Pada masa itu, seorang pemuda gagah
sedang berjalan jalan di area kebun. Saat itu juga perutnya mulai protes. Rasa
lapar pun hadir. Dia merasa tidak kuat lagi untuk menahan rasa lapar yang
dahsyat. Dia berjalan di sekeliling pohon apel. Kebetulan daerah itu bukan
tempat asalnya karena setiap hari dia hobi mencari ilmu dari satu tempat ke
tempat lain, sekali pun harus berjalan kaki.
Dia tidak berani mengambil apel apel
yang tampak matang. Tapi dia melihat sebuah apel yang cukup matang terjatuh. Dia
berpikir bahwa tidak masalah mengambilnya lagi pula Cuma satu. Lebih lagi,
kalau dibiarkan apel juga membusuk. Dalam pikirannya, apel itu tidak begitu
penting bagi pemiliknya.
Dia pun mengambilnya, lalu
memakannya. Tidak sampai separo, tubuhnya bergetar hebat. Rasa bersalah muncul.
Dia merasa sangat berdosa. Air matanya meleleh seketika. Dia terus
beristighfar. Tapi batinnya semakin kencang rasa bersalah.
“ Tidak mungkin hanya sekedar minta
ampun. Masalahnya ini berhubungan dengan orang lain. Maka harus meminta maaf
pada pemilik kebun ini.”
Dia pun menunggu di sana sejenak,
barangkali pemilik kebun itu mengunjungi kebunnya. Tapi waktu demi waktu tidak
kunjung datang pemiliknya. Sehingga seseorang datang menuju dekat kebun itu.
Pemuda itu bertanya tentang pemilik kebun apel itu.
“ Oh rumahnya sangat jauh dan jauh
dari sini, Dik. Dia juga sangat sangat jarang di sini. Kalau adik ingin ke
sana, sebaiknya jangan deh. Karena sangat jauh. Jalannya memang lurus, tapi
jaraknya sangat jauh. Kakimu bisa bengkak. Belum lagi melewati siang dan malam.
Pokoknya jangan ke sana dik.”
Mendapat titik temu pemuda itu
tersenyum lebar. Walaupun ketidaknyamanan terdengar dari orang itu, setidaknya
dia tahu rumah dan pemilik kebun itu. Dia pun sangat sangat berterima kasih
atas info dari orang lewat tadi.
Tidak peduli kerasnya jalan dan
alam, melewati siang malam, rasa lelah dan letih, dia terus berjalan kaki menuju
tempat pemilik kebun itu. Karena baginya, bertemu dan meminta maaf pada pemilik
kebun itu menjadi mutlak disbanding kemurkaan Tuhan karena ketidakredhoan hamba
dengan hamba lain.
Dengan susah payah, dia bertemu
pemilik kebun itu. Pemilik kebun itu seketika mengiba melihat kondisi pemuda
itu yang lusuh, yang seolah tidak merawat fisiknya. Bahkan dia sampai tidak
tega melihat pemuda itu terlalu lama. Bukan disebabkan bentuk fisik, melainkan
keadaan pemuda itu yang dipenuhi kemalangan.
“ Saya datang ke sini untuk meminta
maaf karena saya mengambil yang bukan hak saya padahal Anda pemiliknya.”
Pemilik kebun itu sangat terkejut
mendengar ucapan pemuda itu. Dia tersenyum dan erkata tegas,
“ Baik, aku maafkaan. Tapi dengan
satu syarat.”
“ Apa itu, Pak ?”
“ Kamu harus menikahi anak gadisku !”
Seketika pemuda itu girang bukan
main. Tapi pemilik kebun itu menambahkan,
“ Tapi anak gadisku itu lumpuh. Lumpuh
kakinya. Lumpuh tangannya. Lumpuh matanya. Bagaimana apa kamu masih setuju ?
Kalau tidak, maka permohonan maafmu kutolak.”
Dengan penuh keyakinan, pemuda itu
menerima tawaran pemilik kebun itu. Hari itu juga dia melamar anak gadis
pemilik kebun itu. Dia tampak terheran bahwa anak gadisnya bisa berjalan. Di
balik itu, dia seolah melihat bidadari turun dari langit.
Beberapa hari kemudian, dia
melaksanakan akad nikah dan acara pernikahan. Dia terus mengamati istrinya. Dan
dia tidak melihat cacat pada istrinya. Dia mengira bahwa mertuanya berdusta.
Tapi firasatnya tidak mungkin hal itu terjadi.
Malam pertama tiba, mereka berdua
masuk ke dalam kamar. Dia pun mengutarakan unek uneknya pada sang istri.
“ Istriku, ayah kita mengatakan
padaku bahwa kamu ini lumpuh kaki, tapi aku melihat kamu bisa berjalan. Ayah
juga bilang kamu lumpuh tangan, tapi tanganmu juga normal. Ayah bilang kamu
lumpuh mata, tapi kamu bisa melihat.”
Istrinya tersenyum, lalu berkata,
“ Ayah memang tidak berbohong, Mas. Aku
memang lumpuh kaki. Lumpuh kaki dari berjalan ke tempat tempat yang diharamkan
Allah. Aku memang lumpuh tangan. Lumpuh tangan dari gerakan tangan yang
diharamkan Allah. Aku memang Lumpuh mata. Lumpuh mata dari apa yang dilihat
yang diharamkan Oleh Allah.”
Seketika itu, pemuda itu sujud
syukur atas anugerah yang diberikan yang tiada bandingan dengan yang lain.
Nalis, 19 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment