke pengadilan. Seharusnya betapa menyedihkan dan malang nasib kita, seharusnya kita tidak menjatuhkan orang lain, apalagi orang tua. Apalagi kondisi tidak tercekik ekonomi seperti itu. Dunia telah menghancurkan segala kasih sayang hakiki, yang sejatinya hanya perlu waktu seketika untuk mengubahnya menjadi cinta alami, melalui ungkapan termanis.

Apa itu ?

Bentuknya Anda masing masing yang tau. Tapi sekilas akan saya jelaskan pengertian menurut pribadi. Ungkapan itu adalah ucapan pemecah segalanya, pengikat kuat cinta, pelipur lara, pemecah sengketa berkepanjangan, dan mengobati luka jiwa yang lama menghinggapi selama itu.

Sepasang suami istri terlibat konflik berkepanjangan. Sejenak mereka pisah ranjang bahkan rumah, dan tinggal di rumah kedua orang tua masing masing. Sejenak masing masing merenung.

“ Sungguh bodoh diriku. Aku diciptakan bersamanya untuk bahagia. Tapi mengapa sengsara. Padahal dialah yang terbaik. Tuhan telah menakdirkan dia untukku. Jelas Tuhan lebih tau dariku. Solusi cerai bukan jalan terbaik, karena dia ada untukku.”

Akhirnya, masing masing saling bertemu dan bertatapan.

“ Duhai belahan jiwaku, selama nyawa ini belum berpisah dari jasadku, maka aku tak mau jauh darimu. Karena kaulah bagian dari jiwaku. Jika engkau pergi, diriku akan dirundung kesedihan yang bisa membunuhku secara keji. Aku mencintaimu melebihi mentari yang selalu menyinari bumi. Karena mentari menyinari tiada selalu, karena ada malam menjelma. Sedangkan aku selalu ada untukmu.”

Pernahkah Anda bilang,” Kaulah wanita tercantik yang pernah kulihat” pada istri Anda. Atau malah Anda suruh suruh selalu tanpa memerhatikan perasaan yang butuh pujian dari suami. Maka ungkapan termanis harus Anda lakukan. Hal itu pemecah rasa minder, pemecah gagap dan rasa malu. Jika pada pasangan Anda saja malu, apalagi pada orang lain.

Nalis

No comments:

Post a Comment