Saturday, February 28, 2015

Trauma Mendalam Berbuah Positif



Semenjak itu saya terus menangis. Yaitu kejadian yang membuat saya menyesal seumur hidup saya. Kejadian yang begitu menunjukkan bahwa saya ditegur keras. Ditegur banyak kesalahan dan kurang kebaikan.

Tanda orang mencintai Anda bukan mendiamkan. Orang memarahi atau menasehati Anda bisa jadi karena unsur kecintaan pada Anda agar Anda menjadi lebih baik untuk ke depan.

Sebaliknya, bisa jadi kita dibenci dengan cara mendiamkan kita. Entah itu disebabkan sudah muak, capek, bahkan jijik melihat tingkah kita yang melampaui batas.


Mengapa dosa tidak langsung balas. Bukan berarti kita aman aman saja. Ibarat kita dijatuhkan dari lantai satu, mungkin rasa sakitnya tidak dahsyat. Nah, bagaimana jikalau kita dijatuhkan dari lantai 30 sebuah gedung ?

Begitulah, Tuhan mendiamkan kita yang melampaui batas bukan berarti ridho.
Kejadian membuat saya schock dan menangis, dan saya merasa trauma yang sangat dahsyat tiada terlupa.

Hari itu, semenjak menginjak tanah baru cukup jauh dari kampung halaman, saya tidak tau bahwa waktu sholat jumat di sana sedikit maju. Saya santai santai. Tiba tiba saya terkaget bukan main, suara ayat ayat suci terlantun di kejauhan. Saya berlari tergesa gesa melewati area persawahan, karena cukup jauh dari lokasi tinggal. Dan di situ saya mendapati  sholat jamaah sedang dilangsungkan. Tidak mau ketinggalan, saya balik arah lalu berlari kea rah masjid cukup jauh dan terdengar imam membaca surat setelah Al Fatihah. Saya berlari kencang namun sang imam telah selesai rakaat pertama.

Hari itu serasa panas. Saya menadahkan wajah ke atas. Seolah malaikat malaikat memandangi saya bermuka masam, penuh kekecewaan. Saya baru sadar telah lalai. Dan hari itu menjadi hari terkelam sepanjang sejarah hidup. 

Trauma Berbuah Ketakutaan

Beberapa jumat ke depan, saya sehabis mandi. Dan alangkah terkejutnya suara lantunan Al Quran terdengar dari masjid. Saya sangat panik ! Saya bersegera ganti baju asalan, lalu berlari kencang. Dan lebih mendebarkan lagi, sang imam hampir menyelesaikan surat. 

Saya benar benar terpukul. Saat itu kembali saya merasa didiamkan dalam artian dibenci oleh langit. Tampak hanya tukang bangunan berada di sisi. Mereka pun tampak meledek. Saya merasa dalam batinnya,

“ Mau sholat jumat kok gak dapat rakaat.”

Saya memaklumi kalau tukang itu ada yang belum sadar. Tapi saya tak menghiraukan dan terus berlari. Saya melewati sawah dan melihat seorang lelaki tua di depan saya. Saya berkata panik,

“ Pak, cepat sholat sudah dimulai !”

Dia tampak mengerutkan kening dan tampak terheran. Saya tak peduli dan terus berlari karena tau dia seorang petani yang baru saja selesai di sawah. Mungkin dia terlalu sibuk urusan dunia. 

Dan lebih membuat saya sedih, di halaman masjid di kejauhan tampak sepi. Saya menangis lagi. Saya benar benar bernasib apes. 

“ Sampai segoblok gitu aku ! Mau apa nasibku nanti setelah mati ! “ kata saya sambil menyalahkan diri.

Masuk gerbang masjid, saya terkejut tiada satu sandal pun. Dan saya berlari kencang dan saya mendapati tiada jamaah di situ.

Dan lantunan ayat ayat suci itu ternyata berasal dari KASET. 

Perasaan lega pun hadir, seolah tanah gersang yang lama lalu tiba tiba dihujani air jernih nan suci. 

Seperempat jam kemudian, masjid ramai. Dan ternyata baru full ketika khotib mau selesai berkhutbah.

Pulang, saya senyum senyum sendiri. Sampai saat itu, hampir setiap jumat saya mengisi shaf pertama karena trauma saya jikalau nanti masa kelam itu terjadi !
Karena otak saya menghindari sengsara yang amat sangat.

Ketika orang rela melewatkan sholat jumat karena alasan semisal bepergian jauh. Memang hal itu bisa dibenarkan. Tapi tidakkah ada rasa panggilan, bahwa mengapa diwajibkan. Bukan disebabkan alasan safarnya, tapi bukti cinta kita pada Allah tertuang menghindari alasan itu. Kalau mendesak, kita tidak bisa menolak. Tapi jikalau jadi hobi. Semisal kita punya banyak hari dan memilih hari jumat untuk safar demi menghindari sholat jumat, hal itu sangat mencederai nurani kita. 

Saya paling tidak tahan dengan bus. Tapi sebisa mungkin saya tidak sholat dikendaraan dengan tayamum. Ketika perjalanan jauh dari Demak ke Jakarta memakan waktu satu malam di bus, sekitar pukul 7 malam sampai 5-6 pagi baru sampai di Jakarta.

Hal itu sangat tidak nyaman terutama di lambung. Masuk makanan pingin muntah. Tidak makan, lapar bukan main. Sungguh saya sangat membenci perjalanan memakan waktu yang lama. Saya sangat menyukai yang jauh, hanya saja dengan waktu singkat. Untuk itu mengapa kita harus berharta.

Waktu sebisa mungkin saya tidak sholat di bus. Dan memang diberi waktu berhenti untuk makan di rumah makan yang bekerjasama dengan bus. Dan pasti di situ ada masjid atau mushola, maka sebisa mungkin saya sholat isya di situ. Dan sholat subuh di masjid Terminal, biasa selalu di masjid terminal lebak bulus. 

Inti, jikalau ada peluang tidak melaksanakan hal wajib dengan alasan yang dibenarkan, maka pertama kita utamakan HAL WAJIB ITU. Hidup atau mati untuk membuktikan bahwa kita layak dicintai oleh Allah.

No comments:

Post a Comment