Selama hidup di dunia, umur masih
dibilang masih muda, dua puluh empat tahun. Berbagai hal terjadi, yang sedih
sekaligus menggembirakan, semuanya bercampur dan menjadi kenangan masa lalu,
baik itu indah maupun sebaliknya.
Dan selama itu pula pengalaman cukup
mengerikan pernah saya lalui. Pengalaman itu bukan mengancam kenangan buruk,
tapi jiwa saya. Benar, jikalau saya sedikit saja melakukan hal fatal, entah apa
yang terjadi kemudian. Dan jika langit menghendaki saya tiada waktu, maka nama
saya saat ini hanya tinggal nama.
Pengalaman ini saya ceritakan dengan
harapan agar Anda percaya keimanan kita pada langit.
Kok bisa ?
Itulah serunya. Teruslah membaca.
Anda akan dibawa ke dalam lantunan kata masa lalu saya yang dibawa hadir
kembali ke sini.
Pada tahun 2009 atau 6 tahun lalu,
ketika saya belajar di Solo, saya hobi melancong ketika waktu luang atau
senggang. Ketika waktu luang, saya sering berjalan kaki mengelilingi perkotaan
dan sering juga bersepeda. Nah, waktu itu tiada lagi sepeda di asrama kecuali
tersisa satu sepeda tua bobrok. Untuk melampiaskan rasa keinginan, saya paksa
diri untuk memakainya, tentu dengan bertanya pada pemilik.
Pemilik berkata,
“ Jangan pakai, karena sepeda sedang
rusak. Ubah tua rusak lagi.”
Saya tetap teguh pendirian. Saya pinjam
sepeda itu mengelilingi Solo. Di Jalan depan UMS lalu Rumah sakit Yarsis terus
menuju Gramedia sebagai tujuan saya.
Sepeda saat itu begitu mengganggu.
Suaranya begitu bising. Dan pegangan begitu tidak nyaman. Roda begitu kendur.
Dan saya saat tepat di tengah jalan raya besar. Di samping kanan kiri, depan
belakang, kendaraan besar siap memangsa siapa pun yang jatuh.
Saya semakin jengkel dengan sepeda
itu. Saya tendang bagian depan sepeda dengan harapan roda sedikit merapat agar
tidak terlalu kendur.
Dan apa yang terjadi ?
Sandal saya putus dan terbelit roda
sepeda. Seketika roda depan berhenti. Lalu roda bagian belakang karena melaju
kencang dan tidak seimbang dengan depan. Sepeda bagian depan pun terangkat ke
atas. Seketika seluruh tubuh saya ikut terbang tinggi ke depan. Entah berapa
meter tingginya, yang pasti sangat tinggi. Saya terhempas dan menunggu nasib
karena di depan saya jalan aspal yang keras.
Ajaibnya saya berhasil menjatuhkan
diri dengan jungkir balik. Dan hanya punggung saya terkena jalan keras.
Seketika saya melihat ke belakang. Dan ternyata sebuah truk raksasa cukup jauh
di belakang saya. Saya berdiri meraih sepeda yang patah untuk ke pinggir jalan.
Yang jadi rasa kesyukuran saya,
Andai sebuah mobil kecil saja berada di belakang saya ketika saya terjatuh,
mungkin ceritanya berbeda. Sejak saat itu saya sangat bersyukur bisa selamat.
Beberapa pengemudi berhenti dan menolong saya.
“ Kamu kok gak terluka ?” Tanya mereka
terheran.
“ Cuma tangan yang ke seleo Bu, Pak.”
Kata saya.
“ Kok bisa, kamu terjatuh keras
tadi.”
“ Ya gak tau, kalau punggung sih gak
terlalu. Saya bersyukur bukan kepala. Kalau itu, saya tidak bisa bayangkan.”
Mereka lalu melanjutkan perjalanan
karena melihat saya yang tidak terlalu menghawatirkan. Saya hanya membawa
sepeda ke tukang servis dan menanggung semua kerusakan.
Pengalaman kedua ini terkait begal.
Pada awal awal di Jakarta, pada saat
masih unyu unyu, saya tidak bisa menghilangkan hobi saya, yaitu jalan kaki. Dan
saya tidak sadar saya terletak di kota termasuk kriminalitasnya tinggi. Beda
Demak/Kudus beda Jakarta. Tapi saya belum menyadari semua itu.
Pada malam hari, sebuah perayaan
hadir di Monas. Waktu itu terlalu malam, jadi saya memutuskan untuk menginap di
kos teman saya. Dan saya selalu melalui jalur itu. Ketika pukul 21.00 ke atas,
semua tampak sepi. Tidak ada satu kendaraan pun terlihat, apalagi orang. Saya
terus jalan tiada peduli. Saat itu saya membawa tas berisi laptop, uang 150
ribu, dan HP Cina 150 ribu sudah rusak hurufnya.
Tiba tiba di tengah area sepi di
selilingi pohon pohon, tangan saya digeret dan saya diajak berdialog satu lawan
satu. Saya melihat pemuda kerempeng muka sangat jelek memakai topi dan jaket.
Saya meyakini itu begal dan saya pun tidak tau apa yang terjadi nantinya.
Melawan, saya masih kecil waktu itu dan tidak tau beladiri. Saat ini berani.
Tapi saat itu tidak bisa berpikir apa yang terjadi pada saya nantinya. Ternyata
memang benar, beda Demak beda Jakarta. Saya membawa laptop, lebih gawat lagi
laptop milik orang lain. Saya hanya baca doa penangkal segala keburukan
أعوذ بكلمة الله
التامة من شر ما خلق
Inilah yang saya baca terus menerus.
Karena saya percaya segala sesuatu itu tiada tandingan bagi Allah.
Kemudian dia mengaku sebagai polisi.
Saya tahu dia pasti bohong. Lalu dia menceritakan bahwa di sekitar banyak
kejadian criminal, lalu menuduh saya pelaku selama itu. Pikiran saya tidak
heran karena itu taktik. Yang menjadikan rasa takut, ketika dia menghilangkan
nyawa saya karena di sekitar tiada satu pun orang, sangat sepi.
Lalu saya bantah. Dia mengancam
dengan pisau kalau saya kabur. Lalu dia akan membawa saya ke kantor polisi
menunggu temannya pakai mobil. Saya tau dia bohong bagaimana dia tampangnya
begitu pakai mobil. Saya terus baca doa itu.
Dia meminta saya memberinya kartu
identitas. Saya beri lalu menyuruh saya membuka tas. Saya pun pasrah karena di
dalamnya ada laptop. Ketika saya buka, saya hanya mengeluarkan buku.
“ Buku, Pak”
‘ Bagus, tutup kembali.”
“ Goblok ! “ batin saya.
Karena area sepi dan gelap, jadi
laptop hitam pun tiada terlihat dan menyatu dengan tas hitam. Dia terus
berpikir mengambil barang berharga milik saya. Kemudian dia bertanya,
“ Kamu bawa apa ?”
Saya mengeluarkan uang 150 ribu. Dia
tidak mengambil karena dia mengaku polisi. Lalu seketika dia melihat di saku
saya sebuah gundukan. Dia menyuruh saya membukanya. Saya mengeluarkan HP Cina
dari saku. Dia menyuruh saya mengambil kartunya. Saya pun mengambilnya.
“ Jangan, Pak. Ini HP jelek.’
“ Hak gak usah ! Ini akan saya
jadikan sebagai barang bukti.’
Dia mengambilnya
“ Besok, kamu ambil barang ini di
polsek senen. Karena ini dijadikan sebagai barang bukti. Mari sekarang kita
menuju ke rumah temanmu.”
Saya dan dia berjalan cepat menuju
kost teman saya. Saya lebih cepat kemudian sampai di keramaian ada satpam. Lalu
seketika saya menoleh ke belakang, begal itu sudah lari ke belakang, sangat
cepat. Dia membawa HP Cina saya yang sudah hamper rusak, baterai sudah
melembung, huruf sudah sulit dipencet. Dan dia meninggalkan saya dan saya masih
menggenggam asset jutaan rupiah, yaitu laptop, uang 150 ribu, dan kartu yg sangat
lama dipakai ( nomor resmi ) dan juga tas beserta seluruh kartu identitas.
Karena andai dia menjambret semua
lalu pergi, maka jutaan rupiah akan hilang dari saya. Bukan hanya itu, pisau baja
itu saya tidak bisa bayangkan bila lain cerita karena begal dikenal sadis.
Tapi pengakuannya membuat dirinya
dibatasi.
Lalu saya cerita pada orang di
sekitar itu, mereka terus bertanya ciri ciri orang itu, saya jelaskan, dan entah
apa yang terjadi kemudian, saya langsung hijrah.
Setidaknya saya tahu titik titik
rawan criminal di situ dengan mengalami sendiri dan semakin membuat saya jera
untuk bebas seperti di Kota kelahiran dan Kudus. Dan saya semakin bertambah
iman dengan kedahsyatan doa itu
Audzubikalimatillahittammati Min
Syarri Maa Kholaq
No comments:
Post a Comment