Warni
mengajak Van Len untuk mengunjungi rumahnya. Warni ingin memperkenalkannya pada
teman-temannya. Van Len merasa senang. Van Len merasa hatinya meluas. Ia merasa
jauh lebih berbahagia dari sebelumnya.
Mereka
berdua melewati rerumputan hijau. Di sekitar, pohon-pohon menjulang tinggi juga
bunga-bunga indah. Aroma wangi bunga melati terasa begitu kental. Mereka
menghirup napas terasa dimanjakan. Mereka ingin lebih lama menghirup napas.
Wangi bunga menyebar terbawa oleh angin.
Di
tengah jalan Warni bertemu dengan empat gadis temannya. Empat gadis itu memakai
kebaya rapi serta ember berisi pakaian. Rambut mereka tersisir rapi, memanjang
sampai dada. Mereka tampak terkejut. Salah seorang dari mereka berteriak,
“
Aaaa....Warni, apa yang kau lakukan. Menyingkirlah dari orang itu. Ia seorang
penjajah, Warni.”
Warni
coba menenangkan mereka.
“
Tenang..tenang teman-teman, ia bukan seorang penjajah. Ia teman baikku. Ia
bukan orang jahat..sungguh.”
Salah
seorang dari mereka merespon,
“
Warni, penjahat itu punya cara licik untuk menjebak mangsa. Ia bisa saja berpura-pura
baik, lalu pada ujungnya ia akan menerkam kita. Mungkin ia ingin mengetahui
lebih jauh tentang Jogja. Lalu ketika kembali, ia ceritakan pada para musuh.
Tinggalkan dia, Warni.”
Mendengar
hal itu, Van Len angkat bicara,
“
Aku bukan seorang tentara Belanda. Tapi aku orang asli Belanda. Aku di sini
untuk memperbanyak teman, teman asli Indonesia. Sungguh aku bukan orang jahat.”
Empat
gadis itu terkejut. Mereka terkejut mendengar ucapan berbahasa Indonesia keluar
dari mulut Van Len. Salah seorang dari mereka kembali bertanya,
“
Kau bisa berbicara dengan menggunakan Bahasa Indonesia ?”
“ Ya
aku bisa berbicara dengan menggunakan
Bahasa Indonesia. Sejak kecil aku tinggal di Indonesia. Aku banyak
bergaul dengan orang Indonesia. Mereka sangat berbudi pekerti baik. Aku sangat
mengagumi mereka. Karena itu lah aku menentang secara diam-diam Agresi Militer
Belanda di negeri ini. Belanda tak punya hak sedikit pun atas tanah Indonesia.
Aku sangat sedih dengan penjajahan sangat lama terhadap Indonesia.”
Mereka
terdiam. Sesaat kemudian, Warni menjelaskan panjang lebar tentang Van Len.
Empat gadis itu sedikit lunak dibandingkan sebelumnya. Lalu mereka berjalan
satu barisan mendekati Van Len.
Warni
memperkenalkan Van Len pada mereka,
“
Namanya Van Len.Dia akrab dipanggil Len.”
Seorang
gadis bertubuh subur memandang Van Len penuh senyum. Ia berkata,
“
Namaku Sukmawati. Nama panggilanku Wati. Aku teman dekat Mawarni.”
Van
Len tersenyum padanya.
Seorang
gadis lain berkata, “ Namaku Ningtias.”
Gadis
selanjutnya melanjutkan, “Namaku Muliasih.”
Gadis
terakhir berkata, “ Namaku Titin.”
Van
Len berbahagia. Mereka menyambutnya penuh hangat. Van Len tak kaget mereka
mencurigainya tadi. Tentara-tentara negerinya sudah muak dilihat oleh mata
mereka. Tapi mereka tak menvonis semua warga negara Belanda tak berperi
kemanusiaan. Mereka menerima kebaikan dari siapa saja. Van Len merasa kesesakan
yang mengekang tubuhnya melepas perlahan.
Ningtias
memandangi Van Len penuh takjub. Van Len agak canggung dibuatnya.
“
Mengapa kau memandangiku seperti itu, Teman ?” tanya Van Len lirih.
“
Kau tampan sekali, Van Len.”
Van
Len tersenyum malu dibuatnya. Warni langsung menyahut,
“ Van Len mau kuajak ke rumahku. Kalian mau
ikut denganku ke sana ?”
Sukmawati
angkat bicara,
“
Kami akan mencuci pakaian di sungai itu. Kami tidak bisa ikut dengan kalian
berdua. Tapi mungkin kami bisa menyusul ke sana. Pakaian kami sangat banyak,
Warni.”
Warni
dan Van Len meninggalkan mereka. Di tengah perjalanan, Warni teringat ucapan
Van Len. Ia memberanikan diri untuk bertanya,
“
Len, apa kau serius memberikan kalung emas bersejarah padaku ?”
“
Ya, aku berjanji padamu. Dan aku akan menepati janjiku.”
“
Aku merasa tidak layak memakainya.”
“
Tapi aku merasa kau layak memakainya.”
Warni
tertawa kecil. Van Len melakukan hal sama. Tangan Warni menunjuk salah satu
rumah di antara sekian banyak rumah. Rumah-rumah penduduk berdempet memanjang
di samping kanan dan kiri jalan. Jalan tanah bergelombang agak menyulitkan
perjalanan mereka berdua. Sesekali mereka harus menanjak sedikit ke atas,juga
ke bawah. Tanah tidak rata di situ. Warni sedikit kelelahan. Sementara Van Len
masih segar meskipun keringat bercucuran deras membasahi tubuh.
“
Itu rumahku,” sahut Warni sambil menunjuk salah satu rumah.
Warni
menunjuk sebuah rumah besar berpapan kayu. Rumah itu dihiasi jendela kayu, juga
pintu kayu. Lantai rumah itu hanya tanah liat datar. Atap rumah itu berhiaskan
genteng-genteng. Atap itu menjorok ke atas, membentuk segi tiga. Warna hitam
kental pada atap itu. Sedangkan papan rumah itu berwarna coklat matang. Pintu
dan jendela pun berwarna coklat hitam.
Warni
dan Van Len menginjakkan kaki di depan pintu rumah.
“Apa
orang tuamu di rumah ?” tanya Van Len.
“Ayahku
ikut bergerilya, sedangkan ibuku terkadang membantu membuatkan makanan untuk pasukan
gerilya di hutan-hutan. Aku tak tahu mereka sekarang di dalam atau tidak.”
Warni
mengetuk pintu rumah. Pintu rumah sedikit bergetar. Tak ada jawaban dari dalam.
Warni mencoba mengetuk pintu lebih keras. Tiba-tiba pintu bergeser ke dalam.
Pintu rumah tak terkunci. Warni terkejut. Ia langsung memasuki rumahnya. Van
Len berjalan di belakangnya.
Tampak
jelas ukiran-ukiran kayu menghiasi isi rumah. Meja dan kursi kayu berhiaskan
ukiran-ukiran gambar tokoh pewayangan. Tanah liat menjadi alas rumah, tampak mendatar
dan terasa empuk di kaki. Lemari-lemari kayu banyak di samping sudut rumah.
Tiga kamar berada di sudut rumah. Lampu minyak dipasang dengan menggunakan tali
besi di atas.
“
Tak ada siapa pun di sini,” kata Van Len.
Warni
merespon,
“
Mungkin ayah dan ibuku sekarang berada di hutan. Mereka ikut bergerilya.”
“
Len, ini lah rumahku. Tolong jangan bandingkan dengan rumahmu. Rumah sederhana.
Rumah orang desa, bukankah begitu ?”
Van
Len tertawa lirih.
“ Di
Belanda, aku bosan tinggal di rumah mewah. Anak muda selalu ingin mencari
sesuatu hal yang baru. Dan rumah ini menjadi hal yang baru bagiku. Yang tampak
menakjubkan di mataku. Aku menganggap rumah ini luar biasa. Arsitektur rumah
ini sangat kental dengan budaya jawa. Aku belum pernah melihatnya di negeriku.”
“
Kau pandai meluluhkan hati orang, Len ?.”
“
Apa termasuk hatimu ?”
“
Kurasa begitu.”
Van
Len terus mengamati seluruh isi rumah. Ia tampak serius sekali. Warni hanya
menggelengkan kepala melihatnya. Warni menuju ke dapur mempersiapkan hidangan.
Van Len merasakan aura jawa sangat kental di dalam rumah itu. Ia duduk di atas
tanah liat empuk. Ia merasa nyaman di dalam rumah itu. Kicauan burung di luar
menambah tentram hatinya.
“
Hidangan sudah siap.”
Van
Len menoleh ke arah suara. Warni datang membawa hidangan di atas nampan. Ia
menaruhnya di atas meja makan. Lalu ia duduk di atas kursi kayu. Ia menyuruh
Van Len untuk mencicipi hidangan. Van Len berdiri lalu menghampirinya. Van Len
merasa Warni tahu bahwa perutnya keroncongan.
Ia
duduk di atas kursi kayu. Warni berpindah kursi. Dan ia berada hanya satu meter
di depan Van Len. Hanya terhalang oleh meja makan bundar, juga hidangan di
atasnya. Van Len sesekali menegakkan wajah ke atas. Warni melakukan hal sama.
Tatapan mereka bertemu, saling berbagi ketakjuban. Tak lama berselang, mereka
menundukkan pandangan. Wajah mereka berdua memerah, malu atas kejadian itu.
Warni sesekali menjadi salah tingkah.
Di
atas meja bundar, hidangan hangat disajikan. Nasi putih menggumpal di atas
sebuah piring kaca. Telur dadar lima buah disajikan di atas piring plastik
lebar. Kemudian sayur kacang panjang disajikan di atas mangkuk kaca. Tiga
piring, gelas, dan sendok disajikan rapi. Sebuah teko berisikan teh hangat
ditaruh di sampingnya. Teh hangat menjadi minuman penghangat suasana saat itu.
Warni
memulai mengambil makanan di atas meja itu. Ia menyuruh Van Len untuk melakukan
hal sama.Van Len mengambil piring. Ia lalu mengambil nasi putih setengah dari
luas piring. Lalu ia mengambil satu telur dadar. Ia langsung memakan tanpa
menggunakan sayur kacang panjang.
“
Kau tak suka kacang panjang ?” tanya Warni lirih.
“
Aku belum pernah memakannya.”
“
Cobalah..enak sekali.”
Van
Len menuruti ucapan Warni. Ia mengambil sayur kacang panjang. Ia melahapnya
bersama nasi putih dan telur dadar. Lidahnya bergoyang menikmati hidangan itu.
Ia mengacungkan jempol pada Warni sambil tersenyum manis. Hati Warni semakin
berbunga-bunga. Warni merasa tertawan olehnya. Ia ingin lebih lama berada di
sisi pemuda Belanda itu.
Mereka
berdua telah menyelesaikan makan siang. Warni penasaran dengan opini Van Len
tentang masakannya. Ia memberanikan diri untuk bertanya,
“
Bagaimana tentang masakanku tadi ?”
“
Enak...sangat enak. Telur dadarnya agak sedikit asin tapi tak mengurangi cita
rasa nikmatnya. Terus sayur kacang panjang terasa menggoyang lidah. Masakanmu
sungguh nikmat.”
Warna
merasakan aura kebahagiaan di dalam dirinya. Hatinya terbang tinggi ke langit.
Pemuda di depannya itu sungguh dikaguminya. Ia sangat tertarik pada pribadi
pemuda itu. Warni berdiri. Ia melihat Van Len sambil tersenyum,
“
Len, maukah kuajak kau ke tempat paling wangi di desa ini ?”
“
Tempat paling wangi ?”
“
Ya, di sana bunga-bunga indah menawan di mata bertebaran. Aroma-aroma wangi
bunga serasa melegakan pernapasan. Kau pasti puas ke sana.”
“
Jauh dari sini ?”
“
Kurang lebih dua kilometer.”
Van
Len berdiri. Ia terima hangat ajakan Warni. Tiba-tiba terdengar suara ketukan
pintu. Warni berjalan menuju ke arah pintu. Ia penasaran.
“
Warni, tolong buka pintunya. Aku ingin bertemu denganmu,” ucap seseorang dengan nada tinggi.
Warni
tersentak. Ia mengenal suara itu. Suara keras seorang laki-laki. Laki-laki yang
telah lama dikenalnya. Untuk memastikan kebenaran, ia mengintip lewat jendela
yang sedikit terbuka. Tampak sosok pemuda berbadan tegap sedang berdiri di
depan pintu. Pemuda itu terus mengetuk pintu.
“
Kenapa kak Pardi tiba-tiba datang mendadak. Aduh bahaya ini,” katanya dalam
batin.
Warni
merasa dalam masalah besar. Di dalam rumah, seorang laki-laki Belanda sedang
berdiri mengamati isi rumah. Warni sangat khawatir jika Pardi mengetahui
keberadaan Van Len di sana. Pardi bisa naik pitam. Warni mengenal sosok Pardi
sejak kecil. Ia keras dalam menindak sesuatu. Tak tanggung-tanggung, ia gunakan
ototnya untuk meremuk lawan. Apalagi ia dikenal sangat membenci Belanda. Ia
sudah muak terjajah.
Warni
semakin khawatir. Sementara Pardi terus mengetuk pintu, bahkan ia mencoba untuk
mendobrak pintu.’’ Apa harus aku jelaskan padanya tentang Len ,” kata Warni
dalam batin. Tapi Pardi bisa jadi menolak lalu terjadi konflik. Pardi dikenal
olehnya sebagai pribadi keras.
Warni
mendapat ide. Ia berjalan cepat menghampiri Van Len. Ia tarik tangan Van Len.
Lalu ia menggeret secara paksa tangan Van Len.
“
Warni, ada apa ini ?” tanya Van Len keheranan.
“
Ada masalah besar. Pokoknya ikuti aku.”
“
Ya..ya, tapi masalah apa. Tolong jelaskan.”
Warni
menuju salah satu kamar. Ia menarik keras daun pintu. Warni kecewa, pintu kamar
terkunci. Lalu ia dan Van Len menuju kamarnya. Ia menarik daun pintu. Pintu
sulit terbuka. Ia menapuk keningnya. Ia baru teringat jika semua kunci dibawa
oleh ibunya. Hanya kunci pintu depan rumah yang dibawa olehnya.
Kamar
tersisa hanya kamar mandi. Satu-satunya kamar tak terkunci. Ia menyuruh Van Len
masuk ke kamar mandi. Tak berselang lama, Van Len keluar dengan mual-mual.
Warna merasa tempat itu tak cocok untuknya.
“
Warni, sebenarnya ada apa ?” tanya Van Len sambil mual-mual.
“
Kau berada dalam masalah serius. Seorang temanku datang ke sini. Ia sekarang
berada di luar rumah, berdiri di depan pintu. Ia orang bertipe sangat keras.
Dan ia sangat membenci tentara-tentara penjajah. Aku khawatir jika ia terlibat
konflik denganmu. Aku bisa menjelaskan semuanya. Tapi ia terlalu membenci orang
Belanda. Tangannya sudah gatal ingin memukul penjajah. Yang terbaik tolong
bersembunyi sehingga ia benar-benar pergi dari sini.”
“
Warni, aku akan bilang padanya bahwa aku bukan penjajah. Aku akan bilang
padanya juga bahwa aku membela bangsa ini dari penjajahan.”
“ Ia
tipe orang yang tak mudah percaya pada perkataan orang. Apalagi orang yang baru
dikenalnya. Apalagi orang yang dianggapnya penjajah.”
Hentakan
sepatu keras terdengar sedang menuju ke arah jendela. Warni tersentak. Ia lupa
mengunci jendela kayu. Ia seperti kehabisan akal. Jika Pardi membuka lebar
jendela itu, bagian dalam rumah akan tampak. Hentakan kaki itu semakin dekat.
Di
sebelah kanannya, ia melihat lemari kayu miliknya berdiri. Ia langsung
mengambil tindakan. Ia membuka lemari itu, lalu mengeluarkan seluruh isinya. Ia
meminta Van Len untuk memasuki lemari itu. Van Len menurutinya. Tubuhnya tampak
sesak berada di dalam. Lemari itu satu centimeter lebih pendek dari tinggi
badan Van Len. Van Len sedikit membungkukkan badan. Sedangkan ia juga harus
merangkul erat kedua tangan untuk menyesuaikan lebar lemari. Warni menutup
lemari rapat. Ia dapat bernapas lega saat itu. Sesuatu hal buruk itu hampir
terjadi.
Pardi
membuka lebar jendela. Sinar matahari memancar deras dari luar. Mata Warni
terasa silau. Ia memejamkan mata sejenak,lalu membukanya. Pardi berdiri setengah
badan di antara sinar silau. Ia memandangnya keheranan.
“
Ternyata kau di dalam, Warni,” ucap Pardi.
Warni
langsung menyahut,
“
Kak, jangan masuk lewat jendela. Aku akan membuka pintu depan. Tunggu
sebentar.”
“Aku
akan menunggu di sana.”
Warni
berjalan cepat menuju pintu. Ia meraih kunci pintu rumah dari dalam saku baju.
Ia membuka pintu. Pardi berada tepat beberapa centimeter di depannya. Ia
menyapanya dengan senyuman. Warna tersenyum tipis padanya.
“
Ayo silakan masuk,” himbau Warni.
Pardi
masuk perlahan. Ia melepas sepatu botnya. Ia terasa lebih segar saat itu. Panas
membara telah dilewati. Keringatnya masih bercucuran deras. Warni mempersilakan
Pardi untuk mencicipi hidangan di atas meja makan. Pardi tak kuasa menolak.
Gadis itu seperti tahu kondisi Pardi. Rasa lapar hebat melanda Pardi. Asam-asam
lambungnya naik. Air ludahnya terkuras. Tenggorokannya terasa kering.
Pardi
duduk di atas kursi kayu. Warni duduk agak menjauh darinya. Ia kurang enak
melihat kondisi Pardi. Aroma badan kurang sedap terasa menyengat hidung.
Pakaian Pardi basah kuyup oleh keringat.
Warni
melihat Pardi penuh iba. Ia bertanya padanya,
“Ada
perlu apa Kak Pardi ke sini ?”
Pardi
melahap makanan secara perlahan.
“
Begini, aku khawatir sekali padamu, Warni. Kau bilang bahwa kau akan turun ke
bawah untuk membantu para pasukan. Ternyata aku melihatmu di sini. Aku merasa
lega.”
Warni
langsung menyahut,
“
Memang aku turun ke bawah kemarin. Aku sempat melihat tentara-tentara musuh
berkeliling Jogja. Mereka bersenjatakan lengkap. Sebagian tentara berjalan kaki
memadati jalan.”
Pardi
terkejut mendengarnya.
“
Apa kau turun ke sana.Warni,jangan sekali-kali ke sana. Sungguh berbahaya.”
“Aku
hampir kehilangan keperawananku di sana, Kak.”
Mendengar
ucapannya, emosi Pardi meledak. Ia mengepalkan tangan lalu memukulkannya ke
meja kayu. Ia seolah tak merasakan rasa sakit. Napasnya tersendat-sendat.
“
Siapa yang hendak melakukan hal itu padamu. Akan kucincang-cincang dia,” katanya dalam luapan emosi.
“
Dia seorang tentara musuh. Ia menyeretku ke tempat sepi lalu hendak berbuat
kurang ajar padaku. Pada saat itu juga aku ditolong oleh seorang Belanda.”
Pardi
terkejut. Ia menjulurkan wajah ke depan sambil berkata,
“
Apa aku tak salah dengar. Kau ditolong seorang penjajah.”
“ Ia
bukan seorang penjajah. Ia mempunyai hati yang baik, yang berbeda dengan
tentara-tentara musuh. Ia sangat baik, Kak. Ia menolongku di saat aku lemas tak
berdaya.”
“
Hal itu dilakukan karena ada trik untuk mengambil hatimu. Kau memiliki rupa
yang menawan, yang dikagumi oleh laki-laki. Dari pada dia mengambilmu secara
paksa, ia merebut hatimu lewat jalan halus. Salah satunya ia gunakan adegan
yang kau ceritakan tadi. Semua itu mungkin skenarionya untuk mengambil hatimu.”
“
Kak jangan asal bicara sembarangan begitu. Dia tidak memiliki sifat itu. Dia
tidak mengenalku sebelumnya. Dia itu orang baik, Kak.”
“ Ya
terserah saja, aku hanya menghimbaumu agar lebih berhati-hati. Apa sekarang dia
di tempatnya, di markas bersama tentara musuh lain.”
“
Dia bukan seorang tentara. Dia seorang pemuda anak konglomerat.”
“ Ya
sudah, aku juga ingin membicarakan hal lain kepadamu, Warni.”
“
Hal lain ?”
“
Begini, pasukan gerilya di hutan-hutan memang banyak. Tapi musuh juga banyak.
Kita perlu pasukan lagi. Satu orang sangat berharga nilainya. Karena di
pundaknya terdapat harapan besar rakyat Indonesia. Harapan mempertahankan tanah
air tercinta kita. Mereka memang bersenjatakan lengkap jauh lebih lengkap dari
senjata kita. Tapi bukan berarti hal itu melemahkan semangat kita. Semangat
kita tetap berapi-api. Kita tengok kebelakang, Warni.”
“
Maksudnya ?”
“
Beberapa tahun lalu, di penghujung bulan oktober tahun 1945, Surabaya digempur
oleh musuh. Bahkan penjajah Belanda saat itu dibantu oleh Inggris. Tapi
arek-arek Suroboyo tak gentar melihat kekuatan mereka yang sangat kuat. Mereka
saling gotong royong menyerang penjajah, mempertahankan Surabaya dari serangan
musuh. Di bawah komando Bung Tomo, mereka berjuang penuh semangat, bahkan
mengalahkan semangat para musuh dengan fasilitas senjata jauh lebih lengkap.”
“
Satu orang saja sangat bernilai, sangat berharga. Aku tak bisa berbuat banyak,
Kak. Aku tak memiliki kekuatan fisik sehebat laki-laki. Andai aku memiliki
kekuatan, aku tak berpikir panjang untuk bergabung bersama kalian.”
“
Jangan begitu, Warni. Kau bisa membantu pasukan tidak dengan harus ikut
bertempur. Kau bisa membantu mereka dengan menyajikan makanan di saat tenaga
mereka lengah, di saat perut mereka meminta hak untuk diisi. Kau juga bisa
mengobati luka prajurit. Tugas itu termasuk mulia, Warni.”
Di
dalam hawa sempit, di dalam kegelapan dominan, seorang pemuda berbadan tegap
menghayati semua ucapan mereka berdua. Ia tak menghiraukan ruang gerak yang
begitu sempit. Ia tak menghiraukan napasnya yang terasa sesak. Tapi ia
menghiraukan ucapan, ucapan yang sangat bermakna baginya.
Ia
merasa iba pada kondisi negeri orang. Negeri jajahan negerinya sendiri. Ia tak
sedikit pun setuju terhadap agresi militer negaranya. Air matanya tiba-tiba
menetes, membasahi pipi. Ia merasa harus menentang kedzhaliman. Ia ingin ikut
andil bersama pasukan gerilya.
Sebuah
gebrakan terdengar keras. Warni dan Pardi menoleh ke arah suara, lemari kayu di
dekatnya. Pintu lemari terbuka lebar. Van Len keluar dari sana dengan badan
tegap. Ia memandang Pardi penuh harap. Senapannya dibuang ke lantai tanah.
Melihatnya
muncul tiba-tiba, Pardi terkaget. Ia segera melindungi Warni.
“
Warni, cepat pergi. Musuh datang !” himbau Pardi.
Warni
langsung berteriak,
“
Dia bukan musuh. Dia temanku.”
Tanpa
menghiraukan ucapan Warni, Pardi langsung menyerang Van Len. Ia melayangkan
tendangan ke arah dada Van Len. Van Len tak siap menangkis. Ia terpental ke
tanah. Ia jatuh tersungkur. Pardi kembali menyerang. Ia menarik kerah baju Van
Len ke atas dengan keras. Tubuh Van Len dilempar ke tanah.
Warni
berteriak keras. Ia berusaha menghentikan pertikaian. Ia berteriak,
“
Hentikan !..Ia bukan musuh kita. Ia memihak pada kita.”
Van
Len menaikkan sedikit kepala. Tubuhnya terasa lemah untuk diangkat. Tapi ia
paksakan diri untuk berkata,
“
Biarkan saja, Warni. Biar dia membalasku, karena bangsaku telah mencederai
bangsa kalian.”
Pardi
terheran.
“ Ia
bisa berbicara dengan bahasa kita.”
Warni
langsung menyahut,
“ Ia
temanku, Kak Pardi. Namanya Van Len. Ia termasuk pemberontak kelompoknya, tapi
secara diam-diam.”
“
Secara diam-diam.”
Van
Len memaksakan diri untuk berdiri. Ia berjalan tertatih-tatih ke arah Pardi. Ia
memancarkan senyum pada Pardi dan Warni. Ia berdiri di depan Pardi.
“
Aku tidak setuju dengan agresi militer yang di lancarkan negaraku ke negeri
ini. Aku sangat mencintai alam negeri ini. Aku tak tega melihat alam negeri ini
terus dibom dari berbagai arah. Sehingga rusak semuanya. Aku sangat sedih
melihatnya. Aku ingin semua menjadi damai.”
“
Tuan Pardi. Maaf kalau salah menyebutkan nama. Nama itu yang ku dengar tentang
anda sewaktu di dalam lemari. Aku sangat sedih melihat bangsa anda terjajah.
Dari awal aku sudah menolak penyerangan atas negeri ini. Tapi aku tak punya
kekuatan untuk menolak. Aku tidak punya partner untuk diajak bernegoisasi. Aku
sangat malu pada diriku sendiri. Aku malu pada alam. Aku malu pada kebenaran.
Aku malu pada kedamaian. Aku malu pada kasih sayang. Aku malu pada kepedulian.
Karena aku telah mengkhianati semua itu.”
Pardi
terdiam. Warni tampak berlinang air mata. Pipinya basah oleh air mata. Ia juga
terdiam. Mereka berdua merasa iba pada seorang pemuda berbeda ras di depan.
Pardi tahu mengapa pemuda itu tak menghindar dari serangannya tadi. Pemuda itu
ingin membalas kesalahannya. Pardi merasa bersalah padanya. Hatinya luluh oleh
perkataan pemuda itu.Bahasa Indonesianya cukup fasih. Pardi dapat memahaminya
dengan baik.
Van
Len melangkah lebih maju ke hadapan Pardi. Ia mengulurkan tangan kanannya pada
Pardi. Ia ingin menjabat tangan Pardi. Pardi pun mengulurkan tangannya. Jabat
tangan pun terjadi, sangat erat.
“ Perkenalkan namaku Van Len. Nama lengkapku Otto van der len. Aku
sering dipanggil Len oleh orang-orang.”
Pardi pun membalas,
“ Supardi. Panggil saja Pardi.”
Pardi memancarkan senyum. Warni terkejut sekaligus gembira. Hati
Pardi yang keras pun dapat luluh oleh pribadi Van Len. Warni semakin mengagumi
Van Len. Ia terpesona melihatnya.
“ Tuan Pardi...”
Belum sempat Van Len melanjutkan, Pardi memotong pembicaraan,
“ Jangan panggil aku tuan. Panggil saja aku Pardi.”
Van Len tersenyum mendengarnya. Lalu ia melanjutkan,
“ Pardi, aku ingin menjadi pasukan seperti dirimu, untuk berjuang
melawan penjajah.”
Mendengar ucapannya, Warni dan Pardi terkaget bukan main. Mereka
masih tak percaya dengan ucapan Van Len.
Warni memaksakan diri untuk bertanya,
“ Apa kau serius, Len ?”
Dengan tenang,V an Len menjawab,
“ Ya, aku serius.”
No comments:
Post a Comment