Saturday, December 20, 2014

Kisah Masa SD



Umur 5 tahun, pertengahan tahun 1996, orang tua saya langsung memasukkan saya ke jenjang SD. Jadi masa kecil, saya tidak merasakan pendidikan anak taman bermain maupun dibawahnya. Hal disebabkan teman teman bermain yang notabene lebih tua satu tahun dari saya. Teman teman SD saya rata rata kelahiran tahun 1990 dan saya tahun 1991, jadi bisa dibilang saya ejakulasi dini dalam pendidikan. 
 
SD tempat saya belajar terletak hanya beberapa meter saja dari rumah saya. Terletak di dataran rendah dari tanah jalan. SD itu bernama SDN Kenduren 2, sebuah SD milik pemerintah yang jauh dari kata peduli dari pemerintah, ibarat sang bapak menelantarkan anak kandung sendiri. Kalau anak disebut durhaka jika membangkang perintah orang tua, maka orang tua disebut bejat jika menelantarkan sang anak. Tapi itulah fakta.

 
Jangan dibayangkan bangunan dan daerah tempat tinggal seperti bayangan Anda, dulu waktu ketika masih eksis, bangunan SD itu sangat memilukan. Bangunan SD itu memanjang seperti sekolah lain pada umumnya. Tapi temboknya rusak retak bahkan berlubang. Atapnya sudah kusam dan sebagian ditembel memakai seng. Jadi kalau musim hujan, suara gaduh terdengar hebat di telinga. Bahkan suara guru pun tidak terdengar. Bukan hanya itu, karena saking kusamnya, air hujan mengalir deras ke dalam kelas. Bukan menetes, tapi mengalir deras sehingga pakaian kami pun basah. 

Tanah SD pun tidak seperti yang Anda bayangkan. Bukan tanah datar maupun lantai bersih seperti sekolah lain. Tanah lusuh tiada beraturan dan seperti gunung gunung bagi pasukan semut menjadi tanah SD itu. Jadi kalau musim hujan, kami tidak membawa sepatu ke dalam kelas. Karena tanah akan melekat kuat pada sepatu sehingga menyusahkan untuk dibuat berjalan dan membersihkannya. 

Sering Kebanjiran

Desa saya termasuk jarang banjir bahkan belum pernah jika dilihat secara keseluruhan. Karena SD saya menjulang ke bawah, maka tempat itu menjadi pusat air menurun dari hulu. Akibatnya banjir sering melanda SD itu. Kami tidak bisa masuk sekolah selama air belum surut. Bukan disebabkan hari libur, bukan pula hari besar tanggal merah, tapi disebabkan oleh banjir. 

Bukan hanya itu, dibelakang SD pun menjadi pusat pembuangan sampah. Jadi setiap hari aroma tidak sedap hadir dari pusat pembuangan sampah. Bukan hanya itu, sampah sampah sering ikut larut dalam air yang menggenangi SD, bukan hanya sampah busuk bahkan kotoran ikut hadir. Jadi kalau surut, entah bisa dibayangkan atau tidak kondisi SD itu. Tidak ada pembantu maupun tukang kebun di situ, maka kami yang membersihkannya.

Setiap pagi, digilir pada jadwal piket, kami selalu menuju membawa gembes untuk mengambil air. Kemudian kami membopongnya untuk kemudian di bawa ke WC guru karena SD itu belum difasilitasi saluran air. Jangan dibayangkan airnya jernih, airnya berwarna hijau hasil dari sampah dan lumut.

SD itu termasuk diacuhkan orang. Seiring berjalan waktu, sedikit demi sedikit orang enggan memasukkan anak mereka ke SD itu karena termakan isu dan gossip miring yang mencemarkan nama buruk lembaga. Padahal dalam segi apa pun apalagi waktu itu, pendidikan negeri selalu lebih bergengsi dari swasta. Di tingkat Universitas misalnya, setiap tahun ribuan orang bersaing untuk masuk ke universitas negeri. Nah, universitas swasta biasanya menjadi lading murid murid yang belum berhasil lulus dari test seleksi universitas negeri. Kecuali universitas negeri berbasis Islam yang sangat mudah untuk masuk.

Padahal faktanya, SD pun tidak kalah dalam hal prestasi. Dalam lomba porseni ( olahraga dan seni ) pada masanya SD itu lah paling unggul dibanding sekolah lain di desa. Pernah menjadi juara 1 lomba senam tingkat kecamatan, lari, lukis. Dan saya pribadi pernah mengharumkan nama SD itu lewat lomba lukis. Sungguh kenangan manis ketika bisa membanggakan nama lembaga. Saya masih ingat dulu, saya diberi seragam dan buku gratis.

Hal lain yang tidak dimiliki sekolah lain dan mungkin tak akan dimiliki sekolah lain, apalagi dizaman sekarang rasanya tidak akan pernah ada, adalah setiap kali guru kami datang membawa motor ke sekolah, semua murid mulai dari kelas 1 sampai 6 SD serentak keluar kelas,lalu berbaris menyambut kadatangan guru penuh kecerian dan serentak,
“ Pak Guru rawuh, Pak guru rawuh.”
Rasanya sulit ada kalau pun ada mungkin hanya dikelas, tidak bisa serentak dan luapan kegembiran nyata. Pada akhirnya, dari tahun demi tahun, murid kian menipis sehingga sama sekali tidak mendapat murid baru. Dan akhirnya ditutup, semua murid sisa yang hanya berjumlah belasan saja dipindahkan ke SD Kenduren 1 yang masih dapat image bagus dari orang orang. 

Padahal dulu SD saya itu menjadi barometer pendidikan di desa saya sebelum muncul swasta. Semua saudara dan tetangga saya kecuali beberapa yang tidak termasuk alumni sana. Itu menunjukkan bahwa dulunya menjadi superior di banding swasta. Waktu tidak ada yang bisa terduga hal selanjutnya.

Pesan saya, waspadalah diri Anda merasa nyaman hari ini. Esok menanti penuh ketidakpastian. Benar ketidakpastian meskipun Anda saat ini nyaman. Nyaman dengan pekerjaan, karir, dan gaya hidup. 

Tidak ada pekerjaan aman, begitu pula bisnis. Semuanya penuh ancaman. Pekerjaan misalnya. Bisa jadi toh Anda dipecat suatu saat meskipun tanpa alasan jelas. Atau orang kurang menyukai Anda disitu sehingga Anda didepak. Atau bahkan serajin apa pun Anda, Anda akan didepak juga karena tempat bekerja Anda bangkrut. Itu namanya kemalangan bersama karena dinamankan pemecatan secara halus.

Pengusaha, tidak ada yang aman.  Semua penuh ketidakpastian. Bisa jadi Anda dipecat. Dipecat oleh siapa ?

Ya pelanggan Anda. Anda sudah dicap buruk oleh pelanggan Anda sehingga mereka kapok membeli barang dagangan Anda. Semua penuh ketidakpastian. Bisa jadi toh orang kurang menyukai Anda dan menyebarkan keburukan Anda, missal menyebarkan bahwa bakso Anda dibuat dari daging tikus dan berisi formalin.
Semua penuh ketidakpastian. Maka persiapkan mental pada kali pertama. Karena dengan begitu, kita tidak begitu shock jikalau kemudian hari kemalangan datang. 

( Sengaja tidak saya buat cerita, terharu jadinya deh )

No comments:

Post a Comment