Semenjak itu saya terus menangis. Yaitu
kejadian yang membuat saya menyesal seumur hidup saya. Kejadian yang begitu
menunjukkan bahwa saya ditegur keras. Ditegur banyak kesalahan dan kurang
kebaikan.
Tanda orang mencintai Anda bukan
mendiamkan. Orang memarahi atau menasehati Anda bisa jadi karena unsur
kecintaan pada Anda agar Anda menjadi lebih baik untuk ke depan.
Sebaliknya, bisa jadi kita dibenci
dengan cara mendiamkan kita. Entah itu disebabkan sudah muak, capek, bahkan
jijik melihat tingkah kita yang melampaui batas.
Mengapa dosa tidak langsung balas. Bukan
berarti kita aman aman saja. Ibarat kita dijatuhkan dari lantai satu, mungkin
rasa sakitnya tidak dahsyat. Nah, bagaimana jikalau kita dijatuhkan dari lantai
30 sebuah gedung ?
Begitulah, Tuhan mendiamkan kita
yang melampaui batas bukan berarti ridho.
Kejadian membuat saya schock dan
menangis, dan saya merasa trauma yang sangat dahsyat tiada terlupa.
Hari itu, semenjak menginjak tanah
baru cukup jauh dari kampung halaman, saya tidak tau bahwa waktu sholat jumat
di sana sedikit maju. Saya santai santai. Tiba tiba saya terkaget bukan main,
suara ayat ayat suci terlantun di kejauhan. Saya berlari tergesa gesa melewati
area persawahan, karena cukup jauh dari lokasi tinggal. Dan di situ saya mendapati
sholat jamaah sedang dilangsungkan. Tidak
mau ketinggalan, saya balik arah lalu berlari kea rah masjid cukup jauh dan
terdengar imam membaca surat setelah Al Fatihah. Saya berlari kencang namun
sang imam telah selesai rakaat pertama.
Hari itu serasa panas. Saya menadahkan
wajah ke atas. Seolah malaikat malaikat memandangi saya bermuka masam, penuh
kekecewaan. Saya baru sadar telah lalai. Dan hari itu menjadi hari terkelam
sepanjang sejarah hidup.
Trauma Berbuah Ketakutaan
Beberapa jumat ke depan, saya
sehabis mandi. Dan alangkah terkejutnya suara lantunan Al Quran terdengar dari
masjid. Saya sangat panik ! Saya bersegera ganti baju asalan, lalu berlari
kencang. Dan lebih mendebarkan lagi, sang imam hampir menyelesaikan surat.
Saya benar benar terpukul. Saat itu
kembali saya merasa didiamkan dalam artian dibenci oleh langit. Tampak hanya
tukang bangunan berada di sisi. Mereka pun tampak meledek. Saya merasa dalam
batinnya,
“ Mau sholat jumat kok gak dapat
rakaat.”
Saya memaklumi kalau tukang itu ada
yang belum sadar. Tapi saya tak menghiraukan dan terus berlari. Saya melewati
sawah dan melihat seorang lelaki tua di depan saya. Saya berkata panik,
“ Pak, cepat sholat sudah dimulai !”
Dia tampak mengerutkan kening dan
tampak terheran. Saya tak peduli dan terus berlari karena tau dia seorang
petani yang baru saja selesai di sawah. Mungkin dia terlalu sibuk urusan dunia.
Dan lebih membuat saya sedih, di
halaman masjid di kejauhan tampak sepi. Saya menangis lagi. Saya benar benar
bernasib apes.
“ Sampai segoblok gitu aku ! Mau apa
nasibku nanti setelah mati ! “ kata saya sambil menyalahkan diri.
Masuk gerbang masjid, saya terkejut
tiada satu sandal pun. Dan saya berlari kencang dan saya mendapati tiada jamaah
di situ.
Dan lantunan ayat ayat suci itu ternyata
berasal dari KASET.
Perasaan lega pun hadir, seolah
tanah gersang yang lama lalu tiba tiba dihujani air jernih nan suci.
Seperempat jam kemudian, masjid
ramai. Dan ternyata baru full ketika khotib mau selesai berkhutbah.
Pulang, saya senyum senyum sendiri.
Sampai saat itu, hampir setiap jumat saya mengisi shaf pertama karena trauma
saya jikalau nanti masa kelam itu terjadi !
Karena otak saya menghindari
sengsara yang amat sangat.
Ketika orang rela melewatkan sholat
jumat karena alasan semisal bepergian jauh. Memang hal itu bisa dibenarkan. Tapi
tidakkah ada rasa panggilan, bahwa mengapa diwajibkan. Bukan disebabkan alasan
safarnya, tapi bukti cinta kita pada Allah tertuang menghindari alasan itu. Kalau
mendesak, kita tidak bisa menolak. Tapi jikalau jadi hobi. Semisal kita punya
banyak hari dan memilih hari jumat untuk safar demi menghindari sholat jumat,
hal itu sangat mencederai nurani kita.
Saya paling tidak tahan dengan bus. Tapi
sebisa mungkin saya tidak sholat dikendaraan dengan tayamum. Ketika perjalanan
jauh dari Demak ke Jakarta memakan waktu satu malam di bus, sekitar pukul 7
malam sampai 5-6 pagi baru sampai di Jakarta.
Hal itu sangat tidak nyaman terutama
di lambung. Masuk makanan pingin muntah. Tidak makan, lapar bukan main. Sungguh
saya sangat membenci perjalanan memakan waktu yang lama. Saya sangat menyukai
yang jauh, hanya saja dengan waktu singkat. Untuk itu mengapa kita harus
berharta.
Waktu sebisa mungkin saya tidak
sholat di bus. Dan memang diberi waktu berhenti untuk makan di rumah makan yang
bekerjasama dengan bus. Dan pasti di situ ada masjid atau mushola, maka sebisa
mungkin saya sholat isya di situ. Dan sholat subuh di masjid Terminal, biasa
selalu di masjid terminal lebak bulus.
Inti, jikalau ada peluang tidak
melaksanakan hal wajib dengan alasan yang dibenarkan, maka pertama kita
utamakan HAL WAJIB ITU. Hidup atau mati untuk membuktikan bahwa kita layak
dicintai oleh Allah.
No comments:
Post a Comment